Perjuangan Melawan Musuh Tak Seimbang

1 , , Permalink 0

aksi-bali-tolak-reklamasi

Musuh gerakan Bali Tolak Reklamasi terlalu besar.

Karena itu, sejak awal lahirnya gerakan Bali Tolak Reklamasi pada Juli 2013 silam, kami sadar bahwa ini bukanlah perjuangan yang berimbang.

Dalam sebuah obrolan, I Wayan Gendo Suardana sudah pernah bilang. “Kalau toh akhirnya kita kalah dalam perjuangan, setidaknya jangan sampai 10-0. Kita harus melawan biar minimal kalahnya 10-1,” kata Gendo waktu itu.

Kesadaran dan “kepasrahan” itu berangkat dari kenyataan betapa besar lawan dalam perjuangan menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa.

Secara kasat mata, lawan-lawan dalam perjuangan Bali Tolak Reklamasi mewakili hampir semua unsur: korporasi, aparat, birokrat, politisi, media, dan kaum oportunis pragmatis. Di baliknya bisa jadi lebih banyak kekuatan tak terlihat.

Perusahaan yang akan mereklamasi Teluk Benoa adalah PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Pemiliknya adalah Tomy Winata (TW), bos besar Artha Graha Group. Kelompok ini dekat dengan polisi dan tentara.

TW besar setelah menggandeng Yayasan Kartika Eka Paksi, milik Angkatan Darat. Sekadar contoh, Hotel Kartika Plaza milik TW di Kuta menjadi tempat menginap langganan para pejabat tinggi polisi dan tentara.

Saking berkuasanya TW di negeri ini, ada yang menjulukinya sebagai RI 0,5. Dia dianggap lebih berkuasa daripada RI 1.

Di depan korporasi ada tentara dan polisi yang senantiasa menjaga. Begitu pula dalam rencana reklamasi Teluk Benoa.

Spanduk-spanduk dukungan polisi dan tentara bisa terlihat di sekitar lokasi yang akan direklamasi. Logo Polda Bali dan Kodam IX Udayana bersama logo Artha Graha Foundation dan Forum Peduli Mangrove terpampang mesra berdampingan di spanduk-spanduk itu.

Tak hanya spanduk. Dalam aksi pun aparat jelas berpihak. Tiap kali pejabat tinggi, terutama presiden, berkunjung ke Bali, mereka sigap membongkar baliho-baliho Tolak Reklamasi. Dalihnya mengganggu ketertiban.

Bahkan, mereka juga melarang warga berekspresi termasuk memakai kaos Bali Tolak Reklamasi saat menghadiri pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB). Dua aktivis dipukul oleh intel yang hanya berkata, “Melaksanakan perintah atasan.” Musisi dan penggemarnya juga tak boleh pakai kaos BTR di acara musik.

Lawan lain gerakan Bali Tolak Reklamasi adalah birokrat dan politisi.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika sudah sejak awal menjadi pendukung reklamasi. Dia bahkan mengajukan surat permohonan perubahan status Teluk Benoa, dari kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan, kepada Presiden.

Lahirlah Peraturan Presiden nomor 51 tahun 2014 yang menjadi dasar hukum dan legalitas rencana reklamasi Teluk Benoa.

Secara terbuka, Pastika sebagai gubernur juga terus menyerang gerakan Bali Tolak Reklamasi. Dia melontar tuduhan bahwa aksi tolak reklamasi ini telah membuat Bali tidak aman. Terakhir, Pastika juga mengatakan bahwa gerakan tolak reklamasi melecehkan simbol-simbol negara.

Para politisi di legislatif yang seharusnya mengawasi eksekutif juga patuh dogen. Di DPRD Bali, dari 55 anggota hingga saat ini cuma ada dua anggota yang dengan tegas dan terbuka mengaku menolak rencana reklamasi.

Sisanya tak pernah terdengar. Bahkan menemui massa aksi pun mereka tak berani.

Dalam perjalanan, muncul pula para petualang politik oportunis pragmatis dalam kolusi investor-aparat-birokrat-legislatif ini. Ada bekas aktivis yang kini hidup bergantung pada korporasi atau politisi pendukung reklamasi. Ada pula media yang lebih mirip anjing penggonggong terhadap gerakan Bali Tolak Reklamasi.

Mereka hanya orang-orang pragmatis. Serupa anjing penjaga, mereka hanya menggonggong untuk menyenangkan tuan yang memberi makan. Parahnya lagi, kaum oportunis pragmatis ini suka memfitnah warga dan aktivis gerakan Bali Tolak Reklamasi dengan akun-akun hantu di media sosial.

Adakah suara rakyat biasa yang mendukung rencana reklamasi? Tidak ada sama sekali. Mereka yang selama ini dicitrakan mendukung pada dasarnya adalah mereka yang sebenarnya terlibat dalam proses memuluskan rencana reklamasi itu sendiri.

Mereka yang mendukung hanyalah orang-orang yang sudah mendapatkan keuntungan sebagai pekerja, penerima uang, atau penerima iklan

Dengan lawan yang begitu berat, nyatanya perjuangan menolak reklamasi terus bertambah kuat. Memasuki tahun keempat perjuangan, barisan rakyat ini kian panjang. Solidaritas makin meluas. Kekuatan terus bertambah.

Rakyat dibiarkan sendiri selama lebih dari tiga tahun ini meneriakkan suara penolakan dan mengepalkan tangan. Adapun korporasi, aparat, birokrat, politisi, dan oportunis pragmatis terus menyebarkan fitnah, berusaha untuk membungkan suara-suara perlawanan ini. Rakyat dengan kekuatan bersama justru harus menghadapi kekuatan begitu besar yang seharusnya menjadi kepanjangan tangan mereka.

Karena itu jika ternyata masih ada yang berdalih diam dan netral dengan tidak mendukung gerakan Bali Tolak Reklamasi, jelaslah dia hanya semata ikut menjadi bagian mereka yang membungkam suara-suara rakyat ini.

Seperti kata Desmond Tutu, jika kamu masih netral pada situasi yang tidak adil, maka artinya kamu berada di pihak penindas.

1 Comment
  • Agung Pushandaka
    September 16, 2016

    Saya akan selalu mendoakan aksi tolak reklamasi di Bali berbuah manis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *