Irshad Manji dan Perlunya Dukungan pada LGBT

0 , , , , Permalink 0

Penolakan terhadapnya mengingatkan kepada teman-teman LGBT.

Tak hanya di Jakarta, diskusi Irshad Manji di Yogyakarta pun diserbu kelompok intoleran berkedok agama. Tak ada alasan jelas kenapa kelompok ini terus saja membubarkan diskusi bersama Irshad Manji.

Namun, menurut media, Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menuduh Irshad Manji menyebarluaskan ide homoseksualitas, termasuk lesbianisme. Karena itu, kelompok intoleran ini membubarkan diskusi dengan Irshad Manji di Salihara dan LKiS Yogyakarta.

Penolakan terhadap Irshad Manji, yang memang mengaku sebagai lesbian, ini langsung mengingatkanku pada teman-teman lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Pertemuan terakhirku dengan teman-teman LGBT terjadi awal Maret lalu di Kuta. Sehari sebelumnya, kamu bertemu di salah satu hotel di daerah Renon, Denpasar tanpa banyak obrolan.

Esok harinya, kami bertemu kembali. Aku agak deg-degan juga. Ini pertama kali aku ngobrol dengan teman-teman lesbian. Aku tak kenal sebelumnya dengan teman-teman lesbian. Hanya beberapa kali ketemu dalam satu forum diskusi tanpa tegur sapa. Kalau dengan gay, waria, dan transgender sih sudah biasa.

Sekitar pukul 20.00 Wita, kami bertemu di salah satu restoran di Jalan Legian, Kuta. Empat teman, yang mengaku, lesbian dari Bali dan tiga dari Jakarta intim dalam obrolan. Aku ada di antara mereka mengikuti obrolan tersebut sambil sesekali bertanya.

Untungnya sih mereka terbuka meski aku bilang jurnalis dan blogger. Mereka mempersilakan jika aku mau menulisnya.

Salah satu isu menarik bagiku adalah bagaimana mereka menghadapi diskriminasi dan stigma. Ini cerita usang yang selalu terulang pada kelompok minoritas, termasuk LGBT. Tak terkecuali bagi lesbian.

Diskriminasi itu, menurut mereka, dimulai dari wilayah paling dekat, keluarga. Hampir tiap lesbian selalu mendapat penolakan dari keluarga. Sebagian merasa bahwa menjadi lesbian adalah kutukan. Sesuatu yang terlarang.

Dan memang begitulah adanya. Secara umum, masyarakat kita masih menilai lesbian ini dari sisi moral. Karena itu, mereka yang menjadi lesbian seolah-olah sah untuk dikucilkan atau bahkan mendapat tindak kekerasan.

Salah satu teman bercerita dia akhirnya kabur dari keluarganya sejak SMP karena dia memilih tetap teguh pada orientasi seksualnya, lesbian. “Aku tak mau menyakiti diri sendiri dengan berpura-pura menjadi hetero(seksual) demi menyenangkan keluarga,” katanya.

Di tingkat lebih tinggi, penolakan itu terjadi dalam bentuk kekerasan. Biasanya, lagi-lagi atas nama moralitas. Pelakunya pun dari kelompok yang mengaku beragama. Berdasarkan catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), sepanjang tahun 2010 lalu, terjadi lima kali tindak kekerasan pada kelompok LGBT ini.

Tak Terdengar
Kasus pada Irhsad Manji hanyalah contoh kasus yang menonjol karena popularitas korban. Tapi, tidak dengan teman-teman LGBT lainnya yang bahkan untuk menunjukkan identitas pun mereka masih tak berani. Kekerasan terhadap mereka, apalagi di wilayah domestik, nyaris tak pernah terdengar.

Padahal, pilihan orientasi seksual atau orientasi gender adalah pilihan asasi setiap orang. Itu bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, menjadi LGBT pun bagian dari HAM. Tak ada yang bisa menghalangi hak mendasar bagi setiap orang ini. Dia sejajar dengan hak untuk beragama (apa pun itu) ataupun tidak beragama maupun hak asasi lainnya.

Nyatanya, hak ini belum sepenuhnya terwujud bagi kalangan LGBT. Jangankan berekspresi, menunjukkan identitas saja bagi mereka masih jadi sesuatu yang tabu. Masih banyak warga negara yang belum menghormati hak ini.

Kalau hanya tak setuju sih tak apa. Atas nama demokrasi, pro kontra itu hal biasa. Lha ini kan tidak. Para kelompok intoleran kemudian memakai cara kekerasan kepada kelompok LGBT.

Parahnya, Negara yang kemudian harus menjamin bahwa setiap warga negara terpenuhi hak asasinya sebagai manusia ternyata malah diam saja. Dalam banyak kasus kekerasan pada LGBT, negara tak hadir memberikan pembelaan. Atau, kalau toh hadir, mereka malah seolah-olah mengamini kekerasan tersebut.

Polisi, sebagai representasi Negara, hanya membiarkan kekerasan terhadap LGBT tersebut. Inilah pelanggaran HAM oleh negara. Mereka telah melakukan pelanggaran HAM karena membiarkan terjadinya kekerasan (by omission). Sayangnya, pelanggaran HAM karena pembiaran oleh negara ini tak terlalu banyak yang menggugat dibanding, misalnya, pelanggaran HAM secara langsung (by action) oleh Negara. Maka, pelanggaran HAM pada LGBT pun terus terjadi secara diam-diam.

Padahal, Negara seharusnya lebih tegas melindungi hak setiap warga tanpa melihat agama, etnis, ataupun pilihan orientasi seks dan gender sekali pun.

Foto: Sepasang lesbian sedang berjalan sambil bergandengan tangan.

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *