Baiklah. Saya akan memulai tulisan ini dengan pengakuan memalukan.
Saya pernah menangis ketika salaman dengan Amien Rais. Kejadiannya sekitar tahun 1999 silam. Ketika itu saya masih mahasiswa lugu tidak tahu apa-apa. :p
Pada tahun itu, siapa sih yang tidak kenal Amien Rais? Dia yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah dikenal sebagai tokoh reformasi bersama Gus Dur dan Megawati. Tentu masih banyak nama lagi, tapi Amien Rais salah satu yang di depan.
Sebagai mahasiswa lugu, baru semester lima, saya tak terlalu paham politik. Hanya mengikuti dari media arus utama. Di media-media, Amien Rais menjadi salah satu tokoh utama Reformasi 1998. Bagi saya ketika itu, dia tokoh hebat, berani berdiri di depan menantang Soeharto dan Orde Baru.
Tapi, ada alasan primordial juga.
Amien Rais adalah Ketua Umum Muhammadiyah saat itu. Saya sendiri lahir dan besar di keluarga Muhammadiyah. Dari TK hingga SMA, kecuali terpotong ketika Kelas VI karena pindah ke SD Negeri, saya sekolah di perguruan Muhammadiyah. Karena itu, bangga sekali rasanya sang ketua jadi tokoh reformasi.
Dengan alasan primordial pula, saya memilih Partai Amanat Nasional (PAN) dalam pemilu yang saya ikuti kedua kalinya pada 1999. Saya termasuk salah satu orang yang mengalami euforia dan harapan berlebihan terhadap partai ini.
Karena itu ketika Amien Rais sebagai Ketua PAN datang ke Bali, saya bersemangat sekali untuk bisa melihat dia dan bersalaman. Saya masuk dalam kerumunan massa di Gedung Pertemuan Kompleks Pemerintahan Kabupaten Badung di Lumintang, Denpasar saat itu. Tak peduli harus berdesak-desakan dengan ribuan orang, saya yang bertubuh kecil dan kurus, ngotot maju hanya agar bisa salaman dengan Amien Rais.
Saya berhasil. Menyalami dia meski hanya sekilas. Mata saya basah saking terharunya.
Bagi saya itu salah satu peristiwa yang tak akan terlupakan. Sebagai anak muda bisa bersalaman dengan tokoh yang dikagumi. Bukankah tiap anak muda punya tokoh yang dikagumi sendiri lengkap dengan imajinasi tentang mereka?
Dengan harapan besar pula saya memilih PAN. Selain alasan primordial itu tadi, menurut saya, partai ini memang membawa harapan besar ketika baru berdiri. Saya ingat tokoh-tokoh pendiri partai ini ketika itu adalah beberapa orang yang menurut saya memang bagus. Misalnya Faisal Basri, Bara Hasibuan, Goenawan Mohammad, Emil Salim, dan lain-lain. Mereka orang-orang yang bersih dan sudah berjuang lama mewujudkan demokrasi.
Dalam beberapa kali pemilu kemudian, saya masih menjadikan PAN sebagai salah satu partai pilihan. Seingat saya, pada pemilu 2009, saya masih memilih caleg dari PAN untuk DPRD Bali – dengan calon orang Bali – karena saya tidak punya pilihan lain. Untuk DPR saya pilih caleg dari PDIP sedangkan DPRD Kota Denpasar saya pilih teman yang maju dari Partai Bintang Reformasi (PBR).
Begitulah kurang lebih pilihan politik saya pada awalnya, campuran antara primordial dan rasional. Tidak radikal sama sekali.
Namun, seiring pengetahuan dan pengalaman, pilihan ini makin berubah. Begitu pula ikatan emosional dan primordial dengan PAN. Ironisnya, makin rasional saya, makin jauh pula PAN sebagai partai pilihan. Makin hari, saya merasa, partai ini makin jauh dari apa yang saya kenal dan harapkan dulu.
Puncaknya memang pada Pilpres 2014 kemarin, ketika akhirnya mereka memilih berkoalisi dengan Prabowo Subianto. PAN tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) bersama Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Golkar. KMP mengajukan paket calon Prabowo – Hatta Rajasa.
Bagi saya ini pilihan yang susah diterima akal. Bagaimana mungkin partai yang dilahirkan oleh Reformasi 1998 justru berkoalisi dengan mantan jenderal penculik anak-anak penggerak Reformasi itu sendiri?
Pilihan ini mengecewakan banyak orang. Para pendiri PAN seperti Goenawan Mohammad dan Faisal Basri justru keluar dari PAN. Begitu pula pendiri lain yang juga tokoh Muhammadiyah, Abdillah Toha.
Di kalangan PAN sendiri juga muncul pembangkangan terhadap pilihan tersebut. Anak-anak muda seperti Wanda Hamidah dan Cyril Raoul Hakim menolak tunduk pada partai dengan mendukung calon lain, Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Buntutnya, Wanda kemudian dipecat. Ini hal memalukan, memecat kader sendiri hanya karena pilihan yang berbeda.
Bersama gerombolan KMP ini, PAN kemudian melakukan blunder. Salah satu hasil kerja saat ini paling ditentang kalangan aktivis prodemokrasi adalah pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Ini langkah mundur dari apa yang dulu diperjuangkan PAN, menyerahkan demokrasi pada pemilik sesungguhnya, rakyat.
Jadilah, di mata saya, citra PAN makin terpuruk. Saat ini mereka hanya menjadi bagian dari persekongkolan busuk Gerindra, PKS, dan Golkar. Demi kepentingan jangka pendek, partai ini menjadi bebek, nurut pada koalisi meskipun menjauhkannya dari cita-cita ketika baru berdiri.
Minggu lalu dalam rapat Koalisi Merah Putih, Sekjen PKS Fahri Hamzah tegas menyatakan, koalisi mereka adalah koalisi kaum konservatif. Di Amerika Serikat, contoh partai model begini adalah Tea Party atau Republik. Tea Party sangat anti terhadap pendatang dan Islam. Republik bisa diwakili Bush Senior maupun anaknya.
Nyesek rasanya PAN disamakan dengan partai-partai konservatif ini.
Saya kemudian malu, kecewa dan menyesal sendiri pernah memiliki harapan begitu besar pada partai ini. Rasa bangga pada partai ini kian hari kian berubah menjadi rasa iba. Saya yakin saya tak sendiri. PAN seperti sedang menggali kuburannya sendiri.
Leave a Reply