Kabar Buruk dari Senyum Pak Harto di Antara Kode Biner

0 , Permalink 0

Setelah mundur empat bulan, laporan tahunan SAFEnet terbit juga.

Menurut rencana, laporan tahunan tentang situasi hak-hak digital di Indonesia 2019 itu seharusnya terbit pada akhir Juni 2020 lalu. Niatnya, dia sekaligus menjadi kado ulang tahun SAFEnet ke-7.

Apa daya, banyak alasan sehingga penyelesaiannya mundur. Perencanaan awal yang memang agak telat. Penulisan yang molor. Plus, drama dua desainer yang mengiyakan untuk mengerjakan desain laporan, tetapi kemudian hilang tanpa pesan.

Bagian terakhir itu yang paling menyebalkan. Masih takjub saja dengan orang-orang yang mengiyakan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, tetapi kemudian hilang di tengah jalan. Tanpa satu pun pesan!

Untunglah masih ada orang-orang yang bisa diandalkan. Begitu menyatakan bersedia untuk menyelesaikan desain, dia pun sat set sat set. Dua minggu desain beres dengan hasil ciamik.

Terima kasih pada Daeng Ipul, blogger dan desainer kebanggaan Makassar. Karyamu sungguh jenius!

Sampul depan laporan itu berupa wajah Soeharto tersenyum berganti kode biner. Eh, belum tentu Soeharto juga sih sebenarnya ya. Tidak kelihatan juga dia tersenyum atau nyengir. Cuma, begitu melihat figur di sampul itu, otakku langsung menghubungkannya dengan bekas presiden penguasa Orde Baru yang otoriter tersebut.

Karena, memang begitulah isi laporan tahunan kami ini, Bangkitnya Otoritarian Digital.

Bangkitnya otoritarian digital sepanjang tahun 2019 itu terlihat dari laporan sepanjang 44 halaman ini. Pelanggaran hak-hak digital terjadi kian vulgar di tengah rezim Joko Widodo yang dulu digadang-gadang akan membawa Indonesia lebih demokratis.

Otoritarianisme sepanjang 2019 itu berlangsung sistematis.

Pembatasan akses Internet terjadi di tengah maraknya aksi menolak hasil Pemilu 2019 dan memprotes tindakan rasisme pada warga Papua. Indonesia serupa pemerintah India yang menutup akses Internet di Kashmir demi membungkam suara-suara kritis.

Setelah diputus aksesnya terhadap Internet, kelompok kritis ini kemudian diancam pula dengan kriminalisasi menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terutama Pasal 27 ayat 3. Korban terbanyak adalah media dan jurnalis diikuti aktivis.

Terakhir, setelah kriminalisasi, suara-suara kritis itu juga menghadapi ancaman dalam bentuk lain, serangan digital. Kekerasan gender berbasis siber makin marak. Tak hanya untuk tujuan balas dendam, tetapi juga politis seperti terjadi pada aktivis yang menolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengumbaran identitas pemilik suara-suara kritis juga makin sering dilakukan, terutama oleh die hard-nya Jokowi.

Ringkasnya, situasi kebebasan hak-hak digital di Indonesia tak kunjung membaik, tetapi malah sebaliknya. Kabar buruknya, sejauh pengamatan pribadi, kondisi tahun ini pun tak lebih baik dari tahun sebelumnya.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *