Metode pelatihan kami nyaris selalu berubah.
Begitu pula kali ini, Kelas Jurnalisme Warga angkatan ke-17. Kelas ini memang masih menggunakan metode sama dengan angkatan sebelumnya, menginap alias live in di tempat warga.
Kelas sekaligus tempat menginap pada pelatihan akhir pekan lalu (11-12 Mei) tersebut adalah kelompok nelayan Wanasari di Tuban, Kuta Selatan. Nelayan di sini tak lagi melaut tapi masih membudidayakan kepiting di keramba. Mereka juga mengelola ekowisata hutan bakau.
Salah satu pertimbangan ketika kami memilih tempat ini adalah karena mereka juga terkena dampak pembangunan jalan tol di atas permukaan laut. Kami ingin menggali cerita mereka lebih dalam.
Tempat pelatihan kami adalah gazebo milik kelompok nelayan Wanasari. Gazebo ini berada di tengah hutan bakau. Dari gazebo, kami bisa melihat pembangunan jalan yang hanya berjarak sekitar 20 meter.
Ini pengalaman pertama bagi kami, mengadakan kelas jurnalisme warga di tempat terbuka. Biasanya kami selalu berada di ruangan sehingga metodenya pun lebih mirip kelas sekolah atau kuliah.
Karena berada di luar ruangan, kami harus menerima tantangan baru. Belajar tanpa proyektor. Padahal biasanya dia jadi alat efektif untuk menerangkan atau menunjukkan materi ataupun contoh berita kepada peserta.
Kali ini tak bisa. Kami terpaksa melaksanakan kelas tanpa proyektor.
Dan, menurutku, ternyata lebih asyik.
Tanpa proyektor tersebut, maka aku yang mengisi materi dan membantu Intan memandu kelas, harus lebih banyak menggunakan kertas metaplan. Kertas ini untuk menulis poin-poin yang disampaikan peserta dalam diskusi.
Contohnya pada poin tentang apa saja nilai berita dalam materi tentang dasar-dasar jurnalisme warga. Jika biasanya kami hanya menunjukkan lewat proyektor yang menampilkan Powerpoint, maka kali ini kami cukup bertanya kepada peserta. Lalu mereka akan menjawab kemudian kami tulis di kertas metaplan.
Dengan metode seperti ini, kelas jadi terasa lebih dinamis. Interaktif. Ini benar-benar kelas ala orang dewasa.
Alat bantu lain yang kami gunakan selama kelas adalah koran-koran. Selama dua hari kelas, kami mengoptimalkan media cetak ini untuk referensi. Peserta kami ajak membaca, memilih, dan menentukan sendiri apa berita yang menarik bagi mereka.
Nah, masing-masing berita pilihan mereka ini yang jadi acuan diskusi tentang, misalnya, struktur berita, kelengkapan berita, dan seterusnya. Cuma ya harus diingatkan bahwa tulisan untuk jurnalisme warga sebaiknya lebih personal dan subjektif. Biar tidak kaku seperti di media arus utama.
Tantangan lain dalam kelas terbuka seperti ini adalah ketika membahas tulisan peserta. Aku sendiri sempat bingung bagaimana caranya biar semua peserta bisa membaca tulisan yang kami bahas.
Ternyata mudah saja. Kami minta semua peserta membuka laptop (nah ini sih untungnya, kami masih dapat listrik sehingga bisa menghidupkannya), menyalin tulisan tiap peserta ke laptop masing-masing, lalu kami membahasnya secara umum.
Sekali lagi ternyata ya asyik juga. Kelas tetap hidup. Interaktif. Apalagi tulisan para peserta juga memang sudah bagus.
Maka, kelas angkatan ke17, dari yang semula aku khawatirkan akan jadi kelas yang membosankan, ternyata asyik dari awal sampai bubar. Bagiku, ini salah satu kelas terbaik selama tiga tahun kami melaksanakan kelas jurnalisme warga.
Leave a Reply