Di Bawah Pungli, di Atas Korupsi

0 , , Permalink 0

pungli Bahkan, kemacetan pun bisa jadi peluang bagi mereka.

Tanpa rasa malu sama sekali, anak-anak belasan tahun tersebut meminta uang ke tiap sopir yang lewat. Mereka menyatroni mobil satu per satu, lalu dengan wajah tak ramah menengadahkan tangan ke sopir.

Kami termasuk di antara ratusan kendaraan yang lewat sana pekan lalu. Kami terjebak kemacetan akibat perbaikan jembatan di Mlandingan, Situbondo, Jawa Timur dalam perjalanan menuju ke Bali.

Dua anak belasan tahun itu menyatroni kami pula. Wayan Doglag, kakak ipar saya yang menyetir, tidak memberikan satu rupiah pun ke mereka. Lalu, mereka pergi melanjutkan pemalakan ke sopir-sopir lain.

Berjarak sekitar 20 meter dari sana, belasan orang lain melakukan hal sama. Usia mereka lebih tua, 30an tahun. Tanpa sungkan mereka menengadahkan tangan ke arah sopir. Tampang mereka lebih sangar.

Wayan kali memberikan Rp 2.000 ke mereka disusul protes dari saya dan istri, “Ngapain kasih uang ke mereka?”

“Nah. Anggap saja sedekah,” kata Wayan.

Kami pikir cuma di sana ada pungutan liar (pungli). Ternyata tidak. Kami mengalami sepanjang perjalanan.

Pelaku punglinya beragam umur dan penampilan. Di salah satu pertigaan, ada lebih dari 10 tukang becak nodong ke orang-orang yang lewat. Di tempat lain, di tengah Taman Nasional Baluran antara Situbondo – Banyuwangi pun ada orang nodong hanya karena truk mogok di sana.

Begitu masuk Gilimanuk, Bali, kami melihat hal tak jauh berbeda, sopir mobil pikap memberi uang ke petugas yang seharusnya memeriksa barang bawaan dan identitas si sopir.

Maka, begitulah gambaran mengguritanya perilaku pemerasan, pungli, atau apapun sebutan lainnya. Sejak di bawah, di jalanan, pun hal tersebut terjadi. Pelakunya lintas kelas dari anak sekolah, tukang becak, hingga petugas yang berseragam.

Kedoknya pun bisa beraneka rupa. Ada yang tidak jelas apa motivasinya. Ada yang berkedok sumbangan pembangunan masjid. Ada yang bertopeng uang rokok untuk petugas.

Dari pelosok desa seperti di Mlandingan, Situbondo hingga belantara Jakarta pun pungutan itu sudah jadi wajah sehari-hari. Lihat misalnya Pak Ogah yang pakai alasan membantu pengguna kendaraan untuk menyeberang atau berbalik arah. Mereka dengan cueknya memalak orang yang lewat. Jika kita menolak, risikonya kendaraan kita mungkin dirusak tanpa terlihat.

Dari pungli di jalanan kemudian lari ke korupsi di gedung-gedung mewah seperti kantor gubernur, gedung Dewan, ruang pengadilan, dan bahkan rumah keadilan Mahkamah Konstitusi di negeri yang mengaku menjunjung tinggi agama ini. Semua pelakunya sama saja, sudah putus urat malunya. Makanya, mereka yang korupsi ini masih bisa tertawa-tawa di depan media.

Korupsi di negeri ini, sama riuhnya dengan suara-suara mereka yang memuja Tuhan. Ada di mana-mana dan bisa dilakukan siapa saja.

Foto dari TEMPO.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *