Merasakan Kembali Kesenjangan Negeri Ini

4 , , , Permalink 0

Sekitar pukul 11.30 tengah malam. Sepanjang jalan hanya gelap. Suara serangga malam menemami perjalanan panjang kami. Tinggal sekitar satu jam lagi kami akan sampai Mamasa, kota tujuan kami setelah perjalanan panjang sejak pukul 11 dari Makassar tadi.

Tapi, truk itu menghalangi perjalanan kami. Padahal Mamasa tinggal sekitar satu jam lagi. Apa boleh buat. Kami tidak bisa lewat. Truk yang mengangkut bahan bangunan itu terperosok di sana. Ban kiri belakangnya masuk lumpur. Truk itu sampai miring.

Jalan berlumpur itu memang sempit. Lebarnya hanya cukup untuk satu kendaraan. Karena truk itu terperangkap di tengah jalan, maka tak ada lagi ruang untuk kendaraan lewat. Begitu pula kami. Parahnya, sopir truk itu sendiri. Dan, ini sudah pukul 11.30 malam. Jalanan sepi. Tidak ada yang bisa membantunya untuk mengangkat agar truk bisa melewat perangkap jalan berlumpur itu.

Kami putus asa karena tidak bisa melanjutkan perjalanan. Pilihannya adalah kami tidur di mobil saja. Tidak ada pilihan lain. Mau maju meneruskan perjalanan tidak bisa. Mundur juga lebih jauh lagi. Kami sudah menempuh sekitar 4 jam perjalanan dari Polewali sampai di lokasi kami ketika terjebak truk macet itu.

Ini seperti jadi klimaks perjalanan kami Minggu (8/2) kemarin. Sangat melelahkan..

Perjalanan dengan pesawat dari Bali ke Makassar, kami hanya perlu waktu kurang dari 1,5 jam. Tapi dari Makassar ke Mamasa, kami perlu waktu lebih dari 12 jam lewat darat. Ini satu-satunya jalan ke kabupaten di Sulawesi Barat ini. Tidak ada jalur lain.

Dari Makassar ke Polewali, kami lewat jalan mulus beraspal. Peni dan Ana, dua teman di VECO Indonesia, ini jadi teman perjalanan yang asik. Makanya meski jauh, perjalanan itu tidak terlalu terasa.

Masalahnya justru ketika dari Polewali ke Mamasa. Jalan berganti sangat hancur. Tidak terbayang akan separah itu.

Jalan ini naik turun. Berkelok-kelok dengan jurang di satu sisi dan tebing di sisi lain. Jalan antar-kabupaten ini menyusuri sisi-sisi bukit. Parahnya jalan itu benar-benar hancur. Ada sedikit bagian yang sudah diaspal. Tapi sisanya masih berupa tanah, kerikil, atau batu bukit. Banyak becek. Sudah gitu, kami melewati jalan ini justru ketika malam.

Ada beberapa perjalanan mengerikan yang pernah aku alami. Salah satunya ketika ke Ranupane, kaki gunung Semeru pada 2005 lalu. Tapi perjalanan kali kok rasanya lebih mengerikan. Mungkin karena malam dan jalanan hancur itu tadi. Sudah begitu, badan juga sudah capek banget karena perjalanan seharian.

Eh, sudah capek, kami ternyata harus tidur di mobil dengan tubuh mlungker. Serba sakit..

Tapi beberapa mobil kemudian datang malam itu. Satu. Dua. Tiga. Empat. Aku lihat ada empat mobil lain di belakang kami. Awalnya mereka juga hanya melihat truk miring itu. Lalu balik ke mobil masing-masing.

Sekitar 30 menit kemudian, mereka lalu mulai membantu truk itu agar bisa mengangkat bannya. Di tengah malam gelap, sekitar 10 orang itu bersama-sama mengangkat ban yang terperosok di lumpur. Aku cuma menonton dari dalam mobil sambil melipat tubuh mencoba terlelap. Realistis sajalah. Aku tak punya cukup tenaga untuk membantu. Maka tidur saja ketika mereka bekerja. Setelah berulang kali gagal, mereka ternyata berhasil juga.

Ah, akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan. Aku pikir sudah dekat, karena temanku si Peni bilang tinggal sekitar 15 km. But, begitulah. Kami melewati jalan rusak parah. Jadi jalan kayak keong. Satu jam lebih kami baru sampai kota Mamasa.

Pukul 2 pagi ketika kami sampai hotel Matana, tempat kami menginap. Gila! Berarti kami perlu waktu 15 jam dari Makassar sampai Mamasa. Dan separuh waktu itu hanya untuk perjalanan dari Polewali ke kota Mamasa, yang jaraknya sekitar 90 km itu.

Oh ya, “kota” di depan Mamasa ini menurutku hanya nama. Tidak dalam artian sebenarnya. Sebab secara fisik, ibukota Kabupaten Mamasa ini jauh lebih buruk dibandingkan Brondong, kota kecamatanku di Lamongan sana sekalipun. Mamasa benar-benar lebih parah daripada yang aku bayangkan.

Perjalanan melelahkan inilah yang membuatku melihat kembali betapa besarnya kesenjangan pembangunan antara Jawa Bali dengan luar Jawa Bali. Dua pulau ini kecil kalau dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Namun dua pulau ini memiliki fasilitas transportasi yang sangat memadai. Ya, tentu saja masih ada beberapa tempat yang belum terjamah pembangunan fisik. Namun ini biasanya di desa-desa.

Lha di Mamasa ini tidak. Masak jalan antar-kabupaten, berarti jalan provinsi, kondisinya bisa sangat parah seperti itu.

Toh bagi warga Mamasa, jalan saat ini –yang bagiku sangat rusak parah dan hancur- ternyata jauh lebih baik dibanding sekitar 10 tahun lalu. “Dulu kami perlu waktu tiga hari untuk jalan kaki ke Polewali,” kata Agus Malia, petani yang kami temui hari ini.

Benar kata Peni, staf VECO Indonesia, yang mengadvokasi petani di Mamasa. Kami memang perlu menurunkan standar “kemewahan” kami. Apa yang kami anggap sangat buruk itu ternyata sudah jauh lebih baik bagi warga Mamasa sendiri. Kemapanan yang selama ini kami nikmati di Jawa dan Bali ternyata melenakan..

4 Comments
  • PanDe Baik
    February 11, 2009

    sebaik atau seburuk apapun kondisi mereka diluar, masih tetap jauh lebih baik kondisi rumah kita sendiri….

  • didut
    February 12, 2009

    bli, sekali sekali skrinsutnya ditampilkan dung 😀 … daku tdk bisa membayangkan nih scr sempurna 😀

  • wira
    February 13, 2009

    gitu ya pak? wah ga kebayang deh…

  • Dek Didi
    February 16, 2009

    Oh lagi di Sulawesi toh? Pantesan gak tampak kemarin. Oleh2nya ya om…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *