Pelantikan Gubernur yang Tertunda

0 Permalink 0

Akibat adanya dugaan suap dalam pemilihan, PTUN Denpasar meminta pelantikan gubernur dan wagub Bali terpilih ditunda.

Surat Putusan PTUN Denpasar itu intinya meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali menunda keputusannya selama pemeriksaan perkara berlangsung sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Surat bernomor 15/G.TUN.2003/PTUN tersebut ditandatangani panitera Ketut B Nuritha SH dan dikeluarkan Jumat pekan ini.

Pelantikan pasangan Dewa Made Beratha dan IGN Kesuma Kelakan pun bisa jadi mundur dari jadwal semula. Awalnya berdasarkan keputusan DPRD Bali, pelantikan pasangan terpilih akan dilantik pada 28 Agustus.

Keputusan PTUN Denpasar itu muncul setelah I Wayan Nuastha memilih jalur hukum untuk menyelesaikan adanya dugaan suap dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Bali 2003-2008. Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali itu melapor Jumat pekan ini didampingi lima pengacara yaitu I Wayan Sudhirta, I Wayan Ariawan, I Made Dewantara Endrawan, I Made Sukerena, dan Wayan Sedana.

Gugatan Wakil Ketua DPC PDIP Gianyar tersebut dilaporkan ke PTUN Denpasar pada Jumat pekan ini juga. Kelima pengacaranya itu mempersoalkan surat keputusan DPRD Bali no 19/KPTS/DPRD/2003 tentang penetapan pasangan calon terpilih gubernur dan wagub periode 2003-2008. “Kami meminta agar pelantikan ditunda hingga ada kekuatan hukum yang tetap atas objek sengketa,” kata Sudhirta.

Upaya hukum itu, menurutnya, dilakukan setelah DPRD Bali dianggap tidak bisa mengakomodir protes kliennya. Sebelumnya pada sidang penetapan Selasa pekan ini pun Wayan Nuastha telah melakukan protes. Dia menolak penetapan Dewa Beratha-Alit Kelakan sebagai pasangan gubernur dan wagub karena menurutnya telah terjadi tindakan suap dalam pemilihan tersebut.

Interuspi dalam sidang selama dua jam di ruang sidang DPRD Bali itu didukung Abdul Wahab dan Jayawarsa Wardana, keduanya anggota Fraksi Kebangsaan Indonesia. Abdul Wahab bahkan menolak menandatangani berita acara uji publik. Sementara menurut Jayawarsa, penetapan tidak dapat dilakukan karena sudah ada aduan dari organisasi masyarakat tentang dugaan suap tersebut.

Toh, penetapan tetap dilakukan. Nuastha pun memprotes lalu keluar dari ruang sidang. Setelah itu dia berjalan ke museum Bajra Sandhi di Lapangan Renon Denpasar yang berjarak sekitar 100 meter dari gedung DPRD Bali. Di lapangan Renon itu, Nuastha melakukan demo solo. “Bagaimana pun penetapan tersebut tidak boleh dilakukan,” kata calon wagub yang awalnya dipasangkan dengan Dewa Beratha berdasarkan hasil rapat kerja daerah (rakerdasus) 5 Juli lalu tersebut.

Kontroversi adanya suap dalam pilgub Bali ini mencuat setelah komponen masyarakat di Bali melaporkan ke DPRD Bali. Laporan ke panitia pemilihan (panlih) ini dilakukan pada Senin pekan ini yang juga merupakan hari terakhir uji publik. Komponen yang melaporkan tersebut adalah Bali Corruption Watch (BCW), Pemuda Hindu, Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Rakyat Indonesia (LBH KRI), didukung Serikat Pengacara Bali (SPB).

Mereka melaporkan bahwa telah terjadi suap dalam pilgub Bali. Sebagai bukti mereka membawa uang tunai Rp 50 juta dalam bentuk lima bendel uang Rp 100.000. Uang tersebut dicairkan dari traveller cheque atas nama Pande Gde Soebratha pada 6 Agustus lalu yang bersamaan dengan hari pemilihan. Pelapor yang dimotori Koordinator BCW Putu Wirata Dwikora ini juga membawa cek senilai Rp 50 juta yang belum diuangkan.

Selain uang tunai dan cek, pelapor juga menyertakan surat pengakuan kronologis suap tersebut dari dua anggota FPDIP Bali yaitu Wayan Nuastha dan Pande Gde Subratha. Putu Wirata menyatakan bukti-bukti tersebut sudah cukup kuat untuk menilai bahwa telah terjadi suap dalam pilgub Bali. “Untuk itu kami minta agar pasangan terpilih dibatalkan demi hukum,” kata mantan wartawan ini.

Dalam kronologi tersebut, keduanya menceritakan bahwa suap itu terjadi ketika anggota FPDIP DPRD Bali dikonsolidasikan di Bali Cliff pada 4-6 Agustus. Dini hari pada hari H, keduanya beserta beberapa anggota fraksi yang lain dipanggil ke kamar 3112 hotel di kawasan Jimbaran itu. Di ruangan tersebut ada Pramono Anung (wakil sekjen DPP PDIP), IBP Wesnawa (Ketua DPD PDIP Bali), serta pasangan paket Dewa Beratha dan Alit Kelakan. Sedangkan yang menyerahkan cek tersebut adalah Wakil Bendahara DPD PDIP IB Manuaba dan Bendahara FPDIP Bali Beratha Wiryadana.

Pramono Anung kemudian mengatakan bahwa para anggota FPDIP DPRD Bali diberi uang sebesar Rp 50 juta oleh DPP dan akan diberikan lagi Rp 100 juta apabila paket rekomendasi DPP PDIP tersebut terpilih dan lolos uji publik. “Tukang pasir saja mendpaatkan upah, masak kita yang mengangkat gubernur dan wagub tidak dapat,” kata Pramono Anung ketika itu sebagaimana ditirukan Nuastha.

Ketika menerima uang tersebut, Nuastha mengaku kaget. Dia bermaksud mengembalikan langsung namun sungkan karena ada ketua DPD. “Selain itu kalau saya berikan saat itu kan tida ada bukti,” katanya. Nah, setelah pemilihanlah Nuastha baru kemudian melaporkan adanya suap tersebut kepada LBH KRI yang kemudian meminta bantuan BCW. Untuk melakukan ini, Nuastha mengaku sudah siap dengan resiko dipecat sekali pun.

Toh, bukti-bukti itu tidak dianggap sebagai halangan bagi DPRD Bali. Sesaat setelah BCW dan kawan-kawannya melaporkan dugaan suap, FPDIP melakukan rapat. Hasilnya, “Kami menganggap uang tersebut adalah urusan internal fraksi. Sebab uang itu untuk konsolidasi,” kata Wesnawa. Wakil Ketua DPD PDIP bali IB Suryatmaja pun menilai uang dan cek tersebut sebagai bentuk konsolidasi. “Kan wajar kalau seorang ayah memberikan uang pada anaknya,” katanya.

Tidak puas dengan jawaban DPRD Bali yang bahkan telah menetapkan pasangan terpilih, BCW, LBH KRI, dan Nuastha sendiri kemudian melaporkan hal tersebut kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada hari yang sama dengan keputusan PTUN Denpasar agar DPRD Bali menunda pelantikan gubernur dan wagub Bali terpilih. [end]

Comments are closed.