Lebaynya Pengawalan Deportasi Ratu Mariyuana

0 Permalink 0

Si Corby ini sudah layaknya Raja Arab Saudi.

Tidak hanya dalam proses administrasi sebelum dia dideportasi, bahkan saat pemulangan di hari H pun dia mendapatkan hak istimewa layaknya sang raja. Perlakuan terhadap Sang Ratu Mariyuana ini sungguh istimewa.

Pada hari dia dideportasi Sabtu kemarin (27/7), suasana sudah layaknya ada kerusuhan.

Sejak sekitar pukul 3 sore, kendaraan taktis (taktis) masuk ke Gang Pudak Sari, salah satu gang di Jalan Kartika Plaza, Kuta. Biasanya, rantis semacam ini hanya dipakai untuk mengantisipasi kerusuhan.

Selain rantis yang masuk gang selebar sekitar 2,5 meter, rantis bahkan terjebak tidak bisa masuk, ada pula pasukan pengendali massa (Dalmas). Pasukan ini juga biasanya diterjunkan saat kondisi gawat, seperti aksi demonstrasi atau kerusuhan.

Polisi-polisi muda ini melengkapi 200 polisi lain, menurut Kasubag Humas Poltabes Denpasar, yang ditugaskan mengawal proses deportasi si Corby. Polisi lalulintas berjaga dan bahkan memblokir jalan dari rumah Corby di Kuta hingga kantor Balai Pemasyarakatan (Bapas) di Denpasar Utara lalu lanjut hingga di Bandara Internastional I Gusti Ngurah Rai.

Perlakuan di bandara tak kalah istimewanya. Tak banyak warga atau bahkan pejabat bisa mendapatkan kemewahan ini. Corby dimasukkan tidak melalui pintu keberangkatan biasa tetapi lewat are dok (docking area).

Siapa Corby sehingga mendapatkan hak begitu istimewa?

Schapelle Corby, nama lengkapnya, adalah pesakitan. Warga Australia ini selesai menjalani hukuman penjara sembilan tahun di penjara Kerobokan, Bali. Dia divonis penjara setelah terbukti menyelundupkan 4,2 kg pada 2005 silam.

Dia mendapatkan pengawalan begitu ketat menurut para pejabat terkait dari Imigrasi, Polisi, juga Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) karena potensi ancaman gangguan.

Siapa yang mengganggu? Wartawan.

WHAT? Wartawan??!

Iyes. Begitulah semua pejabat bilang. Ancaman gangguan keamanan dalam proses deportasi datang dari media. Aku salah satunya.

Sejak sekitar dua minggu lalu, aku memang termasuk salah satu wartawan yang ikut gradag-grudug meliput persiapan deportasi Corby. Aku bekerja untuk media Australia, The Australian.

Setelah lama tidak mengikuti kasus ini, aku pun ikut salto dan koprol liputan ke lembaga-lembaga terkait, seperti Bapas Denpasar, Imigrasi, Kanwil Hukum dan HAM, dan tentu saja rumah tinggal Corby di Kuta. Di rumah ini, wartawan yang bekerja untuk media-media Australia sudah layaknya mengejar selebritis paling populer Hollywood.

Kami bekerja sangat kompetitif. Persaingannya keras, terutama di media televisi.

Media-media Aussie bekerja dalam grup. Rata-rata 4-5 orang. Mereka berjaga 24 jam di sekitar rumah Corby untuk mendapatkan gambar Corby jika keluar rumah.

Tapi, orang yang mereka buru tidak pernah keluar. Media makin liar. Mendekat ke wilayah-wilayah privat si buruan.

Inilah yang kemudian jadi alasan bagi Corby untuk tidak melakukan kewajiban sebelum dia dideportasi, melapor satu kali lagi ke Kejaksaan Negeri Denpasar. Sebaliknya, malah pejabat polisi Kuta dan Kanwil Hukum dan HAM Bali yang berkunjung ke rumah Corby.

Drama paling nyata ya pas hari H deportasi.

Sebagian besar media sudah siaga menunggu Corby di pintu keberangkatan internasional. Wajar dong. Dia kan warga biasa yang dideportasi. Selayaknya dia juga melalui pintu biasa.

Di pintu yang sama, puluhan polisi anggota Dalmas juga bersiaga.

Eh, ternyata media tertipu. Corby dikawal khusus untuk kemudian masuk lewat Docking Area, pintu yang sama ketika Raja Salman tiba di Pulau Dewata. Kami dapat zonk.

Aku paham sih bahwa Corby berhak dapat privasi sebagai warga biasa. Cuma, kalau dia warga biasa, kenapa dia mendapatkan hak begitu istimewa sampai-sampai menipu media.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *