Rumah Tulisan

maka, menulislah untuk berbagi, agar ceritamu abadi.

Akhirnya, Terpaksa Belajar Mencintai Jakarta

Sarinah ini salah satu kawasan menyenangkan di Jakarta. Foto diambil Mei 2023.

Salah satu kenanganku tentang Jakarta agak menyeramkan.

Seorang laki-laki mengejar laki-laki lainnya. Usia keduanya sekitar 40 tahun. Si pengejar membawa pedang di tangan kanan. Mereka berlari di trotoar, melawan arah bemo yang aku naiki saat itu. Lelaki yang dikejar terjatuh. Dia tertangkap, dipukuli, dibacok sampai berdarah-darah.

Agak samar-samar aku mengingatnya. Waktu itu kisaran tahun 1999. Aku sedang magang di salah satu media di Jakarta. Lokasinya juga aku tidak ingat persis sebagai orang yang hanya singgah sebentar di ibu kota ini. Aku hanya ingat, kejadian itu di bawah jalan tol.

Secara visual, jalan tol itu menjadi latar belakang kejadian. Benda yang terlihat solid, kaku, tinggi, dan angkuh. Dia melintang di atas pengguna jalan raya, kendaraan, pejalan kaki, dan pedagang jalanan.

Suasana riuh ketika terjadi pembacokan sekitar pukul 9 pagi itu. Toh, orang-orang hanya berlalu seolah kejadian itu hal biasa. Sesuatu yang begitu lekat sehingga tak perlu lagi dipersoalkan. Tak ada yang perlu dirisaukan meskipun ada orang berdarah-darah di depan matamu.

Meski hanya melihatnya sekilas, kejadian itu membekas lekat di ingatanku. Dia sering kali muncul ketika aku mengingat Jakarta dan menjadi salah satu alasan kenapa kota ini amat menakutkan bagiku.

Karena alasan itu pula, aku dua kali menolak tawaran pindah bekerja di Jakarta meskipun hanya sementara. Saat masih jadi koresponden GATRA, aku pernah diminta untuk ikut semacam orientasi selama tiga bulan. Ini wajib bagi semua koresponden. Aku menolak.

Saat masih jadi fixer The Australian, koresponden baru mereka di Indonesia memintaku pindah ke Jakarta. Gajinya lumayan, sekitar lima kali upah minimum provinsi Bali saat itu. Aku juga menolak.

Alasannya selalu sama, Jakarta terlalu menyeramkan. Kota ini terlalu cepat untuk aku yang menikmati hidup lambat. Kota ini terlalu riuh untuk aku yang menikmati sepi. Kota ini terlalu keras untuk aku yang menikmati hidup santai.

Gedung-gedung pencakar langit di Jakarta terlalu tinggi dan angkuh untuk aku yang lebih sering menunduk dan minder.

Namun, dua tahun terakhir aku mulai berpikir bahwa tidak sukaku kepada Jakarta rasanya tak adil juga. Ketika aku selalu bungah tiap kali ke ibukota negara lain, kenapa aku justru terus menerus memberi stempel negatif pada Jakarta? Ketika kita, eh aku ding, semringah dengan mengunggah foto-foto saat di kota negara lain, kenapa tidak mencoba menikmati (bekas) ibukota negara sendiri?

Bisa jadi aku sudah tidak adil sejak dalam pikiran terhadap Jakarta. Padahal, suka tak suka, Jakarta adalah pusat dari banyak hal, terutama kekayaan dan kekuasaan. Mau tak mau, pekerjaanku akan memerlukan Jakarta juga.

Seiring waktu dan sejalan banyaknya perjalanan ke kota ini, aku pun mulai pelan-pelan mengubah pandangan dan sikap itu. Pasti ada saja hal-hal menyenangkan tentang kota ini, seberapa busuknya citra yang kadung terpatri di otakku.

Lalu, waktu dan intensitas pertemuan mengubah citra itu.

Ternyata banyak hal menyenangkan tentang kota ini. Sesuatu yang tidak hanya gelap dan jahat, tetapi juga gemerlap dan hangat.

Salah satu momen itu, misalnya, adalah gemerlap cahaya saat petang di tengah kota. Warna-warni lampu di perempatan Sarinah, yang hanya berjarak sekitar 2 km dari titik nol kilometer Batavia, nama lama Jakarta.

Melihat gemerlap warna-warni lampu kota dari gedung-gedung jangkung dengan belakang langit gelap ternyata terasa syahdu. Apalagi ketika aspal-aspal juga agak basah usai hujan atau gerimis. Pantulan cahaya dari sisa-sisa genangan terlihat menyenangkan. Hangat.

Menyusuri trotoar dari Jalan Wahid Hasyim hingga Bundaran Hotel Indonesia, bertemu dengan orang-orang yang bergegas sepulang kerja, ternyata lumayan menggairahkan. Ada wajah-wajah lelah sekaligus letupan gairah. Orang-orang menakjubkan yang tak mau begitu saja menyerah.

Barangkali itu yang membuat Jakarta juga mengagumkan, hanya orang-orang bermental baja yang sanggup melewati hari-harinya yang keras dan memaksa bergegas.

Hal lain yang menyenangkan adalah kuliner Jalanan. Jakarta adalah tempat semuanya ada. Tinggal pilih mau apa. Masih di kawasan biasanya aku sering ada rapat atau kegiatan lain, kawasan Jalan Sabang adalah jalanan yang sesak dengan tidak hanya kendaraan bermotor, tetapi juga deretan warung tenda dan restoran. Tinggal pilih yang mana.

Salah satu yang aku suka adalah… tempe mendoan!

Gerobak tempe ini biasanya nongkrong di pojok dekat warung sate Lamongan. Mungkin karena belum pernah menemukan tempe serupa di Denpasar, aku jadi berseri-seri ketika bisa menggigit gurih dan empuknya tempa mendoan di sini. Makin cadas ditambah gigitan cabai hijau nan pedas.

Tempe mendoan hanya sak iprit kenikmatan kuliner Jakarta. Bahkan di kawasan Sabang saja terlalu banyak pilihan. Kalau mau lebih nyaman dan bergengsi, tinggal geser hanya sekitar 100 meter, maka Sarinah menawarkan beragam pilihan untuk pendapatan kelas menengah.

Tak hanya bisa mendadak menjadi kota bercahaya dan indah, Jakarta juga bisa menjadi surga kuliner yang memanjakan lidah. Tinggal pintar-pintar menemukan dan menikmatinya.

Begitu pula dengan sisi lain yang membuat iri, banyaknya toko buku dan perpustakaan. Sesuatu yang selalu menyenangkan untuk dijelajahi jika ada waktu. Mungkin lain kali saja bikin rute perjalanan mengenal toko buku dan perpustakaan asyik di Jakarta. Nanti, kalau ke Jakarta semata untuk jalan-jalan, bukan buru-buru karena pekerjaan.

Catatan:
Draf pertama tulisan ini dibuat pada Agustus 2024, tetapi baru dilanjut lagi pada akhir Desember 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *