Infeksi Multiorgan pada si Kecil

0 , , Permalink 0

Seorang bayi di Denpasar karena infeksi multiorgan. Kini dia juga terkena penyakit yang lebih mematikan, infeksi kelenjar otak.

Anak kedua dari pasangan Made Sudarsana dan Ni Ketut Wati itu lahir pada pertengahan November tahun lalu. Dia lahir di rumah sakit Sanglah Denpasar melalui operasi cesar dengan berat 2,5 kg dan panjang 47 cm. Operasi dilakukan karena air ketuban ibu kurang. Selesai melahirkan, ibunya menjalani perawatan di RSUP Sanglah selama lima hari untuk kemudian pulang.

Tujuh hari setelah di rumah, bayi yang belum punya nama itu muntah-muntah. Oleh orangtuanya, bayi tersebut dibawa ke bidan yang kemudian memberikan obat sehingga sakitnya berkurang. Namun, ketika bayi berumur 25 hari, dia tiba-tiba muntah sehingga dibawa ke Puskesmas Abiankasa. Dokter di puskesmas tersebut merujuknya ke RS Wangaya, Denpasar.

Melalui pemeriksaan diketahi bahwa bayi itu mengalami dehidrasi dan sesak napas. Sebagai pengobatan diberikan cairan antibiotika sehingga sesak berkurang dan mulai bisa menyusu. Untuk mengetahui bagian dalam bayi, dia difoto thorax. Dari foto itulah diketahui bahwa bayi itu mengalami infeksi paru-paru dan darah. Menurut I Wayan Reta, dokter spesialis anak di RS Wangaya, bayi tersebut terkena infeksi multiorgan (sepsis neonatorom).

Infeksi neonatorom ini menurut Retayasa bisa terjadi karena beragam sebab antara lain bayi tidak mau menyusu serta bayi tersebut loyo, panas, dan dingin. Disebut infeksi multiorgan karena infeksi tersebut dapat menyerang organ-organ penting pada bayi tersebut seperti paru-paru, darah, otak, hati, ginjal, usus, dan paling parah menyerang otak.

Bisa menyerang ke seluruh organ maupun beberapa diantaranya. Penyebabnya adalah bakteri pseudomonas aeruginosm. Kalau menyerang paru-paru, penderita akan mengalami sesak napas dan wajahnya membiru. Sedangkan kalau darahnya terinfeksi, bayi itu akan mengalami kekurangan darah (anemia) dan gangguan pembekuan darah.

Ketika GATRA melihatnya akhir Desember lalu, bayi tersebut terlihat lemas, terus menangis, dan membiru di bagian kakinya. Pada tubuhnya masih terdapat beberapa selang cairan antibiotik. Menurut ibunya Ni Ketut Wati, sepulang dari perawatan di RS Sanglah Denpasar bayi tersebut memang selalu menangis, tidak mau menyusu, dan muntah-muntah.

Sebelum anaknya lahir, istri dari pegawai di Universitas Udayana Bali ini tidak pernah merasakan hal yang aneh. Dia juga tidak ngidam yang aneh-aneh. Dia hanya mengkonsumsi kalsium setiap hari ketika kandungan berumur 6-9 bulan. Namun dia mengaku bahwa kelahiran anaknya memang lebih lambat hampir sebulan dari yang seharusnya. Padahal, anak pertamanya yang kini berumur enam tahun lahir biasa saja.

Kelahiran yang terlambat ini, menurut Retayasa, bisa jadi salah satu penyebab kekurangan air ketuban ketika melahirkan sehingga ketuban itu pecah dini lalu airnya mengalir dari plasenta ibu ke darah anak. Akibatnya, darah anak pun tercemar kuman yang dibawa air ketuban tersebut. Mudahnya kuman masuk dan menyerang organ bayi ini karena sel-sel untuk membunuh bayi dan kekebalan badan belum terbentuk.

