Membandingkan Darut Tauhid dengan Rumah Cemara

1 , Permalink 0

Pada hari ketiga Pelatihan Menulis Isu AIDS untuk Wartawan di Bandung, peserta pelatihan diberi tugas untuk liputan ke lapangan. Sekitar 20 peserta dibagi jadi empat kelompok dengan narasumber injecting drugs user (IDU), pekerja seks komersial (PSK), waria, dan man sex with man (MSM) alias gay. Aku sangat bernafsu untuk bisa masuk kelompok yang mewawancari PSK. Apa daya, pas diundi, aku malah dapat IDU, isu yang sudah sering aku tulis.

Di kelompokku ada teman dari Banten, Aceh, Makassar, Medan, dan Palembang. Dwi Wiyana, redaktur TEMPO yang juga pemateri pelatihan mengantarkan kami ke Rumah Cemara, tempat nongkrong junkie, bahasa lain IDU, di Bandung. Semula, aku tidak terlalu antusias. Sepertinya aku tidak akan dapat hal baru di isu HIV/AIDS di kalanga IDU ini. Untungnya sih begitu masuk kawasan ini, aku seperti nemu ironi menarik untuk jadi bahan tulisan.

Jalan Geger Kalong, di mana Rumah Cemara berada, ternyata juga kawasan pondok pesantren Darut Tauhid, milik Aa Gym. Maka ketika masuk jalan ini suasana sangat religius. Apalagi pas hari Kamis malam Jumat. Suara adzan, orang mau sembahyang, cewek berjilbab, cowok berkopiah putih, dan seterusnya ada di jalan ini. Mereka sepertinya sibuk mencari surga.

Namun susana kontras sangat berbeda di Rumah Cemara, yang hanya berjarak ratusan meter dari pondok itu. Rumah ini jadi pusat ngumpul junkie yang saling membantu agar junkie lain bisa pulih dari ketergantungannya pada heroin. Mereka juga membantu agar penularan HIV di kalangan junki bisa berkurang.

Ibaratnya, ketika jamaah Darut Tauhid sibuk mengurusi diri sendiri agar masuk surga, junkie Rumah Cemara sedang berusaha agar teman-temannya tidak masuk “neraka” dunia seperti jadi junkie atau tertular HIV. Aku menemukan sesuatu yang menarik untuk ditulis.

Maka, ketika selesai liputan dilanjut nongkrong di Jalan Dago, aku langsung nulis hasil liputan itu. Dan, inilah hasilnya..

Saling Membantu Sesama Pecandu

Mantan pengguna narkoba suntik saling membantu dalam penanggulangan HIV/AIDS di kalangan mereka. Programnya rehabilitasi bagi pengguna, pendampingan bagi ODHA, dan pengurangan dampak buruk. Namun, mereka menghadapi tembok tebal bernama UU Narkotika.

Adzan Isya mengalun dari masjid Darut Tauhid di jalan Geger Kalong Girang Bandung, Kamis malam lalu. Puluhan laki-laki sedang bersiap melaksanakan sholat Isya’ di pinggir jalan raya. Anak-anak remaja sedang antri mengambil wudhu. Sepanjang jalan itu pula lalu lalang perempuan dengan jilbab menutup hingga dada atau laki-laki berkopiah putih. Suasana religius sangat terasa.

Jalan ini merupakan kawasan pusat usaha milik da’i ternama Abdullah Gymnatsiar, biasa dipanggil Aa Gym. Maka, tidak hanya pondok pesantren, masjid, dan fasilitas agama, bahkan tempat bersantap dan penginapan pun menggunakan simbol MQ, singkatan dari Manajemen Qalbu, brand usaha milik Aa Gym.

Hanya berjarak sekitar 100 meter dari pusat kegiatan religius tersohor itu, Yudha, 28 tahun, sedang memeriksa tumpukan jarum bekas. Mantan pengguna narkoba suntik (penasun) itu dengan semangat menunjukkan empat galon air minum berisi jarum suntik bekas yang pernah dipakai penasun, kadang disebut juga injecting drugs user (IDU). Empat galon berisi jarum suntik bekas itu tersimpan di gudang kecil Rumah Cemara, kelompok dukungan berbasis komunitas bagi pecandu narkoba maupun mantan pecandu narkoba serta orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Ribuan jarum suntik tersebut dikumpulkan Yudha bersama enam petugas lapangan (PL) Rumah Cemara lain dari sekitar 900 IDU di Bandung, Sukabumi, Bogor, Cianjur, dan Depok. Setelah dikumpulkan di gudang, jarum bekas itu nantinya akan dihancurkan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dengan menggunakan insenerator. “Kalau tidak dihancurkan, jarum itu akan tetap rentan menularkan HIV,” kata Yudha.

Membandingkan orang-orang yang bersiap sholat dengan Yudha yang mengumpulkan jarum suntik bekas, saya menemukan ironi luar biasa. Menyuntikkan heroin tidak hanya disalahkan agama, Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 pun mengancam pelakunya dengan hukuman penjara. Namun, bagi saya, upaya Yudha telah melampaui ibadah verbal anggota Jamaah Daarut Tauhid. “Dengan cara ini saya membantu teman-teman saya agar tidak mengalami pengalaman saya,” kata mantan penasun ini.

Yudha tidak sibuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Dia melakukannya untuk orang lain. Dia tidak ingin orang lain tertular Human Immunodeficiency Virus (HIV) seperti dirinya. Di darah anak ketiga dari lima bersaudara itu memang mengalir virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Yudha adalah mantan penasun yang kini aktif membantu penasun lain yang masih aktif cucaw, bahasa slang dari menyuntikkan heroin, agar tidak tertular HIV. Hampir semua staf dan PL di Rumah Cemara, dari total sekitar 15 orang, adalah mantan penasun. Mereka tidak hanya berbagi pengalaman, tapi juga mencegah agar epidemi ini tidak terus meningkat.

Masuknya HIV di darah Yudha berasal dari kebiasaannya menggunakan heroin dengan cara disuntik. Dia sudah menyuntikkan putaw, nama lain heroin, sejak kelas II SMA pada tahun 1997. Akibat susahnya mendapatkan jarum, dia kemudian berbagi satu jarum dengan temannya sesama IDU. Jadi satu jarum itu digunakan secara bergiliran. Dari satu junkie, bahasa lain penasun, ke junkie lain.

Penggunaan satu jarum suntik secara bersama-sama ini rentan menularkan HIV. Sebagai contoh, di tingkat nasional saat ini sekitar 53 persen kasus HIV/AIDS berasal dari kalangan IDU. Sisanya baru dari transmisi seksual, homoseksual, dan sebab lain. Penularan akibat penggunaan jarum suntik bersama-sama di kalangan IDU adalah kasus terbesar.

Namun, HIV/AIDS bukanlah melulu angka, statistik, prosentase, dan semacamnya. Akibat masih kurangnya informasi dan pemahaman tentang sindrom ini, maka mereka yang tervonis positif HIV selalu mengalami penyangkalan dan ketakutan besar pada awalnya. Yudha pun demikian.

“Saya hanya teringat kematian ketika pertama kali tahu positif HIV,” kata Yudha. Meski sudah mendapatkan konseling dan tahu tentang HIV/AIDS, Yudha mengaku tidak siap dengan hasil tersebut. Setelah tahu positif HIV, Yudha hanya mengurung diri di kamar. “Selama seminggu saya tidak makan. Saya lebih banyak mengasihani diri sendiri. Ya, biasalah, self pitty, sesuatu yang banyak dialami ODHA ketika pertama kali tahu tentang statusnya,” lanjut pemuda kelahiran Sukabumi ini.

Berkat dukungan teman-temannya sesama pecandu dan ODHA, Yudha lalu sadar bahwa mengasihani diri sendiri tidak menyelesaikan masalah. “Saya harus melakukan sesuatu agar orang lain tidak tertular,” tambahnya.

Maka, sejak September 2006 dia memilih jadi petugas lapangan program pengurangan dampak buruk bagi penasun (harm reduction) di Rumah Cemara. Harm reduction adalah program untuk mengurangi dampak buruk di kalangan penasun. Salah satu kegiatannya berupa needle exchange program (NEP) atau program pertukaran jarum suntik untuk penasun. Dengan cara ini, penasun tidak perlu lagi berbagi jarum ketika pakaw, bahasa slang lainya untuk menyuntikkan heroin. Penularan HIV di kalangan penasun pun bisa ditekan.

Irwandy Widjaya, Humas Rumah Cemara, mengatakan bahwa program harm reduction baru dilaksanakan oleh Rumah Cemara sejak 2004. Sebelum itu, Rumah Cemara fokus di dua program yaitu rehabilitasi untuk pecandu narkoba serta dampingan dan dampingan bagi ODHA yang disebut Manajer Kasus. “Harm reduction kami laksanakan setelah melonjaknya penularan HIV di kalangan penasun,” kata Irwan, salah satu pendiri Rumah Cemara yang juga mantan penasun.

Menurut Irwan, kasus HIV/AIDS di kalangan penasun mencapai 65 persen dari sekitar 2.500 kasus di Jawa Barat. Karena itu, dengan bantuan dari AusAid melalui Indonesian HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP), Rumah Cemara pun melaksanakan program harm reduction. Awalnya, program ini hanya dilaksanakan di Bandung. Namun terus berkembang ke kota-kota lain di Jawa Barat, salah satunya Sukabumi, kota di mana Yudha tinggal saat itu.

Melalui program NEP maupun Manajer Kasus, Yudha mengenal Rumah Cemara. Dia pun ikut kegiatan seperti positive chat (obrolan sesama ODHA untuk saling mendukung) ataupun peningkatan kapasita melalui pelatihan. “Kegiatan-kegiatan seperti itu membuat saya makin pede dan yakin bahwa saya tidak sendiri,” kata Yudha.

Sejak Desember 2007, Yudha pindah ke Bandung. Sebelumnya, dia jadi PL di kota kelahirannya, Sukabumi. Saat itu, dia mendampingi sekitar 45 penasun. Tiap hari dia membagi jarum ke dua atau tiga penasun. Dalam sebulan dia bisa membagi sampai 380 jarum. Selesai dipakai, jarum itu harus dikembalikan ke PL. “Kadang-kadang saya juga mungut dari tempat sampah atau selokan agar tidak membahayakan orang lain,” katanya.

Saat ini, Yudha hanya mendampingi empat klien. Berkurangnya jumlah klien itu karena saat ini penasun di Bandung bisa memperoleh jarum di Puskesmas, tidak lagi hanya ke lembaga swadaya masyarakat (LSM). Meski demikian, Yudha masih tetap ke lapangan tiap hari. Misalnya ke Pusat Rumatan Methadone (PRM) di Rumah Sakit Hasan Sadikin. “Biasanya sih ngobrol sama klien atau ngumpulin jarum,” katanya.

Menjadi PL bukan pekerjaan mudah bagi mantan penasun, termasuk Yudha. Risikonya tinggi. Dia bisa kembali kambuh untuk pakai heroin (relapse). “Banyak juga PL yang relapse,” tutur Irwan.

Yudha pun pernah mengalami ini. Sekitar setahun bekerja sebagai PL, dia relapse, pakaw lagi. Penyebabnya, dia sakit…mencret!

“Biasalah junkie. Selalu punya pembenaran untuk nyuntik lagi. Karena seminggu tidak berhenti mencret, saya pakai lagi. Ternyata memang sembuh. Tapi nyuntiknya yang malah kambuh. Dalam bahasa junkie, satu memang terlalu banyak dan seribu tidak pernah cukup. Makanya setelah sekali pakai, jadi keterusan. Untungnya bisa berhenti,” tuturnya.

Di luar masalah relapse, PL maupun lembaga pelaksana harm reduction juga menghadapi tembok tebal bernama UU No 22 tahun 1997. “UU itu hanya mendukung penyebaran HIV/AIDS,” tuding Ginandjar, Manajer Rumah Cemara, yang juga mantan penasun. UU ini mengatur tentang hukuman penjara bagi penasun yang tertangkap. Sebenarnya ada aturan bahwa pengguna narkoba yang tertangkap berhak mendapat vonis rehabilitasi. Namun sampai saat ini, sangat sedikit penasun yang divonis hukuman rehabilitasi, bukan penjara. Padahal, pria yang akrab dipanggil Ginan ini, penjara justru jadi tempat aman bagi peredaran heroin. Di sana tidak hanya jadi tempat penasun, tapi juga bandar. Maka, bukannya berhenti dari kecanduan menyuntikkan narkoba, penasun yang dihukum malah dengan bebas bisa menyuntikkan heroin.

Sayangnya peredaran narkoba ini tidak didukung dengan adanya peralatan seperti jarum suntik. Ini pun pernah dialami Yudha. Dia pernah masuk penjara selama 1 tahun 7 bulan akibat tertangkap membawa 0,5 gram heroin. Toh, meski di penjara, dia masih bisa pakai heroin. Uang saku dari orang tuanya dia pakai untuk beli heroin. “Tapi jarumnya gantian sama teman-teman. Jadinya penularan HIV saya yakin sangat cepat,” ujarnya.

UU No 22 tahun 1997 juga mengatur bahwa jarum suntik bekas dipakai oleh penasun bisa menjadi barang bukti bagi polisi. Akibatnya, menurut Ginan, penasun cenderung takut untuk membawa jarum suntik sendiri. Padahal keinginan untuk menyuntik bisa muncul kapan saja. Kalau itu yang terjadi, maka tidak jarang sesama penasun pun berbagi jarum pada saat itu. Penularan HIV pun kembali terjadi.

Akar persoalan dari masih adanya UU yang mengkriminalkan penasun, dan berdampak pada penghambatan terhadap penanggulangan AIDS, terjadi akibat masih adanya standar agama dan moral dalam melihat persoalan ini. Penasun dan ODHA hanya dilihat dari satu sisi. Contoh nyatanya adalah belum adanya program pertukaran jarum suntik di penjara. Meski ada pemakaian heroin di dalamnya, toh pihak LP tetap tidak mengizinkan adanya program pertukaran jarum suntik.

“Pejabat kita lebih suka pakai standar moral dan agama daripada alasan kesehatan,” kata Yudha.

Agama, sesuatu yang seharusnya mengasihi orang lain tanpa memandang latar belakang itu, ternyata malah membuat masalah HIV/AIDS ini semakin parah.

1 Comment
  • Dek Didi
    April 20, 2008

    Top markotob liputannya oi…
    Kapan bisa nulis begini yah???