Hampa rasanya melihat bangunan itu.
Tidak ada lagi ruangan kumuh penuh tumpukan koran dengan pintu kusam tempat kami pernah membangun masa-masa penuh gairah sebagai mahasiswa. Tidak ada lagi tempat di mana kami selalu merasa kembali ke 10 atau 15 tahun silam.
Tidak ada lagi rumah kedua kami, sekretariat Pers Mahasiswa Akademika.
Begitu pula ketika kemarin aku ke sana kemarin. Sekretariat [aka], begitu kami menyebutnya dulu, kini berganti entah kantor apa. Bangunan baru. Tidak ada pintu di sisi mana dulu menjadi pintu masuk kami di [aka]. Hanya kaca gelap dari luar yang tak ramah sekali.
Aku ke kampus Unud di jalan Sudirman tersebut sana ketika ada kegiatan di depannya. Mumpung di sana, sekalian saja lewat bekas sekretariat [aka]. Ini bukan kali pertama melihat sekretariat [aka] yang sudah berganti tersebut. Namun, tetap saja rasa kehilangan itu begitu kuat.
Kalau saja sekretariat [aka] itu masih ada, tentu aku akan masuk ke sana. Duduk sebentar baca koran atau baca buletin buntu yang berisi segala curhat anggotanya.
Sekretariat [aka] itu sudah menjadi rumah kedua bagi para anggotanya. Setidaknya begitulah dulu aku dan teman-teman seangkatan mengalaminya, terutama yang anak kos. Antara 1998-2002, tak lengkap rasanya jika sehari saja tidak mampir [aka].
Kegiatan resmi [aka] adalah penerbitan mahasiswa. Kami mengelola tabloid yang terbit tiap tiga bulan sekali. Tapi bagi kami, [aka] itu lebih dari sekadar unit kegiatan mahasiswa untuk belajar jurnalistik. Di sana kami belajar tentang banyak hal.
Saling Tuding
Diskusi tak kenal waktu dan tema. Bisa saja pagi-pagi sudah debat. Atau tengah malam hingga pagi lagi. Temanya bisa saja tak jelas hingga sangat berat. Kuliah, kampus, musik, media, buku, politik, filsafat. Apa sajalah yang ingin dibahas.
Dari diskusi kemudian jadi aksi. Menuntut agar mahasiswa dilibatkan dalam pemilihan rektor, menolak campur tangan dosen sebagai pembina UKM, diserbu preman ketika diskusi. Ah, betapa kami merasa heroik sekali ketika di [aka].
Kadang-kadang kami berdebat sangat keras. Saling tuding demi adu argumen. Tapi, selesai diskusi ya sudah. Makan bareng lagi. Jalan kaki dari kampus ke Genteng Biru di Diponegoro untuk makan mie ayam bareng.
Tak ada senioritas. Boleh saja seseorang masuk duluan di [aka]. Tapi, pas diskusi dia tidak akan lalu menjadi “Yang Disegani”. Biasa saja. Dengan begitu, kami jadi akrab. Lintas angkatan, fakultas, etnis, agama.
[aka] yang mengajari kami tentang bagaimana toleransi tak sebatas kata-kata. Saat Maghrib, teman yang sholat di sana bisa saja barengan dengan teman yang mebanten petang. Atau saat Galungan, kami yang tak merayakan akan kecipratan kue-kue sesaji. Atau saat Ramadhan, teman-teman yang Hindu tak cuma bawa makanan untuk buka puasa tapi juga sahur.Di [aka], kami kemudian menjadi keluarga. Layaknya keluarga besar, ada kisah romantika. Ada sakit hati. Ada (juga) permusuhan. Ah, terlalu banyak cerita di sana. Apa pun itu, kami tetap keluarga. Dan, rumah kami adalah sekretariat [aka].
Kini, rumah kedua itu kini sudah tak ada.
Leave a Reply