Selain melalui saluran darah ibu ketika melahirkan, tambah Retayasa, kuman juga bisa karena faktor lingkungan yang kurang bersih atau ibunya yang sakit. Lingkungan tempat lahir bayi itu di Jl Sakura Denpasar juga terlihat rapi. Tidak ada tempat kotor seperti selokan terbuka. Namun ketika pulang dari RS Sanglah setelah persalinan, Ketut Wati mengaku sakit pilek, meski hanya 2-3 hari.

Infeksi multiorgan sendiri termasuk penyakit yang rentan terjadi pada bayi. Menurut Retayasa, yang juga Kepala Bagian Perinatologi RS Wangaya, dari 2.500 kelahiran, sekitar 50 bayi bisa terinfeksi multiorgan. Padahal akibatnya bisa sangat berbahaya. Tingkat kematiannya 25 persen hingga 50 persen tergantung pada perawatan.

Kalau menyerang jantung, denyut jantung bayi tidak akan normal menjadi lebih cepat atau lambat. Pada jantung akan membuat hati bengkak dan sekujur tubuh menjadi kunig. Pada ginjal mengakibatkan bayi tidak bisa kencing. Pada usus akan mengakibatkan perut kembung, muntah, dan berak darah. Paling parah, kalau menyerang otak, bayi itu akan kaku tubuh atau kejang-kejang.

Dan, bayi itu kini mengalami infeksi yang paling berbahaya tersebut. Ketika dihubungi GATRA Minggu pekan ini, Retayasa mengatakan bahwa bayi itu juga positif terkena infeksi selaput otak (meningitis). Infeksi pada selaput otak ini baru diketahui dua hari lalu melalui kultur pembiakan cairan sumsum otak. Hasil pemeriksaan memang memerlukan waktu yang cukup lama sehingga baru diketahui bahwa pada cairan sumsum bayi itu terdapat bakteri krepsiela, penyebab meningitis. Resiko kematian akibat meningitis ini, kata Retayasa, lebih dari 50%.

Bakteri ini cukup resisten terhadap antibiotik sehingga antibiotik golongan ceptacidin dan cephalosphorin yang selama ini diberikan kepada bayi itu tidak dapat membunuh bakteri tersebut. Sebagai pengobatan, saat ini diberikan antibiotika golongan ampicilin dan amikasin sebagai pengganti. Untuk mengobati anemia, bayi itu juga diberikan darah jenis O dari bapaknya selama tiga hari masing-masing 28 cc. Saat ini, kalau dilihat sekilas, kondisinya makin membaik. Beratnya 3 kg. Sehari-hari dia sudah menyusu, suhu badannya normal, namun kadang-kadang kejang. Ubun-ubun yang dulu menonjol pun kini datar kembali.

Retayasa mengatakan terinfeksinya kelenjar otak itu dikarenakan pengobatan yang terlambat diberika kepada bayi. Bayi itu baru dibawa ke RS Wangaya pada 9 Desember padahal sudah sakit sejak 26 November. “Tiga belas hari lumayan cepat untuk perkembangbiakan bakteri di dalam otaknya,” kata dokter lulusan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana Bali ini.

Orangtua si bayi sendiri hanya bisa pasrah. Wati tidak mau menyebutkan berapa biaya yang telah dihabiskan. “Saya berharap anak saya bisa sembuh secepatnya,” kata ibu dua anak ini. namun, Wati masih harus menunggu lebih lama lagi. Sebab, untuk mengetahui bagaimana hasil pengoatan terhadap anaknya itu, dokter memerlukan injeksi selama 21 hari.

Karena sudah berjalan 14 hari, Wati harus menunggu seminggu lagi. Itu pun belum tentu langsung sembuh. Selesai injeksi perlu dilihat apakah bayi panas atau tidak. Kalau suhu badan normal, masih perlu dilakukan CT scan untuk mengetahu apakah memang seluruh bakteri di otak si bayi sudah mati. [#]

Comments are closed.