Boleh Curang Asal Tenang

0 , Permalink 0

Setelah sekitar dua minggu beruntun sakit, komputer kena virus conficker, dan pontang panting ngurus pemantauan Pemilihan Presiden, kini saatnya aku kembali ngeblog. Mumpung lagi hangat-hangatnya, fresh from the oven, aku nulis soal Pilpres saja.

Pada Pilpres kali ini aku akhirnya ikut Golput. Bukan karena sesuatu yang ideologis, tapi semata praktis, males. Hehe..

Dari tiga pasangan yang ada, semuanya serba bikin alergi. Kalau Mega – Prabowo jelas aku males nama terakhir selain sejak dulu juga males sama Mega. JK – Wiranto sepertinya bagus untuk dipilih. JK membuatku jatuh cinta karena omongannya yang blak-blakan kalau lagi debat. Sepertinya asik sih. Tapi Wiranto jelas bukan orang yang tepat dipilih menurutku karena alasan pernah dituduh sebagai salah satu pelaku pelanggaran HAM.

Lalu SBY – Boediono sepertinya meyakinkan. Sekalian kasih dia kesempatan untuk lima tahun lagi melanjutkan. Tapi salah satu partai pengusungnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bikin alergi. Mereka terlalu puritan soal agama. Lagian Partai Demokrat dan PKS juga pendukung utama Undang-undang Pornografi.

Walhasil, aku absen dulu kali ini. Males milih salah satu dari tiga pasangan calon yang ada. Selain itu juga karena aku malas menukar kartu panggilan dari banjar Praja Sari di Denpasar ke Bangli. Pilpres kali ini, aku ikut memantau di Bangli. Jadinya tidak bisa milih di Denpasar.

Nah cerita pemantauan ini yang menarik diceritakan. Dari pemantau yang lain ada beberapa cerita pelanggaran. Salah satunya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh saksi di salah satu tempat pemungutan suara (TPS).

Para saksi itu nyontreng lebih dari dua kali. “Semua surat suara yang tersisa ikut dicontreng meski para saksi itu sudah nyontreng sebelumnya,” kata si pemantau penuh semangat.

Sebelum itu, ada pula cerita bahwa penghitungan suara di salah satu TPS dilakukan sebelum waktu penghitungan tiba. Ini termasuk pelanggaran Pemilu sebenarnya. Tapi ya untuk disebut sebagai pelanggaran juga perlu dipikirkan lebih lanjut.

Sebabnya begini. Kalau si pemantau atau siapa pun itu melaporkan adanya pelanggaran, maka dia harus siap menjadi saksi kalau kasus itu dibawa ke tingkat lebih tinggi. Misalnya di Pengadilan Negeri dalam kasus tindak pidana. Masalahnya, para pemanta atau saksi itu mau saja melaporkan tapi malas kalau harus berpanjang-panjang dalam urusan ini.

Alasan lain untuk mendiamkan adalah takutnya ada masalah lebih panjang. Misalnya begini. Si pemantau bilang bahwa ada pelanggaran yang dilakukan seseorang dan menguntungkan pasangan calon tertentu. Lalu siapkah dia kalau pihak yang dilaporkan dan tidak terima. Lalu, misalnya, meneror dan semacamnya.

Jawabannya sama: tidak siap.

Pilihannya, ya diamkan saja. Tulis saja bahwa tidak ada pelanggaran. Sebab kalau kemudian masalah itu dilaporkan takutnya akan malah runyam dan memperpanjang persoalan.

Ini bukan sesuatu yang baru, memang. Aku ingat ketika ada evaluasi pemantauan Pemilu 2004 di Denpasar sekitar April tahun ini, masalahnya pun sama. Evaluasi itu dihadiri berbagai pihak yang terlibat dalam pengawasan Pemilu seperti pemantau, Komisi Pemilihan Umum, Partai Politik, dan tentu saja Panitia Pengawasan Pemilu (Panwslu).

Di evaluasi itu terbuka satu fakta bahwa sebenarnya ada pelanggaran yang terjadi namun sengaja tidak dilaporkan. Tujuannya untuk menghindari masalah lebih besar, misalnya konflik terbuka antar kandidat. “Jadi biarlah pelanggaran yang ada itu semata menjadi bagian dari pendidikan politik. Bahwa itu melanggar tanpa harus diselesaikan di pengadilan.” Kurang lebih begitu hasil diskusi waktu itu.

Ketenangan lebih penting di negeri ini dibanding kenyataan pahit. Jadi ya memang benar, boleh saja curang asal kondisi tetap tenang. Serba salah memang..

Comments are closed.