Mendung tebal menggantung di atas kota ketika Merpati Boeing 737 dengan nomor penerbangan MZ 617 dari Bali yang kutumpangi hendak mendarat di Bandar Husein Sastranegara, Bandung. Setelah satu jam dari Surabaya, aku harus transit di sana 30 menit, kami tiba juga. Dari atas, Bandung terlihat sangat padat dengan bangunan. Ketika hendak mendarat, pesawat itu sepertinya sangat dekat dengan rumah-rumah, kantor, masjid, bahkan makam di sekitar bandara.
Melihat dekatnya bandara dengan pemukiman, aku jadi ingat kecelakaan pesawat di Medan dan Solo beberapa waktu lalu. Kalau tidak salah, salah satu alasan kecelakaan itu adalah karena dekatnya bandara dengan perumahan penduduk. Jadi, menurutku, bandara di Bandung masuk kategori berisiko karena dekatnya dengan permukiman warga. Aneh juga ya. Bukannya kota ini adalah pusat orang-orang pintar di bidang hal-hal semacam ini. *Aduh, kok nglantur..*
Tapi, itulah kesan pertamaku tentang kota ini. Bandung benar-benar padat. Sepanjang jalan dari bandara ke hotel, jalan-jalan yang aku lalui sepertinya juga padat dengan kendaraan. Bisa jadi karena jam pulang kantor, sekitar pukul 16.50 WIB. Enaknya sih meski padat, tetap asik. Sebab banyak cewek cantik. Hehe..
Sebenarnya ini perjalananku yang kedua kali di kota ini. Cuma, perjalanan pertama pada Agustus 1999 lalu bahkan tidak sampai sehari. Jadi, ini seperti perjalanan pertama.
Pada 1999 lalu, aku ke sini sama temanku, Ricky, yang kebetulan lagi mudik ke Jakarta. *Btw, aneh juga ya mudik ke Jakarta. :)* Saking ngebetnya pengen lihat Bandung waktu itu, aku sempet-sempetin mampir ke sini meski cuma sehari. Waktu itu hanya jalan sebentar di (kalau tidak salah) Bandung Plaza dan Masjid Agung. Meski kebelet banget mau ke kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus yang aku impi-impikan sejak masih SMU, namun niat itu tidak terlaksana. Jadilah aku batal ke kampus impianku yang tak pernah kumasuki tersebut.
Dan, untungnya kali ini aku bisa berkunjung lagi ke Bandung. Padahal aku dan Bunda sudah berniat ke sini kalau kami ada kesempatan liburan panjang. Jadi, maaf, Bunda. Aku mendahului. Mumpung ada kesempatan, sayang kalau dibuang. 🙂
Perjalananku ke Bandung kali ini karena ada undangan pelatihan menulis isu HIV/AIDS di hotel Karang Setra Jl Sukajadi Bandung. Hotelnya sepertinya lumayan asik. Belum tahu banyak sih. Tapi tadi makan malamnya kurang enak. Padahal aku sudah bayangin menu sunda yang menggoda. Eh, adanya malah ayam bumbu kecap. Untung ada sup untuk pembuka yang rasanya mak nyus. Oya, tempat makannya juga asik. Di atas kolam. Kalau sore atau pagi pasti lebih asik.
Habis makan siang tadi acaranya hanya mulai dengan perkenalan. Basi banget. Pesertanya dari hampir semua provinsi di Indonesia. Setelah perkenalan dilanjut diskusi bentar lalu kelar. Rencana jalan malam batal karena jadinya malah ngobrol di lobi hotel. Pas aku mau cari warnet, panitia nawarin laptop karena di hotel ada wifi. Hehe, jadilah aku ngetik mojok sendiri ketika yang lain sudah pada balik ke kamar.
Oke. Hari ini tidak terlalu mengesankan. Hanya omongan sopir taksi yang bisa jadi pelajaran. Seperti biasa, kalau ngobrol sama sopir taksi, pasti salah satu obrolannya adalah soal…. cewek! Pak sopir taksi ini pun begitu. Ada beberapa idiom baru yang aku tahu. “Saya bisa anterin juga kalau mau jalan-jalan ke taman,” katanya. Aku bingung. Eh, ternyata taman itu kata pengganti untuk tempat cari cewek. “Kalau mau juga bisa macem-macem layanannya. Mau makan di tempat atau bungkus bawa ke tempat lain,” lanjutnya.
Walah, Pak. Memangnya makan ayam goreng. 😀
Leave a Reply