Miris melihat campur aduk antara fakta dan fitnah bertebaran saat ini.
Semua bertebaran di dunia maya. Di Twitter, di Facebook, di website, atau bahkan layanan pesan pendek seperti WhatsApp dan BlackBerry Messenger (BBM), fitnah itu berseliweran.
Padahal, ya begitu. Semua cuma sampah atau malah kadang-kadang fitnah.
Fitnah itu makin melimpah ruah akhir-akhir ini, dalam suasana pemilu sejak legislatif hingga menjelang Pilpres. Sayangnya, tak sedikit teman yang percaya begitu saja dan bahkan menyebarkan fitnah itu.
Begitulah risiko hidup di abad penuh informasi. Serbuan informasi datang seolah-olah tak bisa dikendalikan. Dia menyerbu ruang-ruang baca kita di meja makan, di ruang kerja, bahkan di tempat tidur sekalipun. Media sosial dan layanan pesan pendek mengantarkan informasi itu ke ruang paling privat kita sekalipun.
Namun, tak semua informasi layak dipercaya. Sebagian hanya sampah atau bahkan fitnah. Tidak ada akurasinya.
Lalu bagaimana kita memilih dan memilah informasi yang datang bertubi-tubi itu?
Memilah informasi berlimpah di dunia maya sebenarnya sama saja dengan di kehidupan sehari-hari. Serupa dengan saat kita ngobrol di kampus, di pasar, atau bahkan di warung kopi.
Keduanya sama saja, dunia maya dan dunia nyata. Cuma beda media.
Dalam kehidupan sehari-hari, tiap orang punya cara tersendiri untuk memilih dan memilah informasi, termasuk mempercayainya. Kita tentu tidak bisa percaya begitu saja pada orang yang baru kita kenal. Kita tentu tidak percaya begitu saja pada omongan orang yang kita tahu sudah sering berbohong. Dan seterusnya.
Kita bisa menggunakan cara dan mekanisme serupa terhadap informasi di dunia maya. Dalam konteks berbeda, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua begawan jurnalisme dari Amerika, menuliskan panduan tersebut dalam buku Blur. Mengenai bagaimana kita bisa memilah dan memilih informasi yang datang berlimpah ini.
Tahapan yang ditawarkan Kovach dan Rosenstiel itu berupa enam pertanyaan skeptis terhadap informasi yang kita dapat. Saya coba menafsirkan tahapan itu sesuai konteks di Indonesia, terutama kondisi aktual menjelang Pilpres.
Pertama, periksa apa jenis informasi yang kita peroleh. Tiap informasi punya jenis masing-masing. Misalnya berita, gosip, desas desus, hasil riset, dan seterusnya. Jenis informasi berita atau hasil riset tentu lebih layak dipercaya daripada gosip atau desas-desus.
Berita dihasilkan oleh pembuat profesional, jurnalis. Begitu pula dengan hasil riset oleh peneliti atau penyelidikan oleh polisi. Kenapa? Karena jurnalis, peneliti, dan polisi punya standar kerja tersendiri untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi tersebut.
Beda dengan gosip yang tak jelas siapa pembuatnya. Saya tak akan percaya pada gosip tidak jelas. Contohnya, jika ada gosip bahwa pacar Prabowo adalah lady boy atau waria dari Thailand. Ya, jangan percaya begitu saja. Itu kan gosip. Tidak jelas siapa yang menginformasikan dan dari mana sumbernya.
Kedua, kenali siapa yang menyampaikan informasi. Beda penyampai, beda pula kualitas informasinya. Ini sekadar contoh saya pribadi. Saya tidak suka dan tidak percaya pada apa yang ditulis J Osdar, wartawan Kompas. Ya, dia memang wartawan di Istana Kepresidenan. Tapi, bagi saya, tulisannya selalu terkesan semata untuk menyenangkan narasumber.
Saya tidak percaya pada wartawan yang suka menyenangkan pejabat.
Itu baru dari wartawannya, beda lagi dari medianya. Menurut saya, makin berkualitas medianya, makin berkualitas pula informasinya. Maka, tingkat kelayakpercayaan informasi itu pun makin tinggi.
Karena itulah, saya tidak pernah percaya pada media-media partisan dan provokatif seperti Ar-Rahmah, VOA Islam, dan semacamnya. Mereka media yang dibuat dengan niat untuk menyerang identitas yang mereka anggap sesat.
Begitu pula jika memang ada media yang cenderung menyerang Islam atau agama lain. Mereka media provokatif. Tidak layak dipercaya. Tentu saja saya lebih percaya Republika atau TEMPO dibandingkan media-media partisan agama apapun itu.
Ketiga, periksa siapa atau apa sumber informasi dalam berita tersebut dan kenapa kita bisa memercayainya. Dalam kerja-kerja jurnalistik, sudah ada “penyaringan” sejak awal, termasuk sudut pandang dan kemudian nara sumber.
Memeriksa sudut pandang berita mungkin agak susah. Tapi, menanyakan pemilihan narasumber lebih mudah. Tanyakanlah kenapa narasumber A yang dipilih, bukan si B.
Contohnya jika berita dari Vivanews yang mewawancarai Ketua Partai Golkar. Saya tak akan percaya karena Vivanews adalah media milik Aburizal Bakrie, ketua partai tersebut. Begitu pula jika Metro TV hari-hari ini memberitakan tentang Jokowi dengan narasumber Surya Paloh. Isinya pasti puja-puji karena pemilik Metro TV tersebut bagian dari koalisi pendukung Jokowi – Jusuf Kalla.
Periksa narasumber, adakah hubungan dia dengan parta politik atau koalisi. Jika iya, maka omongannya pasti semata untuk menguntungkan partai atau koalisinya. Dia tidak netral.
Keempat, periksa adakah bukti-bukti yang disampaikan dalam berita tersebut dan apakah sudah diuji oleh penulisnya. Jika tidak, maka informasi itu hanya serupa iklan, ngecap tanpa bukti, atau fitnah.
Contoh paling mudah adalah informasi tentang tuduhan bahwa Jokowi orang Katolik. Ini informasi tidak jelas dari mana sumber dan apa buktinya. Periksa adakah bukti dalam informasi tersebut yang mendukung fakta bahwa Jokowi seorang Katolik.
Jika tak ada, abaikan. Jangan percaya fitnah.
Begitulah kurang lebih cara biar tak terjebak pada fitnah dan gosip di dunia maya. Memang panjang sih. Agak ribet juga. Tapi ya, ketepatan memang tak bisa dihasilkan hanya mengandalkan kecepatan..
Leave a Reply