Catatan: tulisan ini adalah sebagian tulisan yang dibuat untuk jurnal WACANA Insist.
Di usianya yang makin renta, Ammung, 59 tahun, harus melakukan pekerjaan yang jauh lebih berisiko dibanding sebelumnya. Sejak tiga bulan lalu, nelayan di Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Bali itu mulai menyelam untuk mencari besi-besi tua di sekitar Serangan. “Mau bagaimana lagi. Keluarga saya tetap butuh makan,” katanya sore pertengahan April lalu di pantai timur Serangan.
Ammung, nelayan dengan pendapatan rata-rata Rp 15.000 per hari, sebelumnya hanya mencari ikan untuk dimakan sendiri dan dijual. Menggunakan pancing atau jala, dia biasa berangkat dari rumahnya di Kampung Bugis, Serangan sekitar pukul 7 pagi dan pulang pukul 5 sore. Stiap hari, Ammo bisa mendapat sekitar 25 kg ikan seperti meong-meong dan tawah.
Ikan meong-meong dijual sekitar Rp 7000 per kilogram, sedangkan ikan tawah sekitar Rp 12.000 per kilogram. Maka, waktu itu, dalam sehari setidaknya bapak lima anak itu bisa mendapat Rp 250.000. “Lebih dari cukuplah untuk makan anak istri,” kata bapak dengan wajah keriput ini.
Tapi kondisi saat ini sedikit berbeda dengan kondisi sepuluh tahun lalu. “Sekarang ikan makin jarang. Hasil tangkapan makin berkurang. Kadang dapat, kadang enggak,” ujar suami Ni Wayan Kadri ini.
Ammung harus beradaptasi dengan kondisi. Dia pun tidak lagi hanya bergantung pada ada tidaknya ikan. Dari yang semula hanya mencari ikan, lelaki berkulit gelap akibat seringnya terbakar matahari itu lalu mencari besi-besi tua di sekitar perairan Serangan seperti Muara Serangan dan Tanjung Benoa. Ammung kini tidak hanya jadi nelayan, dia juga jadi pemulung bawah laut.
Sore itu, Ammung sedang mempersiapkan alat-alat penyelaman untuk berburu besi tua. Di jukung berukuran panjang sekitar 3 meter dan lebar 75 cm itu, lelaki berdarah suku Bajo itu membawa kompresor dan selang. Dari kompresor itu, dia akan mengalirkan udara melalui selang lalu dihirupnya ketika di kedalaman sekitar 10 meter agar tetap bisa mendapatkan oksigen untuk bernafas. Ammung menggantungkan hidupnya pada kompresor dan selang-selang itu.
Panjang selang itu sekitar 100 meter. Sepanjang itu pula Amung bisa berjalan di bawah permukaan air laut mencari besi-besi bekas kapal, jangkar, atau apapun yang bisa dibawanya. Rata-rata dia menyelam 30 menit hingga 1 jam untuk mengumpulkan besi-besi tua itu. Dia juga membawa tombak kecil yang disebutnya sebagai panah “Kalau ketemu ikan ya memanah. Kalau ketemunya besi ya memulung besi,” katanya.
Dengan drum terapung, Ammung membawa besi-besi tua itu ke darat lalu menjualnya ke pengepul. Harga besi-besi tua itu sekitar Rp 3000 per kilogram. Dalam sehari dia bisa mendapat sekitar 50 kg. “Itu kalau beruntung. Kalau tidak, kami tidak mendapat apa-apa meski sudah menyelam berkali-kali,” katanya.
Katakanlah Ammung mendapat besi hingga 50 kg, maka sehari itu dia bisa mendapat uang Rp 150.000. Berbeda dengan hanya mencari ikan yang dikerjakan sendiri, untuk memulung besi di bawah laut, Amung harus bersama tiga nelayan lain di satu jukung. Dua orang menyelam, satu orang memegang selang, satu lagi mengendalikan jukung. Karena itu, hasil pendapatan yang sudah berkurang itu harus dibagi berempat setelah dipotong biaya pembelian bensin.
“Tidak tahu kenapa,” jawab Ammung ketika ditanya apa penyebab makin berkurangnya ikan di daerah Serangan dan sekitarnya. “Kejadiannya sudah sejak lima tahun terakhir,” tambahnya.
Ammung, nelayan miskin di Serangan itu, tidak tahu penyebab berkurangnya ikan dan hasil tangkapan di laut tempat dia biasa menggantungkan hidup. Ammung hanya bisa merasakan dampaknya. Ikan besar berkurang, ikan hias hilang, terumbu karang makin memutih, dan cuaca tidak menentu adalah beberapa dari sekian banyaknya tanda tentang dampak perubahan iklim di kawasan nelayan.
Tapi perubahan iklim adalah sesuatu yang di luar logika nelayan-nelayan miskin seperti Ammung dan kawan-kawannya. “Mungkin Tuhan marah karena kita tidak bisa menjaga alam,” kata Ammung. Dia menyerahkan kondisi itu hanya pada sesuatu yang dia pahami, Tuhan, bukan pada manusia. Dia menatap riak-riak air tidak beraturan di Muara Serangan sore itu. Tatapan matanya kosong. “Kalau bulan empat (April, red) seharusnya angin sudah tidak kencang begini,” lanjutnya.
Perubahan iklim memang sudah kadung jadi bahasa yang dimonopoli kaum intelektual atau setidaknya kelas menengah ke atas. Bagi nelayan miskin seperti Ammung bahasa itu terlalu tinggi. Maka, Ammung hanya menggelengkan kepala ketika ditanya apa itu perubahan iklim menurutnya. Dia tidak tahu apa penyebab, meski dia mengalaminya..
Leave a Reply