Putu Satria Kusuma, pemain teater dari Singaraja, memainkan naskah keren hari ini: Waiting for Godot. Selain keren permainannya, Bli Putu dan tiga teman lain (Aji, Eka, dan Wijaya) juga memainkan naskah yang tepat –sangat tepat malah- dengan situasiku saat ini.
Naskah yang disebut The Massachusetts Review (Autumn, 1999) sebagai “The Most Significant English Language Play of the 20th Century” ini dimainkan Bli Putu di sela evaluasi bulanan kantor tempat aku kerja part time. Tiap enam bulan, kami memang membuat evaluasi internal terkait program. Karena ingin sesuatu yang berbeda, maka kami sepakat untuk mengundang pemain teater yang bisa memainkan naskah Waiting for Godot. Sekalian untuk mengkritik kebiasaan kami di kantor, menunggu sesuatu yang tidak jelas.
Waiting for Godot adalah naskah klasik karya Samuel Beckett tentang penantian oleh dua sahabat karib, Vladimir dan Estragon. Dua sahabat ini menunggu Godot, sesuatu yang tidak jelas sampai akhir cerita. Apakah Godot itu manusia, dewa, Tuhan, penyelamat, uang, atau binatang.
Bli Putu, aku mengenalnya sekitar dua tahun lalu ketika menginap di rumahnya di Singaraja sama Toni usai menontong pementasan Creamer Box di IKIP Singaraja, membuka pementasan ini sama Aji. Keduanya hanya duduk di pinggi panggung kecil di ruang pertemuan Rani Padmawati hotel Puri Dalem Sanur, tempat pertemuan kami.
Keduanya sepakat menunggu Godot. Sambil menunggu itu, mereka ngobrol, berdebat, kadang sampai bertengkar meributkan sesuatu yang tidak jelas. Ironisnya, mereka meributkan tentang apa yang sebaiknya dilakukan namun kemudian tidak melakukan apa-apa. Ini mirip kejadian di kantor dan di Bali Blogger Community (BBC) saat ini.
Di dua tempat ini, kami memang lebih sering meributkan apa yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu waktu terus berlalu dan masalah pun tetap ada. Dan ketika masalah itu terus terjadi dan makin parah, kami ternyata masih sibuk berdebat tanpa berbuat.
Vladimir dan Estragon pun demikian. Mereka berdebat tentang rencana tidur selama menunggu Godot namun kemudian tidak jadi tidur karena takut Godot akan datang dan mereka tidak tahu kedatangannya. Mereka sepakat akan menggantung diri karena frustasi menunggu Godot yang tak kunjung datang. Namun rencana ini batal karena mereka tidak menemukan kata sepakat tentang siapa yang harus pertama kali bunuh diri. Begitu selalu. Mereka sibuk berdebat tanpa berbuat.
Di antara diskusi, debat, dan pertengkaran itu, muncul tokoh Pozzo dan Lucky. Pozzo, yang mereka pikir adalah Godot, ternyata penguasa lalim yang menguasai si budak Lucky.
Sadar bahwa Pozzo orang lalim, Vladimir dan Estragon sepakat untuk menolong Lucky. Tapi ya begitu, keduanya sibuk bertengkar dengan suara menggelegar memecahkan ruangan tentang bagaimana caranya menolong Lucky. Namun ketika Pozzo berlalu dengan Lucky masih terikat oleh tali, dua sahabat itu masih sibuk berdebat.
Bli Putu, yang pernah pentas keliling Jawa dan memenangkan beberapa lomba penulisan naskah teater di Dewan Kesenian Jakarta serta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata itu, memainkan naskah ini dengan keren. Meski naskahnya sangat serius, mereka juga bisa mengisinya dengan hal-hal lucu, dan berani.
Misalnya saja kencing dengan cueknya di bawah foto Presiden dan Wakil Presiden, entah mereka sadar atau tidak. Juga menggantungkan diri pada Garuda di antara dua foto itu. Lalu mereka juga dengan cueknya, di depan banyak orang, menyentil-nyentil penis dari kayu usai mereka kencing. Semua orang tergelak. Ada juga yang malu-malu.
Pementasan berakhir dengan tragedi. Ketika waktu terurs berlalu, wajah dua sahabat itu makin keriput dan rambutnya memutih, Godot yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu ketika datang seseorang, yang lagi-lagi mereka pikir adalah Godot, ternyata orang itu adalah malaikat kematian.
Maka, hingga kematian itu menjemput, Godot tidak pernah datang. Menunggu Godot tidak hanya menunggu ketidakpastian, dia juga kesia-siaan..
Leave a Reply