Karena Dunia Tak Hanya Seluas Ruang Kelas

0 , Permalink 0

Tahun ini kami memindahkan Satori ke sekolah baru.

Dia masih TK Kelas B. Seharusnya masih melanjutkan di sekolah lama yang hanya berjarak tak sampai 200 meter dari rumah.

Namun, kami sudah bersepakat. Si adik juga semangat ketika dikasih tahu. Dia pun pindah ke TK lain, satu tempat dengan Bani, kakaknya, sekolah sejak SD kelas I hingga saat ini.

Ada beberapa alasan kenapa kami memindahkan. Salah satunya karena jam sekolah. Di sekolah baru, murid hanya masuk lima hari, Senin sampai Jumat. Jam belajarnya lebih lama dari sekolah lama, sampai siang atau sore.

Satori dan Bani pun belajar lebih lama di sekolah. Si adik masuk pukul 8 pagi. Pulangnya pukul 12.20. Si kakak, masuk pukul 7.30. Pulangnya 2.30, termasuk pengayaan karena sudah kelas 6 selama 1 jam.

Karena jam masuknya hanya selisih 30 menit, jadi sekarang lebih enak antar anak sekolah. Cukup sekali jalan di pagi hari. Jemput pulang yang agak repot karena harus dua kali.

Tapi ya tidak apa. Banyak enaknya karena mereka satu sekolah. Senang lihat mereka berangkat sekolah bareng. Apalagi pas keduanya gandengan begitu masuk gedung sekolah. Itu kebahagiaan yang selalu terjadi tiap pagi saat aku mengantarkan mereka.

Ingatan soal sekolah anak-anak itu mendadak muncul gara-gara ini lagi pada ribut soal rencana sekolah lima hari. Ada juga yang menyebutnya full day school (FDS).

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat kebijakan mengubah jam sekolah sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 Tentang Hari Sekolah. Isi Permen bisa diunduh di website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Materi yang jadi perdebatan adalah perubahan jam sekolah. Dari sebelumnya 5-6 jam per hari menjadi 8 jam per hari. Dari sebelumnya 6 hari jadi 5 hari per minggu. Persisnya, begini bunyi Pasal 2 Permen tersebut.

Pasal 2
(1) Hari Sekolah dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu.

IMG_20170629_095348

Aku tidak terlalu paham alasan para penolak. Sempat mencari sebentar di mesin pencari dan media sosial, para penolak beranggapan sekolah 8 jam per hari dan 5 hari per minggu akan membuat murid tidak bisa mendapatkan pendidikan agama. FDS akan membuat siswa menjadi radikal.

Alasan yang membuatku mrenges.

Kami justru sebaliknya dengan para penolak. Kami memindahkan adik tahun ini ke sekolah lain biar dia cukup sekolah lima hari dalam seminggu. Tak masalah pulang sekolah lebih lambat, dari sebelumnya pukul 10 menjadi 12.30. Sebab, pada akhir pekan dia punya lebih banyak waktu bersama kami.

Dulu, ketika dia masih masuk di hari Sabtu, kami agak susah kalau mau keluar kota atau jalan-jalan bareng di akhir pekan. Sekarang, kami bisa jalan-jalan bareng meskipun Sabtu pagi hari.

Pekerjaan kami memang kadang-kadang mengharuskan keluar kota untuk liputan. Biasanya sekalian kami ajak anak-anak. Biar mereka bisa melihat ayah bundanya bekerja sekaligus belajar dari luasnya dunia.

Dari awal kami sepakat, sekolah bukan segalanya dalam mendidik anak-anak. Anak perlu diajak lebih banyak mengenal dunia luar. Masalahnya, kalau hari kerja agak susah karena kami kerja. Adanya ya Sabtu-Minggu.

Apa yang dilakukan pada akhir pekan? Banyak sih. Jalan-jalan ke pantai. Main ke sawah. Keluar kota untuk liputan, kerja, dan jalan-jalan.

Dengan cara itu, anak-anak jadi lebih tahu dunia luar. Bukan cuma ruangan di sekolah. Dunia terlalu luas. Kami tak mau anak-anak semata terkurung di dalam ruang belajar bernama kelas itu.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *