Fakta memang tidak bisa berbohong. Dan inilah yang terjadi. Akhir bulan lalu, satu lagi koran di Amerika Serikat yang bangkrut. Kali ini terjadi pada Chicago Sun-Times. Awal bulan lalu, hal lebih tragis terjadi pada The Christian Science Monitor, salah satu koran terkemuka di Amerika. Koran yang sudah berumur 100 tahun ini menutup edisi cetaknya untuk fokus pada edisi online.
Kebangkrutan itu menambah daftar panjang berakhirnya media cetak di Amerika. Kompas menulis bahwa sebelum itu ada Seattle Post-Intelligencer yang mengakhiri edisi cetak setelah terbit selama 146 tahun. Juga koran Rocky Mountain News tutup pada Februari lalu. Sejumlah kelompok surat kabar lain, seperti Tribune Co, pemilik Los Angeles Times dan Chicago Tribune, telah mengajukan proses kebangkrutan demi menyiasati kerugian selama bertahun-tahun.
Amerika Serikat selalu jadi acuan untuk banyak persoalan termasuk soal media. Jadi anggap saja kondisi di tempat lain juga tak jauh berbeda.
Ketika media cetak bangkrut, media online justru terus bertambah. Media cetak seperti tak cukup hanya mengandalkan koran. Maka mereka membuat edisi online dan menggarapnya dengan serius. Di Bali misalnya, Bali Post adalah satu-satunya koran yang serius menggarap edisi online. Selain berisi berita-berita dalam format html, ada pula dalam bentuk epaper. Media lokal lain, masih acak adut. Kalah jauh soal versi online..
Media nasional pun begitu. Bahkan tak hanya punya versi online, mereka juga punya blog di media masing-masing. Kompas, Tempo, SCTV, detik.com, semua menyediakan halaman khusus untuk blog. Biasanya ini berisi berita-berita yang ditulis dengan gaya sangat personal, dan cenderung santai, meski materinya sangat serius.
Di versi online itu, tak sedikit pula yang mempertemukan berbagai jenis media termasuk audiovisual. Vivanews, detik.com, dan Kompas.com misalnya menyediakan halaman khusus untuk video. Inilah konvergensi. Banyak fungsi dalam satu perangkat.
Ketika media cetak makin megap-megap karena terus berkurangnya pembaca, media online justru menunjukkan geliatnya. Sebagai contoh Kompas.com saja diklik 66 juta kali tiap bulan. Itu sih versi mereka. Tapi ya masuk akal juga sih. Lagian data itu kan gampang sekali dilihat.
Di sisi lain, jumlah pengguna internet juga terus bertambah. Menurut data First Media, salah satu penyedia layanan internet, jumlah pengguna internet di Indonesia ada 25 juta. Memang sih ini hanya sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Tapi setidaknya jumlah itu terus meningkat, bahkan sampai 1000 persen!
Di luar urusan infrastrukur, ada pula perubahan perilaku. Mengutip hasil riset Agus Sopian untuk Open Society Institut (OSI)), anak muda berusia 15-24 tahun kini cenderung memilih menghabiskan waktu di depan internet daripada baca koran atau majalah. Ini kan iya banget.
Pola konsumsi media juga makin berubah. Kalau sebelumnya cenderung monolog alias satu arah, sekarang konsumen media juga ingin terlibat meski sekadar berkomentar. Internet yang memungkinkan hal itu terjadi dengan lebih mudah.
Maka jelaslah semua petanda ini. Ketika media cetak jatuh bergelimpangan, kini waktunya media online yang menggantikan. Media online adalah masa depan kita..
Leave a Reply