Selasa kemarin, Brown William Stewart resmi ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Amlapura, Karangasem, Bali. Warga Australia berusia 52 tahun itu dinyatakan oleh Polsektif Karangasem telah melakukan pelecehan seksual pada anak di bawah umur (pedofili) kepada dua orang yaitu Artana dan Suryawan (keduanya nama samaran), pelajar salah satu SLTP di Amlapura.
Menurut Kapolsektif Karangasem AKP I Wayan Suparta, tersangka dikenai pasal 292 KUHP tentang pencabulan sesama jenis terhadap anak di bawah umur. Jika terbukti, maka mantan diplomat yang akrab dipanggil Tony itu akan dipenjara selama lima tahun.
Salah satu korban hingga saat ini masih merasakan trauma akibat perbuatan tersangka yang pernah tinggal di Jakarta dan Lombok tersebut. Korban berjalan pincang dan duduknya pun tidak normal. Selain itu, nilai rapotnya juga pas-pasan. Sehari-hari dia lebih banyak murung meski masih bisa beraktivitas seperti membantu orangtuanya di sawah.
Tindakan William diketahui setelah orangtua salah satu korban Ida Bagus Buruan memperhatikan ada perubahan pada anaknya. Selain sering mengurung diri di kamar, anaknya juga kalau berjalan lain gayanya. Dari situlah diketahu bahwa anak tersebut telah disodomi William yang juga guru di SMK Pariwisata Jasri Amlapura itu. Buruan pun melapor ke polisi 5 Januari lalu yang kemudian ditindaklanjuti penangkapan Tony.
Kepada petugas, IBA dan IGS mengaku disodomi beberapa kali oleh William sejak November lalu. Terakhir IBA disodomi Jumat dua pekan lalu. Pelecehan seksual tersebut biasanya dilakukan ketika mandi di sebuah selokan. Pemeriksaan kesehatan pada kedua korban menunjukkan bahwa anus mereka positif mengalami lecet karena benda tumpul. Mereka juga kadang-kadang diminta mengonani kemaluan William. Kedua korban diberi uang Rp 5 ribu sampai Rp 20 ribu tiap kali selesai disodomi. Mereka juga diiming-imingi bakso.
William alias Tony menambah daftar panjang warga asing yang pernah melakukan pedofilia di Bali. Sayangnya tidak ada satu pun organisasi di Bali yang mendata lengkap kasus pedofilia di Bali. Namun dalam catatan GATRA, kasus yang sama pernah terjadi Agustus 2001 lalu. Pelakunya adalah Mario Mannara, 57 tahun, warga Italia. Oleh Polres Buleleng, Mario kemudian dipenjara selama delapan bulan. Kini dia sudah dideportasi.
Ketika itu, kasus Mario terbongkar setelah Ketut Widana, salah satu guru SD I Kaliasem, Bukbuk, Buleleng curiga pada dua muridnya sebut saja Ketut dan Kadek yang terlihat tidak bergairah. Dari kedua korban itulah diketahui bahwa teman-teman mereka pun mendapat perbuatan tidak senonoh dari Mario yang tinggal di kawasan wisata Lovina Singaraja itu.
Kesembilan korban tersebut kemudian mendapatkan terapi dari Luh Ketut Suryani, Ketua Yayasan Putra Sesana Bali yang memang konsen pada pemberian terapi pada beberapa korban pedofilia. Suryani mengaku setidaknya pernah menangani 20-an korban pedofilia, termasuk dua korban terakhir di Karangasem.
Di Bali, selama ini kasus pedofilia umumnya terjadi di kawasan wisata seperti Kuta, Ubud, dan Lovina maupun desa miskin seperti desa Ban dan Muntigunung di Kecamatan Abang, Karangasem. Namun, menurut Suryani, pedofilia juga terjadi pada keluarga mapan. “Beberapa pasien yang saya tangani justru karena sering ditinggalkan orang tuanya bekerja,” kata dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali tersebut.
Korban pedofilia yang ditangani Suryani yang memang psiakter tersebut tidak hanya dari Bali tapi juga dari Jakarta dan Lombok. Korban-korban itu mengaku trauma dengan kejadian yang dialaminya seperti masih terbayang-bayang, mimpi buruk, tidak mau bergaul, bahkan ingin bunuh diri. Namun umumnya korban itu tidak berani lapor ke polisi karena malu dan takut masalahnya tidak akan selesai. Karena itu, beberapa korban baru mengaku setelah mereka dewasa.
Kepada GATRA Suryani bercerita tentang salah satu pasiennya yang sebut saja bernama Dini. Ketika masih TK, dia diperkosa pembantunya. Saat itu Dini pulang sekola. Di sebuah tempat sepi yang bersemak dia dipaksa membuka celana oleh pembantu yang mengantarnya. Dini menjerit dan lari ketakutan. Niat pembantu itu tidak kesampaian. Ketika menceritakan kepada orangtuanya tentang kejadian tersebut, mereka tidak percaya.
Esoknya, sepulang sekolah, Dini kembali diperlakukan tidak senonoh oleh pembantunya sehingga tidak bisa melawan. Dini pun diperkosa. Kejadian itu berulang-ulang dan dia tidak pernah berani lapor lagi ke orangtuanya. Akibatnya, Dini selalu seperti ketakutan setiap melihat laki-laki. Ketika berumur 8 tahu, Dini pun bermesraan dengan sepupu perempuannya. Saat ini dia sudah kelas III di salah satu SMU di Denpasar.
Menurut Suryani, gadis itu kemudian memilih jadi “pemberontak” di keluarganya. Dia selalu melawan perintah orangtua, menghabiskan uang sekolahnya untuk hal lain, mencuri di mal, maupun mencuri uang orangtuanya. Kadang-kadang dia diam dan menangis sendiri, cepat emosi, dan kadang-kadang ingin membunuh orang lain. Hingga karena itu semua, ibu Dini membawanya ke Suryani sejak tahun lalu.
Korban pedofilia bernama Dodi (nama samaran) yang pernah ditangani Suryani lain lagi ceritanya. Dodi saat ini kelas III SD dan pernah disuruh oral seks oleh pembantunya ketika masih TK. Kepada ibunya, Dodi mengaku pernah disuruh menghisap kemaluan om tetangganya. Cairan yang keluar dari kemaluan om itu kemudian ditelan oleh Dodi. Dia jijik dan ingin muntah. Ia diancam akan dibunuh kalau mengadukan hal tersebut kepada orang lain. Peristiwa terjadi siang hari ketika tidak ada satu pun orang di rumah om tersebut. Dodi diajak nonton film porno sebelumnya lalu diberi uang Rp 10.000 dan permen setelah selesai melakukan itu. Om itu masih melakukan berulang-ulang kepada Dodi setelah itu.
Ibu Dodi tahu setelah melihat Dodi melakukan hal yang sama pada adiknya. Dia menghisap kemaluan adiknya. Maka ibu itu pun membawanya ke Suryani. Ketika dibawa ke Suryani Desember lalu, anak itu kelihatan gugup, tegang, mulutnya seperti bergerak-gerak, dan matanya berkedip-kedip terus. “Dia terlihat seperti orang lain,” kata Suryani yang juga mendirikan Committee Against Sexual Abuse (CASA) pada Oktober 2002 untuk menangani pelecehan seksual pada anak itu.
Toh, melalui terapi, menurut Suryani semua korban pedofilia itu kini sudah kembali seperti biasa. Untuk menyembuhkan ini Suryani menggunakan Spiritual Hypnotherapi Regretion yaitu terapi dengan cara hipnotis. Korban itu ditidurkan di sebuah tempat tidur berwarna merah menyala di ruanga berdinding kuning menyala juga.
Lalu, tanpa sadar, korban itu akan berjumpa kembali dengan semua kenyataan yang pernah dialaminya dan mengungkapkannya sebagai pelampiasan. Oleh Suryani, korban kemudian diajak dialog dan diyakinkan bahwa hal tersebut sudah lewat. Dengan tiga kali terapi, korban akan melupakan kejadian yang pernah menimpanya. “Sejauh ini mereka berhasil seperti biasa,” aku Suryani.
Penyebab pedofilia itu sendiri, menurut Suryani, karena pelaku tidak mendapat perlakuan wajar dari pasangan, tidak mampu melakukan dengan yang sebaya, cemoohan, pengalaman, maupun tayangan pornografi. Selain tempat wisata pedofilia juga rentan terjadi di tempat seperti panti asuhan dan asrama.
Selain itu anak yang sering ditinggal bersama pembantu juga rentan terkena pedofilia. Dini dan Dodi misalnya berasal dari keluarga mapan. Bapak Dini, misalnya, adalah kepala proyek di salah satu dinas pemerintahan sedangkan ibunya wirwaswasta. Kesibukan sehari-hari membuat mereka tidak sempat mengurus anak dan diserahkan kepada pembantu.
Dodi pun tidak jauh berbeda. Ibunya ibu rumah tangga sedabgkan bapaknya pengusaha. Mereka berasal dari luar luar Bali semula tinggal di Denpasar. Setelah tahu anaknya jadi korban pedofilia, mereka lalu pindah ke Jimbaran sekaligus untuk meghilangkan trauma pada anaknya. [#]