Belajar Bersama Relawan EH dari 12 Kota

Di balik tampang kalemnya, Ahmad Zamroni ternyata lucu sekali.

Fotografer majalah Forbes dan salah satu pendiri komunitas fotoponsel 1000 Kata itu tak hanya memberikan contoh-contoh fotonya yang ciamik dan apik. Dia juga suka mbanyol. Jadinya asyik.

Roni, panggilan akrabnya, salah satu pemateri dalam pelatihan jurnalisme warga bagi relawan Earth Hour (EH) WWF Indonesia, 30 Juli – 2 Agustus 2015 lalu. Pelatihan diikuti sekitar 25 peserta dari Komunitas EH di 12 kota. Ada dari Denpasar, Depok, Makassar, Bandung, Medan, dan lain-lain. Mereka rata-rata masih mahasiswa.

Lokasi pelatihan di Eco Camp, Bandung. Tempat ini tak hanya untuk bagus belajar tentang lingkungan secara filosofis dan teoritis tapi juga secara praktis. Mereka menerapkan prinsip hidup ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Eco Camp keren banget sebagai tempat pelatihan, termasuk bagi kami.

Selain Roni, pemateri lain adalah Budi Afriyan alias Buyung, videografer mantan wartawan TransTV. Aku memfasilitasi pelatihan dua hari itu selain juga mengisi materi tentang menulis ala jurnalisme warga.

Secara umum, materi pelatihan serupa dengan pelatihan-pelatihan yang biasa kami adakan di Sloka Institute sejak 2010. Ada teori jurnalisme warga, teori dasar menulis, dan praktik membuat karya jurnalistik. Pembahasan karya ada di sesi akhir.


Pada hari pertama pelatihan, materi lebih banyak teori. Selain tentang kampanye #BeliYangBaik dari WWF Indonesia maupun prinsip lingkungan ala Eco Camp, peserta juga belajar menulis ala jurnalisme warga, foto ponsel, dan video ponsel.

Menurutku, sesi pemberian materi ini menyenangkan. Selain karena waktunya cukup, antara 1,5 hingga 2 jam, pesertanya juga aktif. Tak hanya bertanya tapi juga terlibat dalam simulasi maupun praktik.

Pada hari kedua, peserta mempraktikkan teori yang sudah dipelajari pada hari pertama. Mereka dibagi dalam lima kelompok dengan topik berbeda. Lokasi liputannya selain di Eco Camp juga di Taman Hutan Raya Djuanda, sekitar 500 meter dari Eco Camp.


Selesai liputan, mereka membuat karya masing-masing. Ada tulisan, foto, dan video. Kami, para pemateri, kemudian mereview karya-karya tersebut satu per satu. Inilah pengalaman pertamaku mengulas karya secara bersama-sama meliputi tiga format berbeda: teks, foto, dan video.

Ternyata agak repot dan mepet. Kami harus membagi sekitar 30 menit untuk tiga pengulas. Masing-masing hanya 10 menit. Padahal, aku sendiri, biasanya butuh sekitar 30 menit untuk mereview satu tulisan biar lebih optimal.

Tapi, sekali lagi, ini memang pengalaman pertama bagiku. Tiap pelatihan memang selalu menjadi semacam percobaan tentang bagaimana materi dan konsep yang sebaiknya dilakukan.

Pelajarannya, besok-besok mungkin perlu waktu lebih lama jika pelatihannya menggunakan materi dan metode serupa. Pilihan lainnya mungkin review karya langsung dilakukan secara paralel berdasarkan karya: tulisan bersama para penulis, foto bersama fotografer, dan video bersama fotografer. Tapi, jika model begini, maka peserta akan terpisah.

Padahal, seperti juga yang serba nanggung, bukankah berpisah juga membuat hati resah? HALAH!

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *