Menteri Agama Said Agil Husi Al-Munawar menegerikan 250 madrasah di Indonesia. Keputusan tersebut tertuang dalam SK No 558 Tahun 2003 yang ditandatangani pada 30 Desember lalu di Jakarta. Alasan yang disampaikan Menag dalam SK adalah untuk meningkatkan mutu madrasah sebagai salah satu jalur pendidikan. Adapun rincian madrasah yang dinegerikan tersebut adalah 89 Madrasah Ibtida’iyah, setingkat Sekolah Dasar (SD), 92 Madrasah Tsanawiyah, setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan 69 Madrasah Aliyah, setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU).
Jumlah Madrasah Ibtida’iyah (MI) sebanyak 89 tersebut tersebar di seluruh provinsi. Di Bali sendiri hanya ada dua yaitu MI Al-Mubarok di Gilimanuk Kecamatan Melaya menjadi MIN Gilimanuk dan MI Al-Mu’awanah di Banyubiru, Kecamatan Negara, menjadi MIN Banyubiru. Kedua sekolah dasar ini berada di wilayah Kabupaten Jembrana, sekitar 150 km dari Denpasar ke arah barat laut.
Kepala Sekolah MIN Banyubiru Zahruddin mengaku telah menerima surat keputusan tersebut sebulan yang lalu. Toh, Zahruddin perlu waktu dua tahun untuk menunggu keputusan tersebut. Pihaknya telah mengajukan permohonan untuk dinegerikan sejak Juli 2002. Surat permohonan bernomor 09/YMB/VII/2002 diajukan dengan alasan tingginya biaya pengelolaan pendidikan madrasah satu-satunya di Banyubiru tersebut.
Desa Banyubiru berpenduduk 7.730 orang dengan penduduk muslim hampir 2.945 orang. “Karena itu masyarakat muslim di Banyubiru sangat membutuhkan madrasah tersebut,” kata Zahruddin.
Sejak berdiri pada 18 April 1956, madrasah di sisi jalan raya Denpasar-Gilimanuk ini dikekola Yayasan Al-Mu’awanah yang juga punya Taman Kanak-kanak Al-Mu’awanah. Pendanaan diperoleh dari SPP siswa sekitar Rp 7.500 per bulan. Namun sejak dua tahun lalu, seluruh murid mendapat beasiswa dari Bupati Jembrana I Gede Winasa sehingga murid tidak perlu bayar SPP lagi.
Toh, menurut Zahruddin, biaya pengelolaan tetap kurang. “Untungnya kami mendapat bantuan dari Komite Sekolah dan bupati,” katanya. Besarnya bantuan tersebut Rp 300 ribu per bulan dari Komite Sekolah dan Rp 6 juta dari bupati pada tahun ajaran lalu.
Karena itu, berubahnya status MI Al-Mu’awanah menjadi MIN seperti membuka harapan lebih besar bagi pengembangan sekolah dan juga nasib guru. Ahdah, salah satu guru di MIN Banyubiru mengaku selama ini gajinya hanya Rp 25.000 per bulan. Menurutnya, gaji itu sangat kecil dibandingkan honor di sekolah swasta lain. Sedangkan Siti Rafiqah, guru lainnya mengaku selain masalah gaji yang menjadi persoalan bagi mereka juga adalah status kepegawaian.
Meski telah mengajar sejak 1990 lalu, hingga saat ini Siti Rafiqah tetap sebagai guru honorer. Meski sudah lima kali ikut tes masuk sebagai pegawai negeri sipil (PNS) hingga saat ini dia tetap saja sebatas guru honorer dengan honor Rp 25.000 per bulan tadi. “Mudah-mudahanlah setelah menjadi negeri kami juga diterima sebagai PNS,” kata guru berjilbab tersebut.
Perubahan status guru menjadi PNS itu diakui Zahruddin memang lebih mungkin terjadi setelah adanya penegerian MI Al-Mu’awanah. Saat ini jumlah guru di MIN banyubiru sebanyak 11 orang dengan tiga orang berstatus PNS termasuk Zahruddin. Sisanya masih sebatas honorer. Adapun jumlah muridnya sebanyak 118 murid. Selain soal status guru, imbuhnya, renovasi fasilitas sekolah juga diharapkan segera bisa dilakukan setelah perubahan status tersebut. “Bangunan yang ada ini sudah sejak tahun 1979,” kata Zahruddin.
Meski sudah 24 tahun, ketika GATRA melihat Selasa pekan ini, bangunan sekolah MIN Banyubiru masih terlihat bagus. Seluruh bangunan bertembok dengan atap genteng dan lantai tegel hitam. Di ruang kepala sekolah dan ruang guru bahkan lantainya keramik putih, bersih. “Di luar memang terlihat bagus, tapi sebenarnya bangunan ini sudah rapuh,” kata Zahruddin.
Bangku di beberapa kelas memang terlihat rusak. Sekolah ini terdiri dari dua bangunan memanjang. Lengkapnya enam kelas, dua ruang guru, dan empat buah toilet. Bagian terakhir itu yang terlihat tidak terlalu diurus. Plavonnya jebol dengan air menggenang di lantai.
Perubahan status, sepertinya, memang lebih berujung kepada perubahan kesejahteraan dan fisik. Sebab tidak ada perubahan di kurikulum sama sekali. Hingga saat ini pelajaran agama di MIN Banyubiru porsinya tetap 30 persen dan sisanya untuk pelajaran umum. Buku pelajaran agama pun tetap berasal dari Departemen Agama Provinsi Bali. Karena itu, Zahruddin mengaku tidak risau dengan adanya kecurigaan bahwa penegerian MI yang dipimpinnya berhubungan dengan ketakutan terhadap radikalisme.
Bagi warga setempat, berubahnya status MIN Banyubiru juga patut disyukuri. H Jailani, salah satu tokoh setempat mengaku hal tersebut akan lebih memudahkan pengelolaan. Sedangkan Samsul Rizal, siswa kelas VI, tidak mengerti beda negeri dengan swasta. “Selama ini saya sudah tidak pernah bayar SPP,” anak bungsu dari delapan bersaudara. Seluruh saudara Rizal pun sekolah di sini. “Orang tua saya memang ingin saya juga belajar (pelajaran) umum dan agama. Saya sih senang saja,” kata Rizal. [#]