Bukan. Ini bukan gajah binatang besar itu. Bukan pula judul album barunya Tulus.
Ini hanya perumpamaan. Gajah itu mewakili media-media besar di Bali seperti Bali Post, Radar Bali, NusaBali, dan seterusnya. Adapun semut untuk media-media komunitas.
Maka, menulislah untuk berbagi. Agar ceritamu abadi.
Menjelang berakhir, diskusi kami ternyata malah memanas.
Dua pihak berargumentasi dengan keras. Bahasa tubuh keduanya pun sama. Sony si fotografer berbicara dengan lantang. Dia berdiri bangkit dari kursi ketika semua peserta duduk. “Tidak bisa. Jurnalis itu seharusnya melaporkan kasus itu ke polisi,” kata Sony.
Awalnya dari rasa jengah: ke mana perginya jurnalisme berkualitas di Bali saat ini?
Pernyataan di balik pertanyaan tersebut mungkin terlalu dini. Tapi, setidaknya ada beberapa penanda makin hilangnya jurnalisme berkualitas di Bali. Tiga hal yang menandai tersebut adalah tema berita, penyampaian berita, dan etika jurnalis.
Dari sisi tema berita, sebagian besar media di Bali lebih banyak memberikan seputar intrik dan konflik elite politik. Penyampaian berita kemudian lebih banyak hanya bersifat talking news, semata tentang omongan-omongan elite. Dalam bahasa sarkastik, ada yang menyebutnya sebagai jurnalisme ludah, apa pun omongan elite politik akan diberitakan. Tidak perlu verifikasi. Tak ada keberimbangan. Bahkan, berita seringkali malah hanya menjadi alat adu domba.