Suasana arisan bulan ini terasa berbeda sekali.
Kami berada di tengah kebun seluas 3 hektare. Lokasinya di pedalaman Kabupaten Jembrana, Bali bagian barat. Persisnya di Desa Yeh Embang Kauh, Kecamatan Mendoyo. Jaraknya sekitar 3 jam perjalanan dari Denpasar.
Petang itu kami berada di kebun milik salah satu teman peserta arisan, I Putu Bawa yang lebih akrab dipanggil Bowo. Bersama dua teman lain, Sayu Komang dan Agus Wesnawa, Bowo mengelola kebun warisan orang tuanya itu tak hanya sebagai tempat produksi, tetapi juga belajar bersama.
Karena jauhnya lokasi arisan ini, memang perlu perjuangan untuk mencapainya. Aku malah sempat nyasar ketika menuju lokasi ini dari arah Desa Candikusuma, sekitar satu jam perjalanan ke Yeh Embang.
Namun, perjuangan itu layak sekali dengan asupan pengetahuan dan makanan petang hingga malam itu.
Ketika baru tiba, tuan rumah menyambut dengan es kelapa muda. Utuh. Lucunya, sedotan air kelapa ini pakai batang pepaya. Hidup mengandalkan alam memang membuat kita jadi kreatif.
Ketika segarnya es kelapa muda belum juga selesai aku nikmati, sudah ada sajian lain yang menanti. Nasi merah, ayam betutu, sate lilit, dan sup ikan laut. Oh ya, jangan lupa juga menu khas Jembrana, lawar klungah yang terbuat dari kelapa muda.
Santapan menunya autentik.
Lebih asyik lagi ketika kami tiba pada sesi ngobrol santai. Bowo dan Sayu menceritakan perjalanan mereka mendirikan BASE, komunitas warga setempat yang menyebarluaskan pengetahuan tentang pertanian.
Satu hal yang aku suka, teman-teman aktivis yang sudah malang melintang di dunia persilatan gerakan ini mau kembali ke tanah kelahiran. Keduanya pernah bekerja di lembaga pendampingan masyarakat desa, IDEP. Sementara itu Gus Wes saat ini masih jadi anak buah kapal yang namanya saja sudah bikin gemetar (hehehe), Rainbow Warrior.
Setelah berkelana ke banyak tempat di Indonesia, tidak hanya Bali, untuk mengajarkan tentang pertanian dengan metode permakultur, kini mereka kembali ke tanah kelahiran, Jembrana. Kebetulan ketiga teman ini memang bertetangga desa.
“Jengah saja rasanya. Sudah mengajarkan ke sana kemari, masak tidak bisa menerapkan di desa sendiri,” kata Bowo.
Semua ilmu yang selama ini mereka ajarkan itu kemudian mereka terapkan di 3 are kebun milik keluarga Bowo. Mereka menerapkan metode permakultur di sebagian lahan tersebut. Ada, misalnya, kolam penampungan air, bangunan tempat rehat, serta balai untuk belajar bersama.
Hari itu, tuan rumah menyediakan tambahan tenda-tenda untuk kami semua. Sayangnya, aku juga ada agenda lain jadi harus balik ke Candikusuma.
Arisan kali ini makin lengkap dengan pemutaran film dokumenter terbaru karya Wayan Martino, anggota arisan yang juga videografer dan fotografer. Film berjudul Hutan Terakhir itu memotret perjuangan mempertahankan hutan di pedalaman Jembrana.
Tempat keren. Makanan enak. Diskusi mencerahkan. Berjumpa dengan teman-teman. Inilah bagian yang selalu menyenangkan dari Arisan 2 Are.
Arisan ini sudah berjalan, setahuku, lebih dari lima tahun. Aku sendiri termasuk generasi kedua. Anggotanya teman-teman yang bekerja di isu beragam: perdagangan berkeadilan (fair trade), pendampingan masyarakat desa, lingkungan, pertanian, perikanan, media, dan banyak lagi. Ada 30an orang.
Kami melaksanakan arisan ini setiap bulan sekali. Bayarnya Rp 160.000 dengan rincian Rp 100.000 untuk uang arisan, Rp 50.000 untuk tabungan, dan Rp 10.000 uang suka duka. Sekali tarik ada dua pemenang.
Nah, biar tidak hanya sekadar arisan dan ambil uang, kami menjadikan pertemuan sekali sebulan ini sebagai ruang untuk kangen-kangenan. Saling berbagi kabar kami masing-masing dan, tentu saja, keluarga maupun pekerjaan.
Biar makin bergizi, kami mengisinya dengan diskusi. Ngobrol santai dengan satu topik yang ditentukan tuan rumah arisan. Ada soal penanganan sampah di Bali, soal izin usaha, soal seniman, dan macam-macam.
Bagiku, Arisan 2 Are ini menjadi semacam oase ketika sehari-hari sudah capek dengan tetek bengek pekerjaan. Dia menjadi ruang untuk bertukar kabar sesama teman ketika masing-masing orang sudah suntuk dengan ceritanya masing-masing. Dengan begitu, rasanya aku bisa menjaga kewarasan.
Arisan 2 Are ini juga semacam keluarga. Namanya keluarga, tentu juga ada suka duka. Ada yang peduli dan rajin berbagi kabar atau berkumpul. Ada pula yang kayaknya selalu punya alasan untuk tidak hadir meski hanya sekali sebulan.
Namanya keluarga saja kadang bisa senang, kadang bisa sebal. Apalagi ini, arisan yang lebih cair dan tidak ada ikatan formal. Jadi, mari jalani saja. Jadikan dia sebagai ruang berhahahihi sambil ngobrol nikmat dan bergizi.
Leave a Reply