Tulisan di bagian belakang itu menusuk banget. Jleb!
Aku dan Bani melihatnya ketika Sabtu pekan lalu kami berboncengan naik motor dari rumah ke Renon. Kami membacanya di punggung pengendara lain.
“Keinginan adalah sumber penderitaan,” begitu tulisannya. Dengan ukuran font jumbo di bagian punggung, kalimat pendek itu mudah sekali menarik mata di antara padatnya lalulintas Denpasar.
Tak hanya jelas terbaca. Kalimat itu juga menusuk. Tepat pada ulu hati orang semacam aku yang diam-diam ternyata sedang mabuk dengan ambisi dan mimpi-mimpi.
Ambisi itu bernama beasiswa kuliah S2. Eh, bukan cuma kuliah S2 ding. Plus di luar negeri. Ambisi itu adalah kuliah S2 di luar negeri, terutama Eropa.
Tidak tahu kenapa. Mungkin biar bisa belajar lebih banyak di lautan lebih luas dan samudera lebih dalam. Memperluas ilmu, jaringan, dan pengalaman.
Tahun ini, setelah selesai bekerja penuh waktu di VECO Indonesia, aku lebih serius mencari-cari peluang beasiswa itu. Sampai tengah malam masih asyik mengisi formulir lamaran beasiswa yang ternyata lumayan melelahkan fisik dan pikiran itu. Atau pagi-pagi buta bangun melakukannya. Lalu, mengirim lamaran kuliah ataupun beasiswa itu ke Australia, Swedia, Hungaria, Inggris, Belgia, Belanda.
Hasilnya? Nihil. Hingga saat ini belum ada hasil.
Eh, tidak nihil juga sih. Sudah ada dua kampus yang menerimaku sebagai calon mahasiswa. Lolos tanpa syarat di Australia dan Inggris. Cuma untuk beasiswanya belum ada yang lolos sama sekali.
Kabar terakhir datang dari Central Europe University, Budapest dua minggu lalu. Aku belum lolos untuk kuliah ataupun mendapatkan beasiswa dari kampus di ibu kota Hungaria itu.
Kabar ini ternyata lumayan membuat stres dan putus asa. Merasa sudah jatuh bangun salto koprol guling-guling kaing-kaing kok ya belum dapat hasil juga. Ditambah pekerjaan-pekerjaan baru di Sloka, kabar itu makin menambah stres saja.
Benar-benar bikin depresi. Kecewa. Sakit hati. Hampa. Rasanya kok ya tidak adil banget. Sudah berusaha sebisa-bisanya tapi tetap saja belum berhasil.
Tapi ya mau apa lagi. Setelah mikir baik-baik, melakukan refleksi, mau tidak mau jalan terbaiknya memang berdamai dengan kenyataan. Menikmati apa saja yang sudah ada. Mensyukuri dan menikmati sebisanya.
Tulisan di kaos itu anggap saja sebagai peringatan ketika memasuki usia baru, 37 tahun, mulai kemarin.
Pesan itu tak hanya untuk persoalan mencari beasiswa tapi juga hal lain yang justru lebih penting, hidup. Mari, nikmatilah semua perjalanannya. Suka. Duka. Sedih. Bahagia. Terang. Redup. Gemerlap. Gelap. Semangat. Melarat.
Seperti ditulis di kaos itu, keinginan itu ternyata menutup mata terhadap apa-apa yang sudah kami punya. Sudah ada rumah, masih ingin bikin rumah lagi di tempat lain. Sudah punya tanah, masih ingin membeli kebun. Sudah punya kebun, sekarang ingin beli kebun lagi di luar Bali.
Rasanya kok ora uwis-uwis. Sudah punya satu, pengen dua. Sudah punya dua, pengen tiga. Sudah punya seribu, pengen lima ribu. Hasilnya ternyata tidak ada kata puas. Selalu saja kurang.
Aku jadi ingat salah satu pesan ketika masih remaja dulu, “Harta dan tahta itu seperti air laut. Makin diminum, makin membuat kita haus. Bukannya puas karena sudah minum, kita justru terus ingin minum, minum lagi, dan minum lagi. Tidak bisa berhenti.”
Jadi, cukuplah dulu. Mari nikmati saja hidup sembari menjaga ambisi dan mimpi sekadar agar hidup tetap terus murup. Sudah banyak hal yang harus disyukuri dan dinikmati daripada hal-hal yang harus diratapi karena belum aku miliki di usia 37 tahun ini.
Leave a Reply