Melalui Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, warga Kabupaten Jembrana bebas biaya ketika berobat.
Ide awalnya karena tidak ingin daerahnya semakin tertinggal dari daerah lain di Bali. Sebut saja dari sisi pendapatan. PAD Jembrana tak sampai Rp 6 milyar per tahun. Bandingkan dengan PAD Kabupaten Badung yang mencapai sekitar Rp 300 milyar. “Saya ingin meningkatkan kualitas hidup warga Jembrana,” kata bupati Jembrana I Gde Winasa. Paremeter kualitas hidup itu, tambah bupati yang juga profesor tersebut, adalah peningkatan kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, dan daya beli.
Dan, bagi Winasa, program itu tidak sebatas angan-angan. Di bidang kesehatan misalnya, bupati yang juga dokter gigi itu membuat program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Program ini dilakukan sejak April 2003 lalu. Intinya berupa memberikan jaminan dan menyalurkan subsidi ksehatan kepada masyarakat. Sebagai badan pelaksana dibentuklah Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) yang berada di bawah Dinas Kesehatan kabupaten paling dekat dengan Jawa tersebut.
Teknisnya, Pemkab Jembrana akan membayar setiap biaya kesehatan warganya yang sudah menjadi anggota JKJ. Pembayaran ini dilakukan di setiap Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) seperti rumah sakit, dokter, pusat kesehatan masyarakat, maupun perangkat kesehatan lain yang telah terikat kontrak dengan Pemkab Jembrana. Setiap warga Jembrana berhak menjadi anggota JKJ dengan syarat menyerahkan identitas diri dan foto. Kartu JKJ itu diterbitkan untuk satu keluarga dengan foto kepala keluarga dan anggotanya di kartu tersebut. Selain itu peserta JKJ juga mendapat buku berobat. Untuk dapat kartu dan buku berobat ini warga hanya membayar Rp 2000.
Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada warga tersebut antar lain penyuluhan, pencegahan, penyembuhan, pengobatan, pemeriksaan, hingga pelayanan KB dan pemeriksaan ibu hamil. Ketika mendpatkan pelayanan kesehatan, peserta JKJ tinggal memperlihatkan kartu tersebut untuk kemudian PPK yang menangani akan menandatangani kartu obat si pasien. Setiap bulan PPK akan mendapatkan biaya berdasarkan jumlah pasein yanhg ditangani. Besarnya tarif pelayanan kesehatan tersebut Rp 20.000 untuk pemeriksaan dan obat oral. Sedangkan untuk suntik dan obat biayanya Rp 27.000 per pasien. Biaya tersebut terdiri dari biaya jasa medis Rp 10.000 sedangkan sisanya untuk obat atau suntik itu tadi.
Menurut Winasa, untuk program tersebut, Pemkab mengalokasikan dana Rp 3,4 milyar per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 230 ribu, Winasa menyatakan tiap warga mendapat premi Rp 1.080 per bulan. Toh, untuk tahun ini dana tersebut masih tersisa Rp 1 milyar. “Kalau tidak ada program ini dana tersebut pasti sudah habis,” kata lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya tersebut. Sebab, tambahnya, JKJ merupakan pemindahan alokasi subsidi kesehatan kepada warga dari yang sebelumnya ke puskesmas dan rumah sakit. Sebelumnya subsidi diberikan langsung kepada puskesmas sebeasr Rp 1,8 milyar dan rumah sakit Rp 1,6 milyar. “Sudah habis banyak, subsidi itu belum tentu dinikmati warga,” ujar Winasa.
Maka, JKJ pun disambut suka cita oleh warga. “Saya sudah sepuluh kali berobat dan selalu gratis,” kata Made Asa, 40 tahun. Kelian Dinas Dusun Biluk Poh Kangin, Desa Tegal Cangkring, Kecamatan Mendoyo itu memang mengidap penyakit flu. Setiap berobat dia selalu datang ke dr Nyoman Susila di Desa Posanten, sekitar 2 km dari rumahnya. Sebelum ada JKJ, bapak dua anak itu harus mengeluarkan setidaknya Rp 20 ribu tiap kali berobat. Hingga saat ini, sesekali Made Asa masih berobat.
Ketika ditemui GATRA pada Rabu pekan ini, pemilik bengkel sepeda motor itu baru saja selesai mendaftarkan tiga KK warganya untuk mendapatkan kartu JKJ. Menurutnya, dari 285 KK di dusunnya sudah 150 KK yang mendaftar JKJ. “Sisanya belum mendaftar selain karena belum butuh juga karena malas karena harus foto,” kata bapak bertubuh tinggi besar itu.
Selain Made Asa, masih ada beberapa orang yang antri mengurus kartu JKJ tersebut. Menurut salah satu pegawai, tiap hari rata-rata ada 200 orang yang mendaftar. Hingga saat ini baru 34 ribu warga Jembrana dari sekitar 230 ribu jumlah penduduk.
Adanya program ini pun disabut baik oleh kalangan medis di Jembrana. “Program ini sangat positif bagi masyarakat,” kata Dewa Gde Sidan Ardhana, dokter yang berpraktik di Desa Dangintukadaya, Negara. Secara medis, adanya JKJ membuat dokter saling berlomba memberikan pelayanan terbaik. Penjelesannya demikian. Sebelum ada JKJ, warga memilih dokter salah satunya karena tarif. Saat ini tarif semua dokter sama. Sebab telah distandarkan oleh Pemkab Jembrana. Selain itu, warga bisa berobat kapan pun mereka mau karena tidak perlu bayar lagi. “Kalau dulu mereka lebih memilih puskesmas karena lebih murah. Sekarang terserah mereka,” katanya.
Hal ini pun mengakibatkan warga lebih selektif memilih dokter. “Sebab kalau tidak suka, mereka bisa milih dokter yang lain,” kata dokter di puskesmas Dangintukadaya, Negara ini. karena biaya gratis itu pula, warga yang berobat ke dokter semakin banyak. Sebelum ada JKJ, pasien yang datang ke dokter lulunsa UGM Yogyakarta ini sekitar 5-10 orang. Sedangkan saat ini sekitar 15-20 orang per hari. Otomatis pendapatan dokter pun bertambah. Sebab mereka tinggal minta klaim ke JKJ tiap bulan.
Namun, menurut Dewa Gde Sidan, hal ini mengakibatkan jumlah pasien yang berkunjung ke puskesmas atau rumah sakit menurun. Sebab, sebagian besar warga lebih memilih berobat pada sore hari. Padahal puskesmas sudah tutup pada pukul 2 siang. “Selain itu juga karena alasan kualitas pelayanan,” kata mantan pegawai Dinas Kesehatan Jembarana ini.
Toh masih ada celah praktik tidak benar antara pasien dan dokter. “Bisa saja ada kolusi antara doker dan pasien untuk sama-sama mendapatkan uang,” kata Winasa. Untuk itu, menurut Winasa, selanjutnya perlu ada pengawasan. Sebab selama ini JKJ hanya melibatkan pasien, JKJ, dan PPK. Pengawasan ini pun perlu dilakukan agar pasien tidak menggunakan kartu JKJ seenaknya.
Sebagai contoh, seorang pasien diberikan jatah waktu tiga hari untuk menghabiskan obat. Misalnya pasien mengaku sakit dan diberi obat, maka pasein dapat berobat lagi setelah tiga hari kemudian. Jika sebelum tiga hari si pasien sudah datang, maka dia harus membayar sesuai tarif. Tidak pakai kartu JKJ.
Seperti pada Rabu sore pekan ini. Ketika sedang GATRA sedang wawancara dengan dokter Dewa Gde Sidan, tiba-tiba datang seorang pasien. Laki-laki berumur 31 tahun bernama Komang Suparta itu mengaku matanya sakit. Matanya memang terlihat memerah dan bengkak. Ketika diperiksa kartu berobatnya, ternyata Komang Suparta baru selesai berobat di Puskesmas Pembantu di Yehembang, Mendoyo pagi harinya. “Kalau belum tiga hari, bapak tidak belum bisa pakai kartu JKJ,” kata dokter Dewa Gde Sidan kepada pasiennya. Setelah pasien itu bersedia membayar, barulah pemeriksaan dilakukan di ruang praktik dokter Dewa.