Senyapnya hutan Bago, Myanmar menjadi kenikmatan tersendiri.
Di tempat sepi serupa tegalan ini kami bisa lebih fokus mendiskusikan topik selama pelatihan tentang keamanan dan privasi digital. Banyak hal baru yang aku pelajari secara personal.
Selama lima hari kami belajar topik serius dan gawat itu dengan santai.
Kami duduk lesehan di salah satu bangunan. Sebagian duduk di kursi. Tapi lebih banyak yang hanya duduk di bantal (cushion) atau bahkan leyeh-leyeh di bean bag.
Tiga fasilitator utama memandu pelatihan. Mereka asyik banget. Tak cuma jago secara teknis tapi juga memberikan perspektif baru terhadap apa yang selama ini kita alami sebagai pengguna internet.
Secara umum, materi lima hari meliputi lima isu penting terkait keamanan digital dan privasi, seperti politik data, raksasa digital, media sosial, telepon genggam (mobile), dan isu-isu teknis. Asyik jadinya. Dari teori dan perspektif global hingga ke hal-hal teknis semacam pengaturan ponsel.
Sekitar 40 peserta aktivis organisasi masyarakat sipil dari Asia Tenggara makin memperkaya diskusi. Masing-masing peserta berangkat dan berkaca dari pengalaman di negara mereka. Jadi saling memperkaya.
Minyak Baru
Salah satu persepektif baru tersebut adalah soal bagaimana melihat data. Selama ini aku hanya melihat data, terutama informasi, dari sudut pandang keterbukaan informasi. Information is power.
Karena itu, isu semacam kebebasan informasi dan kebebasan media, menjadi isu utama. Makin banyak berbagi, makin bagus.
Diskusi di Bago ini justru memandang sebaliknya.
Data tak semata untuk menambah daya dan kekuatan tapi juga kekayaan. Sudut pandang inilah yang dipakai para perusahaan raksasa digital semacam Google, Apple, dan Facebook. Bagi mereka, data adalah minyak baru.
Perusahaan-perusahaan raksasa ini memproduksi, mengolah, menguasai, dan menjual data. Sebagian besar dari mereka tidak memproduksi data itu sendiri tapi menyediakan ruang bagi warga yang memproduksi data itu.
Google, misalnya, tidaklah memproduksi data. Mereka “hanya” menjaring data yang tersebar di dunia maya. Lalu, orang-orang bertanya melalui Google jika ingin mendapatkan data tersebut.
Mereka menyediakan ruang secara gratis. Bertanya ke Google tidak perlu bayar. Narsis di Facebook juga gratis. Tapi, tidak ada makan siang gratis. Data-data yang disebarluaskan lewat raksasa digital itu mereka kuasai untuk kemudian mereka jual.
Kok bisa?
Sudah ada dalam aturan pakainya. Sekali seseorang menggunakan aplikasi semacam Android, iOS, ataupun Facebook, pada saat itu pula banyak yang tanpa sadar atau dengan sadar telah memindahkan hak atas informasi yang mereka produksi kepada penyedia layanan tersebut.
Pelanggaran
Parahnya kadang-kadang data itu amat personal. Semua diumbar meski tak ada relevansinya dengan banyak orang.
Pelanggaran privasi ini terjadi dalam beberapa tingkat. Pertama, tanpa kita sadari. Perangkat semacam laptop dan ponsel ataupun media sosial mencatat apapun yang kita lakukan tanpa pernah kita sadari.
Salah satu pemandu diskusi misalnya memperlihatkan bagaimana perjalanan pribadinya direkam dan dicatat oleh ponsel. Lalu, jika ada orang yang ingin membuka rekaman itu, mereka dengan mudah mampu melakukannya.
Kedua, kita memang sengaja menyebarluaskannya. Mungkin karena tak sadar betapa jauh dampaknya. Hal-hal personal, seperti alamat rumah, makan apa, pergi ke mana, wajah anak-anak kita, bahkan urusan ranjang pun disebarkan ke media sosial.
Kita melanggar privasi kita sendiri.
Memang bagi sebagian orang tak masalah. Tapi, bayangkan bahwa data itu lalu digunakan para pemburu data. Di belantara dunia maya ini ada orang-orang yang terus mengincar data-data personal untuk kejahatan mereka.
Makin banyak informasi personal kita sebar, makin kita berada pada posisi rentan.
Untuk itu perlu ada pemahaman politis dan teknis tentang data. Menariknya, dalam sesi-sesi tertentu, kami juga mempraktikkan hal-hal baru. Misalnya cara menyembunyikan ponsel agar tidak terlacak, menemukan ponsel hilang, atau bahkan hal-hal sederhana semacam mengubah pengaturan ponsel atau laptop agar tidak terus ketahuan di mana lokasinya.
Berbekal kesadaran politis dan kemampuan teknis, kita jadi bisa lebih punya otoritas terhadap privasi kita sendiri. Biar tidak mudah jadi korban pemburu data ataupun penjahat di dunia maya.
0 Comments