Wow, lama sekali aku gak ngeblog. Lebih dari seminggu nok. Mungkin karena semangat ngeblog memang makin berkurang gara-gara Facebook. *ngeles. Jadi ya sudah. Tulis saja soal nonton layar tancap di Taman 65 tadi.
Barusan kami kembali menonton Laskar Pelangi, film yang diangkat dari novel laris Andrea Hirata dengan judul yang sama. Nonton kali ini agak beda. Kalau sebelumnya kami bertiga, -aku, bunda, dan bani- nonton di Wisata 21, yang semalem nontonnya di Taman 65, Kesiman. Mirip layar tancap, pemutaran film untuk banyak orang di lapangan. Penonton juga duduk lesehan.
Meski dalam suasana dan tempat yang berbeda, reaksiku ke film ini juga sama: sesenggukan pas liat beberapa adegan. Padahal ketika baca novelnya, aku merasa tidak ada yang luar biasa seperti yang ditulis banyak orang. Aku merasa, film Laskar Pelangi lebih bisa menyentuh dan membangun kembali ingatanku tentang masa lalu dibanding bukunya.
Begitu pula ketika aku menontonnya di Taman 65, meski kami hanya menonton tak sampai separuh film.
Lintang adalah tokoh yang paling mengesankan bagiku. Si jenius ini harus menempuh jalan panjang tiap hari untuk ke sekolah tiap hari. Dia juga harus membantu keluarganya ketika pulang sekolah. Di adegan lain ada pula anak-anak sekolah lain harus bekerja di lahan pertambangan timah saat liburan. Laskar Pelangi memang menceritakan anak-anak miskin yang sekolah di SD Muhammadiyah 1 Gantong, Bangka Belitong.
Sepuluh murid tersebut datang dari keluarga miskin di antara orang-orang kaya pegawai PT Timah. Kemiskinan ini yang berulangkali membuatku sesenggukan. Misalnya pas melihat Lintang, si jenius di Laskar Pelangi, yang tiap hari harus naik sepeda puluhan kilo untuk ke sekolah.
Itu pula yang dulu aku alami ketika SD hingga SMA. Keluar dari MI Muhammadiyah di desa sendiri lalu sekolah di SD desa sebelah. Memang sih tak sampai puluhan kilometer, tapi ya sama menyedihkannya. ? Tiap hari aku harus jalan kaki 2 km ke sekolah. Kalau beruntung aku bisa dapat tebengan sepeda dengan teman. Begitu pula ketika aku SMP dan SMA yang semuanya di Perguruan Muhammadiyah Sedayulawas Lamongan.
Ada beberapa hal lain dalam film itu yang mengusik emosiku. Tapi ya sepertinya kemiskinan itu yang paling kuat.
Di luar masalah kemiskinan itu ada satu ironi yang kutemukan. Dalam film Laskar Pelangi yang aku temukan adalah kenyataan bahwa sekolah Muhammadiyah itu sekolah untuk orang-orang miskin. Itu mungkin dulu. Kalau sekarang sih makin jauh. Sekolah Muhammadiyah sudah terkenal jadi sekolah elit, mahal bukan main. Setidaknya itu pula yang terjadi di tempat sekolahku dulu..
April 4, 2009
yah… akhirnya nonton ‘Laskar Pelangi’ kesampean juga… dapet nyulik dari Warnet dekat rumah… tapi gregetnya kurang… :p
dibandingkan bukunya…
April 4, 2009
Selamat Sore…
Salam Kenal dari Balikpapan…
Boleh bertukar link..? 🙂
April 6, 2009
mudah-mudahan Muhamadiyah tetap memberikan kontribusinya untuk sekolah-sekolah yang didaerah miskin karena saya melihat trend sekolah mereka dekta rumah saya di Jakarta juga semakin besar dan mewah
April 9, 2009
bli pande ternyata sukanya nyulik. 😀
April 9, 2009
salam kenal. silakan..
April 9, 2009
di mana2 memang sekolah muhammadiyah makin mahal. menyedihkan..
May 25, 2009
koq se almamater Rahman, fathur