Merayakan Pernikahan dalam Ketidakpastian

2 , Permalink 0

Desa-desa menuju kaki Gunung Agung seperti kuburan.

Jalanan sepi. Kami jarang bertemu orang. Di kanan kiri, hanya satu dua rumah dengan pintu pagar terbuka. Itu pun tak terlihat penghuninya. Rumah warga lebih banyak tertutup.

Mendekati gunung tertinggi di Bali itu, suasana jauh lebih senyap. Anehnya, truk-truk pengangkut pasir masih hilir mudik di antara senyapnya desa.

Aku mulai merasa agak khawatir dan takut. Pikiranku membayangkan hal-hal aneh: bagaimana jika gunung tiba-tiba meletus besar dan kami justru sedang menuju pusat letusan itu? Bagaimana jika kami terjebak di sana dan tidak bisa pulang? Siapa yang akan mengurus anak kami jika kami tidak bisa kembali?

Seperti biasa, kadang-kadang otakku memang suka paranoia.

Kekhawatiran lain adalah soal tempat tujuan kami, tempat penambangan pasir di kaki Gunung Agung. Bagaimana jika penjaga di penambangan pasir tidak senang dengan kedatangan kami? Bagaimana jika mereka melakukan kekerasan? Siapa yang akan menolong kami di tempat sepi begini?

Sore itu, kami ingin melihat suasana desa-desa di kawasan merah yang ditinggal warga untuk mengungsi. Mumpung di sana, maunya sih sekalian saja melihat penambangan pasir di desa-desa kaki Gunung Agung.

Sambil menahan rasa khawatir dan takut, kami terus melaju. Mendaki jalan raya mulus yang makin menanjak dan agak berkelok. Cuaca agak mendung, menutupi lereng dan puncak Gunung Agung yang kembali erupsi pada September 2017 itu.

Kami berhenti ketika sudah tidak menemukan rumah sama sekali. Aku buka peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) di Google Maps. Ternyata kami sudah berada di Kawasan Merah. Jaraknya sekitar 6 km dari puncak gunung.

Bunyi gemuruh terus terdengar. Aku tidak yakin itu apa. Mungkin perut gunung yang bergejolak. Mungkin juga suara mesin berat pengeruk pasir. Apapun itu, bunyi gemuruh itu membuatku makin khawatir dan takut.

Sejak Gunung Agung meletus kembali empat bulan lalu, inilah pertama kalinya aku masuk Desa Muncan, salah satu desa yang masuk KRB III alias kawasan terlarang. Desa di Kecamatan Selat ini termasuk salah satu desa yang ditinggal warganya untuk mengungsi akibat erupsi Gunung Agung. Dia memang salah satu desa terakhir sebelum naik gunung.

Di ujung jalan kami bertemu truk pengangkut pasir sedang berhenti. Kami menepi. Berhenti. Turun dari sepeda motor. Lalu ngobrol sebentar dengan sopir berusia 20an tahun itu.

Tidak peduli gunung masih berstatus Awas, penambangan pasir terus berjalan seperti biasa, katanya. Tidak ada pasir, tidak ada pembangunan. Maka, bagi para pengeruk pasir di Gunung Agung, krisis erupsi justru jadi kesempatan mengeruk sebanyak-banyaknya. Padahal, lokasinya berada di kawasan terlarang.

Orang-orang kemaruk selalu menemukan jalan untuk menumpuk uang. Di saat terjadi bencana sekalipun.

Sebelumnya, ketika kami baru meninggalkan Pos Pengamatan Gunung Agung di Rendang, kami juga mampir di Tukad Yeh Sah. Sungai ini menjadi korban banjir lahar abu. Dari semula hanya sekitar 3 meter, kini lebarnya mungkin sampai 30 meter.

Sempadan sungai hancur terkena terjangan lahar. Di antara lumpur-lumpur yang terbawa dari hulu ada pula batu-batu besar dengan diameter sampai 0,5 meter.

Batu-batu ini jadi sumber rezeki baru bagi warga sekitar, terutama yang sekarang kehilangan mata pencaharian. Mereka mengangkut batu-batu itu dari sungai lalu menjualnya ke para pengepul.

Selalu ada berkah di balik musibah.

Namun, bagaimana pun juga krisis erupsi Gunung Agung tetap melahirkan lebih banyak musibah. Masih ada sekitar 20 ribu warga mengungsi. Pariwisata Bali masih koma. Turis-turis masih sepi di pulau yang makin tergantung pada bisnis pariwisata ini.

Salah satunya di Desa Sidemen, tempat kami menginap kali ini. Di hotel dengan 10 kamar tempat kami menginap, kamilah satu-satunya turis. Sisanya kosong. “Sudah sepi sejak terjadi erupsi,” kata karyawan hotel. Hotel-hotel di sekitarnya pun tak jauh berbeda.

Kami tiba di Sidemen ketika sudah petang. Mendung menutupi puncak Gunung Agung yang sebenarnya bisa terlihat dari hotel tempat kami menginap. Dari belakang hotel di pinggir sungai ini, esok paginya kami menatap puncak Gunung Agung. Terlihat begitu tenang, anggun, dan misterius.

Sidemen, 13 Januari 2018. Kami merayakan 12 tahun pernikahan dengan menjelajah kawasan merah, menikmati Gunung Bali yang dalam ketidakpastian.

2 Comments
  • pandebaik
    March 5, 2018

    Kalian itu romantis ya ? hehehe…

  • Intan Rastini
    March 14, 2018

    Happy 12th wedding anniversary ya Pak Anton dan Bu Lodegen, May your marriage last very long. Btw, you celebrated it by taking an extreme journey! I believe it was pretty much like seeing an abandoned village.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *