Rumah Tulisan

maka, menulislah untuk berbagi, agar ceritamu abadi.

Ketika Pengacara Lawan Pangdam

Dituduh melanggar HAM, Pangdam laporkan pengacara ke polisi. Pengacara sibuk mencari dukungan.

Senin dua pekan lalu, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IX/Udayana Mayjen Agus Suyitno melaporkan Rizaldy Watruti ke Polda Bali. Rizaldy yang pengacara itu dituduh telah mencemarkan nama baik Pangdam pengganti Willem T da Costa tersebut. Pangdam diwakili anak buahnya di bagian Hukum Kodam (Kumdam) antara lain Cholid Ashari, Hudi Purnomo, Cokorda Gde Darma Putra, Satriyo NC, dan Hanifah Hidayatullah.

Pelaporan Pangdam itu sekaligus adalah “jawaban” atas pengaduan Rizaldy D Watruty kepada Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali. Sebelumnya, pada 7 April lalu, Rilzady D Watruty berkirim surat pada Ketua Komisi A DPRD Bali. Surat bernomor 035/RZL/Srt.Lap/IV/2003 itu terdiri dari tujuh poin. Namun bagian paling “pedas” justru pada poin ketujuh yaitu bahwa Pangdam IX/Udayana telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas klien Rizaldy yang bernama I Ketut Nurasa. Selain itu, menurut Rizaldy, Pangdam pun telah melakukan persidangan yang penu rekayasa dan tidak bertanggungjawab atas bukti-bukti kasus kliennya tersebut. Dengan alasan-alasan tersebutlah Rizaldy kemudian meminta kepada Ketua Komisi A DPRD agar melakukan hearing seputar kasus yang dialami kliennya, I Ketut Nurasa.

Letda I Ketut Nurasa, 41 tahun, adalah prajurit Kodam IX/Udayana yang didakwa menjadi otak pembunuhan berencana terhadap Alexander Simorangkir pada 13 Maret 1999. Hingga saat ini, Nurasa sehari-hari bertugas di Polisi Militer Kodam (Pomdam) IX/Udayana. Selain Nurasa juga ada empat tersangka lain yaitu dua rekan Nurasa di Kodam, Praka Putu Suarsana, 32 tahun, dan Serda Ketut Sugita, 33 tahun. Dua yang lain orang sipil yaitu I Made Widana dan Nyoman Gede.

Maka, Pangdam IX/Udayana (ketika itu) Willem T da Costa mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) agar Mahkamah Militer III-14 Denpasar mengadili terdakwa I Ketut Nurasa dan dua prajurit lainnya. Berdasarkan Pasal 217 Undang-undang (UU) No 31/1997 tentang peradilan militer, Pangdam memang berhak mengeluarkan Skeppera ini serta menentukan oditur. Pada Desember 1999, untuk pertama kalinya Nurasa, Sugita, dan Suarsana tersebut diadili.

Pada 26 Juni 2000, Mahmil III-14 Denpasar memutuskan hukuman bahwa Nurasa, Sugita, dan Suarsana telah melakukan pelanggaran pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang menghilangkan nyawa orang lain. Nurasa diberikan hukuman mati, sedangkan Sugita dan Suarsana masing-masing diputus hukuman 17 tahun.

Atas keputusan Mahmil III-14 Denpasar ini, Nurasa kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) III Surabaya. Melalui putusan No Put/41/Bdg/MMT-III/K/AD/XII/2000, putusan Mahmil III-14 Denpasar tersebut dinyatakan batal demi hukum oleh Mahmilti III Surabaya. Alasannya, selama proses penyidikan dan pemeriksaan terdakwa tidak pernah didampingi pengacara atau penasehat hukum. Padahal, berdasarkan Pasal 217 UU No 31/1997, tersangka atau terdakwa yang dituntut penjara 15 tahun atau lebih harus didampingi pengacara. Nyatanya Nurasa dan kawan-kawannya tidak pernah didampingi.

Setelah itu, kasus Nurasa mengendap. Hingga Pangdam IX/Udayana pun berganti dari sebelumnya Mayjen Willem T da Costa diganti Mayjen Agus Suyitno. Eh, awal April lalu kasus Nurasa kembali bergulir di Mahmil III-14 Denpasar.

Awalnya, melalui Skeppera Nomor Skep/444/VII/2002 Pangdam Mayjen Agus Suyitno menyatakan kasus pembunuhan atas Alexander Simorangkir harus digelar kembali. Dan, pada 14 April 2003 lalu, sidang pembunuhan itu pun digelar kembali dengan kasus yang sama.

Pangdam IX/Udayana melalui Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Letkol Bambang Budi Lelono mengatakan dasar pengajuan kembali kasus ini karena putusan Mahmilti III Surabaya hanya pada formal acara, bukan pokok perkara. Hal ini diperkuat surat Mahkamah Agung RI No 2/TA-Ml/I/2002 yang mengatakan bahwa belum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum. “Jadi pokok perkara itu sendiri masih bisa disidangkan,” kata mantan Dandim di Negara, Jembrana ini.

Nah, seminggu sebelum perkara itu disidangkan kembali, Rizaldy D Watruti selaku penasehat hukum I Ketut Nurasa berkirim surat yang kemudian jadi biang kerok perkara pangdam vs pengacara itu tadi.

Antara lain isi surat dari Rizaldy tersebut adalah bahwa pertama, kliennya telah dipaksa untuk disidang kembali untuk perkara yang sama (nebis in idem). Karena itu sidang tersebut penuh dengan rekayasa. Kedua, Pangdam tidak bertanggungjawab atas bukti-bukti pada persidangan sebelumnya. Bukti berupa mobil Suzuki Jimny (tempat pembunuhan) dan Opel Blazer (untuk membuang mayat), menurut Rizaldy telah dijual. Ketiga, Pangdam dengan seenaknya telah hanya mengizinkan terdakwa hanya didampingi dua pengacara. Padahal Nurasa Nurasa telah meminta didampingi lima pengacara. Karena itulah, seperti disebut sebelumnya, Rizaldy Watruti menuduh Pangdam telah melakukan pelanggaran HAM. Surat itu pun ditembuskan kepada presiden, Panglima TNI, Kasad TNI, Ketua Mahkamah Agung, Menkeh dan HAM, Ketua MPR, Ketua DPR, Gubernur Bali, Ketua DPRD Bali, Mahmilti Surabaya, dan Mahmil Denpasar.

Tentu saja Pangdam menolak tuduhan itu. Menurut Kapendam IX/Udayana Letkol Bambang Budi Lelono, asas nebis in idem tidak dapat dituduhkan atas pengajuan kembali kasus tersebut. “Sebab Mahmilti III Surabaya belum memeriksa pokok perkara,” katanya. Kedua, mobil-mobil barang bukti yang diajukan sejak awal memang palsu. (Sayang, kedua belah pihak tidak bisa memberikan bukti atas klaim masing-masing). Ketiga, Pangdam selaku yang mengeluarkan Skeppera memang mempunyai hak untuk menentukan siapa-siapa pengacara yang akan mendampingi terdakwa. Hal berdasarkan UU Peradilan Militer yang sudah disebutnya tadi. “Dia (Rizaldy) mungkin perlu membaca lagi KUHp,” katanya. Bambang juga mengatakan bahwa persidangan ini digelar kembali karena pihaknya mencium ada bau rekayasa atas pemeriksaan sebelumnya sehingga terdakwa tidak didampingi pengacara. “Dia (Nurasa) kan sarjana hukum dan penyidik, bisa jadi sengaja menggunakan celah itu,” kata Bambang.

Kini, kasus pembunuhan atas Alexander Simorangkir sudah “beranak”. Dari tuduhan pembunuhan oleh I Ketut Nurasa, bertambah dengan pencemaran nama baik oleh pengacaranya. Direktur Reserse dan Kriminal (Direskrim) Polda Bali Kombes Boy Salamudin mengatakan pihaknya belum menyelidik banyak kasus tuduhan pencemaran nama baik tersebut. “Kami baru meminta keterangan dari para pengacara Pangdam,” kata Boy yang baru menjabat sekitar dua bulan ini. Hingga saat ini pu, tambahnya, polisi belum menjadikan Rizaldy sebagai tersangka.

Rizaldy sendiri saat ini sedang melakukan penggalangan untuk tuduhan kepada Pangdam tersebut. Selasa pekan ini misalnya dia ke Lemhanas di Jakarta untuk konsultasi dengan salah seorang petinggi TNI. Bahkan, katanya, kalau sampai kasus ini berlanjut dia akan mencari dukungan dari organisasinya, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).