Jika tidak ada perubahan besar, maka kurang lebih beginilah komposisi peroleh suara hasil pemilu legislatif di Indonesia 9 April lalu: PDI Perjuangan 19,24 persen, Partai Golkar 15,01 persen, dan Partai Gerindra 11,77 persen.
Kebetulan sekali tiga partai ini nomor urutannya berurutan, PDIP nomor 4, Partai Golkar nomor 5, dan Partai Gerindra nomor 6. Mereka memperoleh tiga suara terbesar dari 12 partai yang ikut pemilu di Indonesia kali ini.
Perolehan suara tersebut berdasarkan quick count Kompas per 14 April 2014 pukul 4 sore waktu Indonesia tengah. Persentase suara masuk di quick count tersebut sudah 99,15 persen.
Hasil quick count beberapa lembaga lain juga kurang lebih sama baik dari sisi perolehan suara maupun urutan partai pemenang: PDIP, Partai Golkar, dan Partai Gerindra.
Mari lihat sumber lain dari perolehan suara hasil quick count tersebut. Versi LSI, PDIP 19,63 persen, Golkar 14,64 persen, dan Gerindra 11,88 persen. Atau versi Syaiful Mujani Research Centre PDIP 19 persen, Golkar 15 persen, dan Gerindra 12 persen.
Dari sisi persentase perolehan dan urutannya, hampir semua hasil quick count menunjukkan hal tak jauh berbeda. Maka, bisalah disebut bahwa hasil resmi versi Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti tak jauh berbeda dengan hasil quick count ini.
Melihat berita di media arus utama maupun perbincangan di media sosial, ada beberapa catatan menarik.
Pertama, menurunnya perolehan suara Partai Demokrat yang saat ini menjadi partai penguasa di pemerintahan. Meskipun Ketua Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah juga presiden, pemilih yang mencoblos partai ini ternyata hanya 9,43 persen berdasarkan hasil quick count Kompas atau 9,73 persen versi Vivanews dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI).
Perolehan suara PD ini turun drastis dibandingkan hasil pada Pemilu 2009 lalu yang mendapatkan 20,85 persen.
Kedua, jebloknya perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini bahkan dijadikan bahan bercanda di media sosial karena perolehan suaranya kurang dari 7 persen. Padahal, dalam beberapa kesempatan, Ketua PKS Anis Matta berkoar-koar bisa masuk tiga besar.
Nyatanya, perolehan suara PKS berdasarkan quick count masih di bawah partai medioker lain seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Konglomerasi
Namun, bagi saya, hal menarik lainnya adalah jebloknya suara Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang perolehan suaranya hanya 5,11 persen. Angka ini terasa ironis ketika dibandingkan dengan fakta lain, partai ini “memiliki” jaringan media penyiaran terbesar di Indonesia.
Tak hanya Hanura, perolehan suara partai lain yang menguasai media juga tidak bagus-bagus amat, Partai Nasdem. Berdasarkan quick count, partai ini hanya mendapat rata-rata 6,71 persen.
Sebelum lanjut membahas tentang rendahnya peroleh partai penguasa media penyiaran ini, mari melihat dulu bagaimana hubungan antara petinggi parpol dengan penguasaan media penyiaran di Indonesia.
Menurut riset Center for Innovative, Policy, and Government (CIPG), media di Indonesia hanya dikuasai 12 kelompok media terbesar di Indonesia. Pada urutan pertama daftar kelompok media tersebut ada Global Mediacomm atau Media Nusantara Citra (MNC). Mereka memiliki 20 stasiun televisi, 22 radio, 7 media cetak, dan 1 media online.
Berikut beberapa nama media milik MNC Group dan jangkauannya. RCTI sebagai televisi swasta tertua di Indonesia memiliki jaringan terluas di negeri ini. Siarannya bisa diikuti di seluruh Indonesia dari ujung timur hingga barat. Selain RCTI ada pula MNC TV dan Global TV.
Untuk media cetak, MNC Group punya Koran Sindo. Adapun di online ada Okezone. Adapun di radio mereka punya Trijaya. MNC melakukan praktik konglomerasi media.
Jika media adalah alat perang, maka MNC memiliki semua jenis senjata itu: televisi, koran, radio, online.
Pemilik MNC Group adalah Hary Tanoesoedibjo. Taipan ini baru terjun ke politik ketika masuk Partai Nasdem pada 2011. Dia menjadi Ketua Dewan Pakar dan Wakil Ketua Majelis Nasional. Karena perbedaan dengan Surya Paloh, Ketua Partai Nasdem, Hary Tanoe kemudian keluar dari Nasdem pada Januari 2013.
Sebulan kemudian dia sudah pindah ke Partai Hanura. Ketua Partai ini adalah Wiranto, mantan ajudan Presiden Soeharto. Dalam beberapa kampanyenya, Wiranto dan Hanura selalu menyatakan bahwa mereka ingin mengembalikan kejayaan Orde Baru.
Vulgar
Menjelang pemilu 2014, Wiranto dan Hary Tanoe mendeklarasikan diri sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Nama pasangan ini Win – HT.
Lalu, Hary Tanoe pun menggunakan semua medianya untuk mati-matian membela kepentingan partainya.
Saya tidak pernah membaca koran, mendengar radio, atau membuka web milik Hary Tanoe terkait dengan pemilu. Namun, saya sering menonton Global TV, salah saya televisi milik MNC Group. Alasannya sederhana, anak-anak saya suka menonton kartun di televisi ini.
Karena itu saya sering pula melihat bagaimana vulgarnya Win – HT ataupun Hanura berkampanye di layar kaca. Ada iklan-iklan hard selling, tersembunyi atau bahkan norak.
Contoh sederhana iklan norak itu adalah Kuis Kebangsaan. Kuis ini bertema hal-hal semacam nasionalisme. Penonton diajak menjawab pertanyaan yang diajukan pengurus Partai Hanura. Dalam satu episode kelihatan bahwa kuis ini hanya rekayasa.
Iklan-iklan kampanye Win – HT dan Hanura ini muncul kapan saja dan di acara apa saja.
Tapi, penyalahgunaan frekuensi publik ini tak cuma dilakukan Hary Tanoe dan Hanura. Dua politisi yang juga punya media penyiaran pun melakukan hal sama, Surya Paloh dari Nasdem dengan Metro TV dan Aburizal Bakrie yang juga pemilik ANTV dan TV One.
Ketiganya sama saja, merampok frekuensi publik untuk kampanye partai mereka.
Biar lebih “ilmiah”, mari lihat riset CIPG. Saya rangkum saja sebagian biar ringkas.
“Pemilik media yang juga petinggi parpol, secara signifikan mampu meningkatkan durasi tayangan iklan partainya di televisi milik mereka. Adapun partai-partai lain yang tidak mempunyai afiliasi yang dekat dengan pemilik media, khususnya televisi, terlihat tidak banyak muncul.
Ada indikasi ketidakberimbangan porsi penayangan pemberitaan dan penayangan iklan parpol di televisi, terutama pada televisi yang terafiliasi dengan partai politik.
Selain melalui publikasi resmi (iklan) dan pemberitaan, juga ditemukan indikasi bahwa parpol mulai melakukan penetrasi ke program-program hiburan.”
Hasilnya?
Ya, seperti yang saya sudah sampaikan di atas, perolehan suara Hanura dan Nasdem toh sedikit sekali. Penguasaan mereka terhadap media penyiaran tidaklah berarti bisa melambungkan suara.
Mereka gagal mendapatkan suara bermodal citra di layar kaca.
Untuk Golkar agak sedikit beda. Saya sih haqqul yakin bahwa peroleh suara partai ini bukanlah karena rajinnya Bakrie dan Golkar berkampanye di TV One dan ANTV. Partai Golkar mendapat banyak suara lebih karena akar-akar partai Orde Baru ini memang masih kuat. Selama 32 tahun berkuasa, wajar jika partai ini masih dipilih banyak generasi tua.
April 14, 2014
mungkin rakyat sudah makin pinter, apalagi mereka dah kenal jokowi
April 16, 2014
Mungkin penjelasannya sesederhana:
1. Walaupun semua kecap diiklankan di TV, masyarakat tetap memilih beli kecap yang mereka rasa paling enak.
2. Semakin sering sebuah merek kecap diiklankan di TV, ternyata tidak berbanding lurus dengan semakin enaknya rasa kecap tersebut saat dicicipi masyarakat. 😀
Mungkin lho iniiii…