Upaya mengusir hama wereng di sawahnya justru mendatangkan kematian bagi Wayan Jojol, petani di Banjar Wang Bung, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Petani palawija dan padi ini jatuh pingsan setelah menyemprot hama wereng di lahannya dengan pestisida. Ketika petani lain hendak menolongnya, Jojol sudah meninggal.
“Kami menggotongnya dari sawah sudah dalam kondisi meninggal. Tidak jelas penyebabnya. Tapi kemungkinan besar dia keracunan karena pestisida,” Ketut Rena, petani di banjar yang sama, mengenang kematian Jojol yang terjadi pada pertengahan 1985 tersebut.
Menurut Rena, ketika menyemprot hama tersebut Jojol tidak menggunakan masker. Untuk mengaduk obat tersebut, Jojol juga tidak menggunakan sarung tangan. Angin di sawah pun kencang sehingga obatnya bisa terhirup nafas penyemprot. “Kata dokter yang memeriksa, dia memang keracunan,” tambah Rena.
Jojol tak sendiri. Petani lain di tetangga desa pun mengalami hal yang sama, keracunan ketika menyemprot pestisida hingga meninggal.
Rena tidak ingat nama pestisida yang mereka pakai untuk membunuh hama wereng. Yang dia ingat pestisida itu beracun karena petugas penyuluh lapangan (PPL) mengatakan itu padanya. Dia harus pakai masker agar tidak keracunan ketika menggunakan obat itu untuk mengusir hama.
“Tapi kami biasa saja mengaduk obat itu tanpa sarung tangan dan menyemprotkannya tanpa masker,” katanya.
Rena dan petani lain di desa tersebut mulai menggunakan pupuk dan pestisida sejak 1970an. Dia tidak ingat pasti kapan. “Saya ingatnya waktu itu ada petugas pemerintah menyuruh kami untuk menggunakan bibit, pupuk, dan pestisida yang diberikan pemerintah,” tambahnya.
“Pada zaman Orde Baru siapa sih yang berani melawan pemerintah,” kata Made Muliarta, petani lain.
Bagi petani kecil seperti Rena dan Muliarta, tunduk pada pemerintah jadi satu-satunya jalan. Mereka tidak cukup berani melawan pemerintah. Maka dari yang sebelumnya mengandalkan semua asupan pada alam, kini mereka bergantung pada pemerintah. Apalagi semua asupan seperti bibit, pupuk, dan pestisida kimia itu diberikan secara cuma-cuma pada awalnya.
Mereka tak pernah sadar bahwa skenario besar bernama Revolusi Hijau tengah menjeratnya.
Sejarah Revolusi Hijau diperkenalkan pertama kali oleh William Gaud pada 1968. Mantan Direktur USAID, lembaga donor milik pemerintah Amerika Serikat, ini membandingkan masifnya perubahan di bidang pertanian itu dengan Revolusi Merah di Soviet dan Revolusi Putih di Iran, dua perubahan besar secara politik di dua negara musuh bebuyutan Amerika Serikat itu.
Perubahan yang oleh Gaud disebut revolusi itu dimulai dari Meksiko. Negara di Amerika Latin ini mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada 1945. Salah satu alasannya adalah karena berbanding terbaliknya pertambahan jumlah penduduk dengan kapasitas produksi gandum. Penduduk terus bertambah sementara produksi gandum terus berkurang. Mereka pun menggenjot pertaniannya melalui riset, penyuluhan, dan pembangunan infrastruktur yang didanai Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan beberapa lembaga besar lainnya.
Hasilnya, dari semula mengimpor gandum pada 1943, negara ini bisa memenuhi kebutuhan gandumnya pada 1956. Delapan tahun kemudian, Meksiko bahkan sudah mengekspor gandum ke negara lain.
Karena perubahan itu dianggap berhasil maka Ford Foundation dan Rockefeller Foundation kemudian membawa teknologi yang sama ke berbagai dunia. Kalau di Meksiko mereka fokus pada gandum, maka di belahan dunia lain mereka fokus pada padi.
Salah satunya dengan mendirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina. Dari pusat riset padi ini lahir padi varietas baru bernama International Rice (IR) seperti IR 64 dan IR 36 yang disebar ke dunia, termasuk Indonesia. Produk mereka inilah yang menjangkau hampir separuh penduduk dunia dan kemudian menggantikan padi lokal, termasuk di Indonesia.
IRRI yang punya kantor perwakilan di 14 negara mulai bekerjasama dengan Indonesia pada tahun 1972, melalui Balai Litbang Pertanian Departemen Pertanian (Deptan). Deptan yang seharusnya jadi kepanjangan tangan pemerintah ternyata kemudian hanya jadi kepanjangan tangan korporasi dan lembaga internasional.
Kredit untuk Petani
Indonesia mulai menerapkan Revolusi Hijau itu melalui program Panca Usaha Pertanian (PUP). Pemerintah melaksanakannya melalui pendirian beberapa pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, serta pendirian industri pestisida. PUP yang memiliki kegiatan Demo Massal kemudian berubah jadi Bimbingan Massal (Bimas) pada 1964. Bimas dimulai setelah pemerintah mengadakan pilot project pada lahan 100 hektar di Karawang setahun sebelumnya.
Karena Bimas dianggap kurang berhasil, pemerintah membuat Bimas Gotong Royong yang disponsori dua perusahaan asing seperti Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan produsen obat-obatan kimia BASF di bidang pertanian.
Dua perusahaan tersebut sebenarnya hanya memanfaatkan pemerintah Indonesia untuk memasarkan produknya seperti benih, pupuk, dan pestisida. Revolusi Hijau hanyalah kedok agar produk-produk kimia perusahaan tersebut, terutama CIBA, bisa dijual pada petani.
Agar petani mau menerima program ini, pemerintah memberikan bantuan kredit pada petani. Salah satu contoh bentuk kredit Bimas pada tahun 1981 adalah dengan memberikan kredit 250 kilogram pupuk kimia, 2 liter insektisida, dan uang kontan Rp 10.000 dengan buka 1,5 persen sebulan. Pinjaman ini diberikan dalam satu masa tanam selama sekitar tujuh bulan. Tapi kredit ini pun dilakukan dengan paksaan. Petani berhadapan dengan tentara jika mereka menolaknya.
Kredit yang diberikan pemerintah memang kemudian jadi alat penting untuk memasukkan program pembangunan pertanian yang disebut juga dengan nama Intensifikasi Pertanian. Selain melaksanakan Bimas yang berganti-ganti nama sejak 1966 hingga 1985, pemerintah juga memberikan Kredit Usaha Tani (KUT).
KUT ini sendiri jadi catatan bahwa kredit untuk petani sudah terbukti gagal. Salah satu riset M Syukur dan teman-temannya pada tahun 1999 menunjukkan bahwa penyaluran KUT selama 1990 hingga 1996 mengalami penurunan dari Rp 108 milyar jadi Rp 34 milyar. Ketika uang yang disalurkan mengalami penurunan, jumlah uang macet alias tunggakan petani justru meningkat.
Toh pemerintah tetep keukeuh untuk terus melaksanakan kredit untuk petani dengan alasan agar petani bisa meningkatkan hasil pertanian. Revolusi Hijau seperti membutakan mata pemerintah. Inilah yang membuat banyak pihak menduga bahwa pemerintah sebenarnya ada deal tertentu dengan perusahaan pertanian agar tetap melaksanakan program intensifikasi pertanian, kedok lain dari Revolusi Hijau.
Pada perjalanannya, Revolusi Hijau kemudian hanyalah jadi alat perusahaan pertanian untuk menjerat petani, termasuk di Indonesia. Ini terutama ketika perusahaan-perusahaan besar seperti Monsanto dan Syingenta juga masuk di Indonesia.
Parahnya ini didukung pula oleh akademisi. Pilot project padi di Karawang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Penyuluhan ke desa-desa dilakukan pula oleh mahasiswa dan dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.
Agen Ganda
Secara sederhana, pola penyebaran Revolusi Hijau di Indonesia itu dilakukan sebagai berikut. Pertama, lembaga riset membuat penelitian tentang apa saja teknologi yang bisa diterapkan untuk meningkatkan produksi pertanian. Riset ini didukung oleh akademisi sebagai peneliti dan perusahaan kimia serta lembaga donor sebagai penyokong dana.
Kedua, setelah riset dinyatakan berhasil, sponsor penelitian tersebut seperti CIBA dan Ford Foundation menyebarluaskannya ke negara-negara berkembang agar mengadopsi teknologi baru itu. Tentu saja dengan dukungan finansial juga. Dalam kasus di Indonesia, pemerintah kemudian membentuk tim pelaksana yang dilegitimasi oleh tentara.
Ketiga, untuk kepanjangan tangan dari pemerintah ke petani ada petugas penyuluh lapangan (PPL). Di lapangan, PPL ini juga bertugas ganda. Selaian sebagai penyuluh yang mewakili pemerintah, mereka juga mengenalkan produk-produk perusahaan pertanian mulai benih sampai pestisida. Namun dalam praktiknya, PPL ini justru identik sebagai agen perusahaan pertanian.
“Para PPL bertugas dengan target yang ditentukan oleh perusahaan pertanian,” kata Made Diarta, petani di Guwang. Bagi Revolusi Hijau lahan pertanian tak lagi menjadi tempat budi daya pertanian tapi pabrik penghasil uang bagi perusahaan pertanian.
Lalu di mana posisi petani? Mereka hanya dianggap sebagai ikan yang harus dijaring. Petani tidak perlu diajak untuk membicarakan apa yang mereka perlukan. Pokoknya berikan asupan kimia dan haruskan mereka untuk menggunakannya. Kalau tidak mereka harus berhadapan dengan tentara seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Atau setidaknya aparat desa akan mencabuti tanaman lain selain yang ditetapkan pemerintah. Tidak ada pilihan bagi petani.
Pola pemaksaan di Bali lain lagi. Kalau di Jawa melalui tentara, maka di Bali melalui lembaga seperti subak. Biasanya kelian subak setempat yang “dipelihara” oleh perusahaan pertanian. Ketika kelian sudah bisa dikendalikan, maka otomatis anggota subak yang lain akan menuruti kemauan kelian. Bila melawan, subak secara kelompok akan memberi sanksi misalnya dengan memutus aliran air ke sawah mereka.
Dengan asupan kimia dan teknologi baru, Revolusi Hijau memang terbukti meningkatkan produksi pertanian terutama padi. Salah satunya adalah ketika Indonesia tak lagi mengimpor beras karena sudah memenuhi swasembada beras pada 1984. Jika pada 1972 produksi padi sebesar 20 juta ton dengan produktivitas 3,21 ton per hektar, maka pada tahun 1984 jadi 38,14 juta ton dengan produktivitas 3,91 ton per hektar. Dari yang semula mengimpor beras sebanyak 2,5 juta ton per tahun, pada tahun 1984, Indonesia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.
Peningkatan produksi padi itu terus terjadi hingga awal 1990. Setelah itu, produksi padi menurun terus. Menurut Badan Pusat Statistik pertambahan produksi padi nasional era 1974-1980 sebesar 4,8 persen per tahun sedangkan pada 1981-1990 sebesar 4,35 persen. Namun pada 1991-2000 turun jadi 1,32 persen. Pada 2005, produksi padi juga menurun 1,75 persen dari 54,06 ton pada tahun 2004 jadi 53,12 juta ton.
Petani pun mengakui adanya peningkatan produksi padi yang diakhir dengan penurunan ini. “Pada awalnya penggunaan bahan kimia memang membuat hasil panen memang naik. Tapi lama-lama makin turun,” ujar Dewa Putu Raka, petani di Desa Pejeng Kawan, Tampaksiring, Gianyar.
