Bukan. Ini bukan gajah binatang besar itu. Bukan pula judul album barunya Tulus.
Ini hanya perumpamaan. Gajah itu mewakili media-media besar di Bali seperti Bali Post, Radar Bali, NusaBali, dan seterusnya. Adapun semut untuk media-media komunitas.
Selasa lalu, pegiat-pegiat media komunitas atau media alternatif tersebut kopi darat alias kopdar di Desa Dusun, Denpasar. Penggagas kopdar ini teman-teman di Sloka Institute. Idenya sih sudah lama. Tapi baru bisa terwujud saat libur tersebut.
Ada sekitar 20 orang. Duduk santai, ada yang di kursi, ada pula lesehan di lantai paling atas warung milik Desa Dusun ini. Selama sekitar 8 jam, kami ngobrol berbagi pengalaman dan ide.
Media komunitas itu antara lain Magic Ink Magz, MasBrooo, Dread Magz, Nusa Penida Media, Talov, Yakeba, dan BaleBengong. Ada media komunitas lain yang juga diundang. Sayangnya mereka tidak datang.
Ini pertama kali kami kumpul rame-rame. Ternyata asyik juga.
Media komunitas ini dari beragam dunia. Ada dunia nyata, ada juga dunia niskala alias tak nyata. Yang niskala ini misalnya Dread Magz. Medianya horor banget soale.
Pada dasarnya, media komunitas ini lahir dari rasa jengah. Bukan karena mau cari duit dan kaya dari media. Magic Ink, misalnya, lahir dari para penggemar tato. Isinya melulu tentang tato, termasuk para pemiliknya yang serem-serem itu.
Eh, ada yang cantik juga ding. Banyak malah.
Bermodal hobi, Magic Ink toh sudah terbit selama lima tahun. Tiap dua bulan sekali, mereka terbit sebanyak 1.500 eksemplar. Distribusinya tak hanya Bali tapi bahkan sampai Medan dan Papua.
Padahal yang ngerjain dua orang saja. *Tepuk tangan untuk Bagus Ferry dan Dewa Keta.
Lain lagi cerita MasBrooo, majalah handy yang baru terbit sembilan edisi. Ini majalah baru di Denpasar. Tapi cepat sekali jadi perbincangan baru di dunia anak-anak gaul Denpasar. Atau mungkin malah Bali. Aku tak tahu pasti.
Aku cuma baca sekali. Itu pun karena pas pagi-pagi mampir rumah Sanjay, teman yang pernah nyumbang desain ke sana. Isinya gaul habis. Anak muda banget. Tidak cocok buat aku yang sudah berumur kepala tiga.
Tapi, MasBrooo ini media keren. Setidaknya dari tata letak. Ukuran handy. Desain elegan. Isinya sekilas sih asyik karena mengulas anak-anak muda harapan bangsa maupun karya mereka.
Menariknya karena dengan investor misterius, ketiga pengelola Mas Brooo mengaku bebas berkarya. “Tujuannya cuma satu, memprovokasi anak-anak muda Bali agar kreatif,” kata Dek Tri yang mengelola majalah bulanan ini bersama Esha dan Handika.
Masih ada Dread Magz, Talov, dan Nusa Penida Media. Tapi, tak usahlah dibahas semua. Intinya, menurutku, mereka keren semua. Meskipun cuma bermodal semangat, mereka semua tetap terus menggeliat.
Media-media komunitas itu bisa jadi pilihan bacaan bagi konsumen media di pulau ini. Jika mereka belum bisa melawan para gajah bernama media arus utama, setidaknya mereka jadi pilihanlah. Daripada tidak ada sama sekali.
Jadi, kapan kita kopdar lagi, semut-semut sekalian? Sekalian ajak semut-semut lain yang mau melawan gajah..
Leave a Reply