Mereka harus menghadapi dua kali hukuman. Pertama mereka dikurung dalam penjara. Itu tak mudah bagi mereka di usia yang masih anak-anak. Sehari-hari hanya bergerak di areal tak lebih dari luas lapangan sepak bola. Kedua, mereka juga harus menghadapi gelapnya harapan. “Mau kerja apa kalau kami pernah dipenjara. Pasti tidak ada yang mau menerima,” kata salah satu di antara mereka.
Aku menemui anak-anak itu hari ini di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Gianyar di Karangasem. Namanya memang begitu, Lapas Anak Gianyar. Ini satu-satunya Lapas anak di Bali. Lokasinya di Karangasem, sekitar 80 km di timur Denpasar.
Aku dan tiga teman lain dari Sloka diundang oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali untuk memberikan pelatihan terkait komputer dan internet untuk anak-anak tersebut. Ini pelatihan yang sering kami berikan bersama teman-teman di Bali Blogger Community. Hari ini kami ke sana untuk menjajaki bagaimana pelatihan tersebut akan dilaksanakan.
Ketika orang KPAI dan pengelola Lapas sedang berdiskusi untuk acara formal, dan aku tak terlalu tertarik karena resmi banget, aku pergi ke tempat anak-anak itu dipenjara. Delapan anak sedang bermain biliar ketika aku tiba. Tempat main biliar, dengan tongkat putus dan meja rusak, itu berada di depan sel di samping pura.
Awalnya tak mudah begitu saja mendapatkan cerita dari mereka. Apalagi aku bawa kamera dan bloknote, sangat terlihat sebagai wartawan. Tapi lima menit setelah ngobrol, mereka lalu saling bercerita.
Ada 16 anak di penjara dengan 10 kamar tersebut. Tiap kamar, ukurannya sekitar 5×3 meter persegi, rata-rata diisi tiga orang. Ada satu kamar mandi dengan tiga kasur tipis dari busa. Tapi kasur ini pun tak semuanya punya. Sebagian anak hanya tidur beralas karpet di atas lantai dingin.
Lama hukuman mereka bermacam-macam. Ada yang hanya hitungan bulan. Tapi paling lama, si Yanto, sudah empat tahun di sana. Dia baru keluar tiga tahun lagi. Tapi ini bukan soal lama tidaknya hukuman. Ini soal apakah hukuman itu memang tepat untuk anak-anak tersebut.
Alasan mereka beragam. Ada yang, misalnya, karena memukuli pasangan pacarnya. “Karena cinta aku di penjara,” katanya. Ada pula napi anak yang mencuri karena ingin membelikan baju baru untuk adiknya. “Aku ingin membahagiakan adikku satu-satunya,” akunya.
Lalu, karena alasan beragam itu, mereka semua harus dikurung. Entahlah. Aku merasa mereka tak seharusnya di penjara. Mereka harus menghadapi beban, bukan hanya karena secara fisik mereka terkurung di dalamnya, tapi juga karena mental mereka yang harus menghadapi hukuman tersebut.
“Kami sepertinya baik-baik saja. Tapi kami semua sakit jiwa karena dipenjara,” kata yang lain.
February 17, 2010
Apa ya jadinya kalau mereka tidak ada yang memberi perhatian, seakan-akan dunia di luar tembok jeruji besi tidak peduli akan keberadaan mereka…
February 18, 2010
dunia memang kejam terhadap anak anak
February 21, 2010
kapan BBC ke sana?