Seperti petani lain, Raka pun sadar bahwa dia memang menyebar racun dalam lahan-lahan sawah miliknya. “Kami memang menanam racun mulai dari pupuk sampai pestisida. Tapi memang itu yang disuruh oleh pemerintah,” ucapnya.
Inilah faktanya. Ketika intensifikasi pertanian terus digenjot, hasil yang dicapai ternyata malah berbanding terbalik. Produksi padi terus menurun.
Salah satu kambing hitam dari turunnya produksi adalah hilangnya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang terlalu intensif. Penggunaan bibit baru justru melahirkan hama baru bagi padi. Menurut Raka, setelah petani menggunakan varietas baru, muncul pula hama-hama baru yang sebelumnya tidak ada. Ini pula yang dialami berbagai petani di Bali.
Nah, hama baru ini pun harus diberantas dengan pestisida baru yang dijual perusahaan obat-obat pertanian. Ini mirip satu paket masalah. Semuanya baru: benih, teknologi, hama, dan pestisida. Parahnya lagi lama-lama hama wereng yang diberantas jadi kebal terhadap pestisida yang dipakai oleh petani..
“Jadinya seperti candu, bikin ketagihan,”tambah Muliarta.
Dampak lain yang terasa selain rusaknya lingkungan adalah hilangnya budaya pertanian. Dari yang semula bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri, petani harus berorientasi pada jual beli. Dari yang semula menanam benih lokal, petani harus menanam benih produksi dari perusahaan pertanian. Petani yang semula menanam padi sebagai selingan dengan komoditas lain kini harus mengutamakan padi. Ini seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Terancam Keracunan
Di antara sekian dampak tersebut, kerusakan lingkungan memang yang paling terasa. Petani di banyak tempat mengaku kalau tanah mereka semakin keras, unsur haranya hilang, hewan kecil di sawah makin punah, produksi semakin turun dan seterusnya.
Tapi kerusakan tak hanya terjadi pada lingkungan. Intensifikasi pertanian juga ibarat menebar racun pada petani.
Dalam salah satu artikelnya, Staf Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Departemen Kesehatan Kusnindar menemukan bahwa keracunan pada petani di Indonesia terjadi setidaknya pada 14 juta orang. Kusnidar melakukan riset tersebut pada tahun 1989 atau 20 tahun lalu. Perkiraan itu berdasarkan pada banyaknya kasus keracunan yang pernah terjadi pada 1985-1986 seperti di di Brebes 85,7 persen, Klaten 54,8 persen, Karo Sumatera Utara 38 persen, dan termasuk Bali.
Dari rata-rata kasus di atas diperoleh angka 35 persen petani yang menyemprot pestisida akan keracunan. Menurut Kusnidar pula jumlah petani penyemprot sekitar 37 persen dari jumlah petani. Di sisi lain, per 2007 lalu, berdasarkan catatan Departemen Pertanian jumlah petani Indonesia sekitar 50 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 110 juta.
Dengan perkiraan jumlah petani penyemprot adalah 37,1 persen maka jumlah petani yang rentan terpapar pestisida sebanyak 40 juta orang. Jika 35 persen petani terpapar pestisida mengalami keracunan, maka jumlah petani yang mengalami keracunan kira-kira 14 juta orang.
Contoh lebih ekstrim terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Berdasarkan pemeriksaan darah pada 550 petani sayur di tujuh kecamatan, diperoleh fakta bahwa 99 persen petani sudah tercemar darahnya. Penyebabnya adalah penggunaan zat kimia pembasmi hama. Hasil ini diperoleh pada tahun 2006 lalu. Penelitian ini dilakukan setelah sebelumnya 10 petani di kabupaten yang sama meninggal akibat keracunan pestisida.
Astrid Widajati Sulistomo, doktor lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang meneliti petani bawang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah juga menemukan bahwa petani perempuan yang menggunakan pestisida lebih rentan mengalami keguguran. Penelitian pada tahun 2007 dengan responden 612 petani ini menemukan fakta bahwa petani perempuan pengguna pestisida berisiko mengalami keguguran sebesar 79 persen lebih tinggi dibanding perempuan yang bekerja di ladang pertanian lain.
Dikuasai Korporasi
Keracunan akibat pestisida sebenarnya hal yang pasti terjadi. Hal ini terjadi karena pemain-pemain besar di bidang Revolusi Hijau pada dasarnya memang perusahaan-perusahaan kimia. CIBA, yang mendukung masuknya Revolusi Hijau di Indonesia adalah anak perusahaan BASF, produsen bahan-bahan kimia.
Sampai sekarang pun situasinya tak jauh berbeda. Perusahaan benih yang paling besar di Indonesia adalah PT Benih Inti Subur Intani (BISI). Melalui PT Tanindo Subur Tani, PT BISI yang merupakan kepanjangan tangan dari Monsanto Corp, memproduksi benih padi, sayuran, dan jagung. Mereka juga memproduksi pestisida dan pupuk.
Sekadar mengingatkan. Monsanto, penguasa 88 persen benih di dunia, adalah perusahaan yang juga menjerat petani jagung di Nganjuk Jawa Timur pada tahun 2005 dengan tuduhan meniru teknologi pembenihan mereka. Perusahaan yang berpusat di Amerika ini pula yang memaksa petani di Bulukumba Sulawesi Selatan untuk menanam kapas jenis Bt yang terbukti merugikan petani pada 2001.
Di luar itu kejahatan paling parah dari Monsanto adalah karena dia juga memproduksi agent orange, senjata mematikan yang digunakan tentara Amerika Serikat ketika Perang Vietnam. Bersama lima perusahaan lain, Monsanto memproduksi senjata kimia yang mengakibatkan kanker dan cacat bawaan ini. Ribuan tentara yang pernah menyebarkan obat ini terkena kanker, tumor, dan seterusnya. Kini agent orange menyebabkan ratusan ribu bayi yang baru lahir sudah mengalami cacat bawaan seperti bisu dan tuli.
Bisa dibayangkan, ternyata pabrik pembuat racun bernama agent orange inilah pula yang memproduksi benih dan pestisida yang banyak digunakan petani di Indonesia.
Selain Monsanto, korporasi yang juga menguasai pertanian Indonesia adalah Syngenta dan Dupont.
PT Syngenta menguasai sekitar 15 persen pasar pestisida Indonesia dengan memproduksi 15 juta liter pestisida mereka per tahun. Produksi herbisida, fungisida, dan insektisida mereka terus naik 5 persen tiap tahun. Perusahaan milik Syngenta Corp ini adalah perusahaan pestisida terbesar kedua di Indonesia setelah PT Bayer Crop Science. Dengan jumlah petani yang mencapai sekitar 110 juta orang, maka Indonesia pun jadi pasar yang menggiurkan bagi korporasi-korporasi tersebut.
PT DuPont International, misalnya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi pestisida untuk pasar Asia Tenggara. Berbagai pestisida pertanian ini akan diproduksi di dua pabrik DuPont di Sidoarjo dan Pasuruan Jatim. Alasannya, Indonesia memiliki potensi pasar besar dengan total lahan pertanian seluas 11 juta hektare.
Dengan semua produk kimia itulah, korporasi-korporasi tersebut menjerat petani Indonesia. Dari yang semula mandiri, mengandalkan asupan alam mereka kemudian tergantung pada produk-produk kimia yang dipasarkan korporasi. Setelah tergantung pada asupan kimia, para petani baru sadar bahwa mereka terjerat. Tapi mereka pun tak punya banyak pilihan. Negara dan korporasi yang mereka lawan terlalu kuat.. [a!]
May 31, 2009
Wah ulasan yang sangat komplet (maklum sudah lama gak baca koran). klo begitu para petani kita akan (antri) menjadi korban seperti Pan Jojol :(. Turut berbela sungkawa atas keberhasilan pertanian Indonesia.
June 3, 2009
lumayan panjang, blm selesai baca 🙂
June 27, 2012
Sudah waktunya petani belajar membuat sendiri pestisida organik dan mencari musuh alami melalui SLPHT