Tentu saja ini kejutan dan berkah.
Ternyata, ketika aku di Mbay, Nagekeo untuk liputan tentang Sekola Lapang Petani, pada saat yang sama juga ada Sabirin, pendiri Yayasan Pertanian Alternatif Nusantara Sumatera Utara (PANSU). Kami menginap di hotel yang sama di ibukota Kabupaten Nagekeo ini.
Untuk orang gumunan alias mudah kagum sepertiku, Sabirin ini nama besar. Aku sering kali membaca atau mendengar nama ini ketika mencari informasi tentang pertanian organik atau pertanian berkelanjutan, khususnya Sekolah Lapang Petani (SLP) atau Farmer Field School (FFS). Setahuk, nama Sabirin ini sangat identik dengan Sekolah Lapang.
Maka, ketika kami bertemu di Mbay, sesuatu yang sama sekali tak kuduga, bagiku itu adalah berkah. Aku bisa ngobrol banyak dengannya.
Sabirin ini keturunan Jawa. Namun dia lahir dan besar di Medan, Sumatera Utara. Kegiatan utama dia bertani sekaligus menyebarkan ilmunya ke petani-petani lain. Dengan gaya bahasa yang lebih mirip orang Batak daripada Jawa, misalnya dengan volume tinggi dan nyaris tiada henti (hehehe), dia menceritakan pengalaman bergelut di dunia ini sejak tahun 1980-an.
Sejak masih kuliah, Sabirin bercerita, dia sudah mulai membantu petani di Sumatera Utara. Dia sengaja memilih di daerah yang rawan konflik, waktu itu sih terutama karena politik. “Biar sekalian belajar mengelola konflik di akar rumput,” katanya. Lawannya hingga saat ini adalah kepala desa di mana dia memulai pendampingan terhadap petani tersebut.
Begitu lulus, dia melanjutkan pekerjaan untuk mendampingi petani hingga saat ini. Tak cuma di Medan dan sekitarnya tapi juga berbagai kelompok tani di Indonesia.
Sembari makan malam di warung, ngopi di depan kamar, ataupun di sawah bersama petani, kami ngobrol banyak. Bagiku ini sebuah kemewahan, bisa ngobrol dengan salah satu orang yang sebelumnya aku hanya baca namanya lewat tulisan. Lebih beruntung lagi karena dia menceritakan pengalaman praktis, bukan sekadar teori-teori idealis.
Kemewahan
Dan, ngobrol dengan orang-orang yang bekerja di akar rumput seperti Sabirin ini terasa lebih mengena setelah sehari-hari aku lebih banyak mengenal orang yang sibuk berwacana dan bersilat kata di social media.
Bagiku, inilah salah satu kemewahan pekerjaanku saat ini, bertemu, ngobrol, dan belajar dari orang-orang “besar” yang jauh dari ingar bingar media.
Sabirin hanya salah satu. Karena pekerjaan ini aku bisa ngobrol, meskipun hanya sebentar, dengan beberapa nama “besar” yang bekerja di akar rumput. Misalnya Henry Saragih, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) yang juga koordinator organisasi petani kecil dan buruh tani internasional La Via Campesina. Dia pernah ditulis oleh media di Inggris, The Guardian, sebagai salah satu tokoh penyelamat lingkungan dunia.
Mei lalu aku bisa mendengar cerita Henry ketika mengorganisir petani melawan Revolusi Hijau ataupun kegagalannya mengajak petani membangun koperasi.
Ada pula Bahruddin, pengelola Sekolah Qaryah Thoyyibah di Salatiga yang melaksanakan pendidikan alternatif. Dia membebaskan semua murid di sekolahnya untuk belajar dengan cara masing-masing. Juga ada Romo Carolus, pemimpin agama Katolik di Cilacap yang tak pernah berhenti mendampingi masyarakat di daerah ini melalui program pembangunan infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan seterusnya.
Pada Juli lalu Bahruddin dan Romo Carolus mendapatkan penghargaan dari Ma’arif Institute sebagai orang-orang yang bekerja untuk kemanusiaan tanpa tersekat identitas.
Di luar nama-nama tersebut, lebih banyak lagi petani, staf LSM, orang dengan HIV dan AIDS (ODHA), korban narkotika, pendamping lapangan, dan seterusnya yang selama ini telah membagikan pengalamannya. Mereka ini orang-orang hebat. Bekerja di akar rumput dengan basis dan capaian yang realistis. Menjura..
Leave a Reply