Dipikir-pikir memang terasa amat kontradiksinya.
Aku yang “cuma” bawa sepeda motor Honda Legenda keluaran 10 tahun silam mengisi bahan bakar minyak (BBM) Pertamax. Sementara itu, di sampingku yang bermobil Innova mengilap justru mengisi mobilnya dengan bensin.
Kontradiktif sekali karena justru bensin itulah yang disubsidi negara. Per tahunnya, menurut pemerintah, besarnya subsidi untuk bensin dan solar ini mencapai Rp 191,1 triliun. Ironisnya, penikmat subsidi ini justru orang-orang kaya semacam pemilik Innova itu tadi.
Mereka bisa membeli mobil seharga ratusan juta. Tapi, untuk BBM-nya masih terima subsidi negara. Tak tahu malu.
Memang tak gampang. Tapi, aku sudah putuskan. Sebisa mungkin menghindari pemakaian bensin. Sederhana saja. Aku merasa bisa memenuhi kebutuhan BBM tanpa harus menyusu pada Negara.
Keputusanku ini politis. Terserah orang lain bilang apa.
Keputusan itu muncul setelah riuh rendah rencana kenaikan BBM akhir Maret silam. Setelah baca-baca lagi, aku kemudian baru sadar bahwa selama ini aku telah menggunakan BBM yang disubsidi Negara. Aku pakai bensin. Padahal, ada Pertamax yang tidak disubsidi sama sekali.
Karena merasa bisa memenuhi kebutuhan sendiri dan tak mau tergantung pada subsidi dari Negara, maka aku pilih Pertamax sejak itu. Dulunya yang aku tahu, orang memakai Pertamax cuma karena pertimbangan kualitas lebih baik dibanding bensin apalagi solar. Kini baru tahu soal hitung-hitungan di baliknya.
Bukan berarti kemudian aku mendukung rencana kenaikan harga BBM. Menurutku tak usah dinaikkan. Dampaknya panjang. Kenaikan harga BBM akan menimbulkan efek domino. Tak cuma soal BBM itu sendiri tapi juga ke harga pangan dan seterusnya.
Ah, aku buta soal hitung-hitungan ini. Berita ekonomi di koran selalu jadi berita yang tak aku baca. Meski sudah baca dengan serius juga tetap tak mengerti.
Aku cuma merasa bahwa sebaiknya tak usah lagi menggunakan BBM yang disubsidi. Logika goblok saja sih. Ketika makin sedikit memakai BBM subsidi, maka makin sedikit duit negara untuk mensubsidi BBM. Subsidi kemudian bisa digunakan untuk kepentingan lain, bukan untuk orang yang sudah bisa beli sepeda motor dan mobil.
Maka, daripada hanya ngedumel dan nyalahin orang lain, mending aku mulai dari diri sendiri deh. Tak mau aku lagi pakai bensin.
Dan, ini bukan perkara mudah. Apalagi ketika melihat orang-orang dengan kendaraan jauh lebih mewah mengisi tangki kendaraan mereka dengan bensin. Tiap kali aku isi Pertamax, pasti ada saja lihat orang-orang semacam ini.
Pas di pom bensin di Gatsu Tengah aku lihat orang bawa Innova isi bensin. Pas di pom bensin Renon lihat orang naik Kawasaki Ninja isi bensin juga. Pas di pom bensin Tukad Pakerisan juga lihat mobil plat merah isi bensin.
Maka, seharusnya, kampanye pemakaian BBM non-subsidi ini perlu lebih diintensifkan. Ajak orang-orang berkendaraan mewah ini untuk pakai BBM non-subsidi. Malu dong. Bisa beli mobil ratusan juta masak masih nyusu pada Negara.
Ilustrasi karya Wayan Dania diambil dari Facebooknya.
May 15, 2012
kalo bisa murah kenapa harus beli yang mahal, lagian saya juga warga negara indonesia yang punya hak dan kewajiban yang sama….mobil juga barang gaya hidup, bisa gaya pake mobil, urusan bbm sama perawatan cari yang paling murah….