Bea Visa Perburuk Citra

0 No tags Permalink 0

Rencana pengenaan bea visa kunjungan bagi warga asing di Indonesia bisa memperburuk pariwisata Indonesia setelah bom Bali, Perang Iraq, dan SARS.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Indonesia I Gede Ardika risau. Menjelang pelaksanaan Konferensi Pasific Asia Travel Association (PATA) ke-52 di Bali pada 13-17 April beredar berbagai spekulasi. Diantaranya bahwa delegasi peserta Konferensi PATA akan dikenakan bea visa kunjungan sebesar US$ 50. Selain itu, peserta konferensi PATA juga harus menunjukkan kartu keterangan sehat dari negaranya. Yang terakhir ini untuk mengantisipasi penyebaran sindrom pernafasan sagat akut (SARS) di Bali.

Maka, melalui email yang dikirim ke berbagai negara yang akan mengirim peserta dalam konferensi tahunan Asosiasi Travel se-Asia Pasifik tersebut, Ardika mengirim pemberitahuan tentang tiga hal. Pertama, bahwa tidak akan ada pengenaan biaya visa kunjungan US$ 50 bagi delegasi konferensi PATA. Kedua, delegasi PATA tidak harus membawa surat keterangan sehat. Ketiga, setiap delegasi akan mendapat pemeriksaan kesehatan. Surat elektronik ini pun beredar di mailing list.

Rencana pengenaan biaya visa kunjungan bagi warga negara asing yang ke Indonesia memang jadi masalah penting dalam pariwisata. Setelah mengalami tiga pukulan berturut-turut: bom Bali, Perang Iraq, dan isu SARS, pariwisata Bali praktis terseok-seok. Data terakhir dari Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Bali menunjukkan terjadi penurunan tingkat hunian hotel. Tahun lalu rata-rata tingkat hunian hotel 39,4% (Januari) dan 47,18% (Februari) sedangkan tahun ini sebesar 28% (Januari) dan 29% (Februari).

Data lain dari Diparda Bali, kunjungan bule ke Bali pada Januari-Februari tahun lalu sebanyak 183.294. Sedangkan tahun ini pada dua bulan yang sama sebanyak 128.305. Artinya terjadi penurunan jumlah wisman sebanyak 54.989 atau sekitar 30%.

Namun, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali I Gede Wiratha memberikan data lebih kecil. Menurut Wiratha, selama Maret ini, tingkat hunian hotel berbintang tiga ke atas mencapai rata-rata 20%. Sedangkan hotel melati rata-rata di bawah 10%.

Menurutnya, penurunan ini paling parah terjadi karena isu SARS. Sebab selama ini penyumbang turis terbesar dari Jepang, Australia, dan Taiwan. Baru kemudian negara-negara lain. Australia jelas mengalami penurunan karena peledakan bom. “Ini diperparah isu SARS yang nota bene di negara-negara Asia,” kata Wiratha.

Bali Gardenia Hotel di Mumbul, Nusa Dua, misalnya. Sebelum peledakan bom pada 12 Oktober, tingkat hunian hotel bintang tiga tersebut paling rendah 30%. Pangsa pasarnya terbagi antara 40% Eropa, 40% Asia, dan sisanya negara lain. Begitu terjadi tragedi Kuta, selama tiga bulan, tingkta huniannya rata-rata tinggal 10%. “Bahkan kami pernah mengalami hanya enam persen,” kata Manajer Public Relation Hotel Bali Gardenia Gusti Ayu Setuti.

Ketika terjadi perang Iraq, tambahnya, jumlah tamu di Bali Gardenia tidak terlalu terpengaruh. Sebab, pangsa pasarnya sudah berubah. Turis dari negara Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Singapura menjadi konsumen utama. Apa daya, tiba-tiba muncul isu SARS yang baru diumumkan WHO pada Maret ini meski sudah ada sejak November tahun lalu di Guangdong, Cina. “Kini kami banyak menggantungkan pada wisatawan domestik,” kata lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Nusa Dua Bali ini. Hotel Bali Gardedia terdiri dari 350 kamar suite. Tarifnya antara US$ 110 hingga US$150 per malam. Atau kalau lokal Rp 350 ribu hingga Rp 750 ribu per malam. Selain hotel juga ada restoran dan karaoke room.

Kondisi yang sepi pun terlihat di beberapa lokasi pariwisata di Bali. Pantai Kuta, tempat favorit para bule, misalnya, pada Jumat pekan ini terlihat lengang. Meski cuaca cerah dan ombak bagus, hanya terlihat puluhan turis yang surfing dan berjemur. Padahal pada 2001, jumlah wisatawan mencapai ribuan orang per hari di pantai berpasir putih itu. Sepanjang jalan Legian, Kuta pun hanya puluhan bule yang berjalan-jalan atau keluar masuk art shop. Di Sanur, di pasar seninya, para pedagang terlihat duduk-duduk sambil ngobrol satu sama lain. Ketika ada satu dua bule lewat, mereka saling berebut menawarkan jualannya.

Maka, rencana pemerintah mengenakan biaya visa kunjungan bagi turis di Indonesia pun dianggap semakin memperburuk kondisi pariwisata Bali. John Sharpe, pemilik biro perjalanan A1 Trips di New South Wales, Australia mengirim email ke koleganya di Indonesia dengan emosional, “I would like to congratulate the Indonesian Government on their latest attempt to destroy the tourism industry in Indonesia. Visa Fees!! No thanks!!”

Ketua Badan Pengembangan Pariwisata dan Kebudayaan Setyanto P Santosa pun mengkhawatirkan rencana ini. Menurutnya, pengenaan biaya visa kunjungan sebesar US$ 50 akan membuat turis semakin berkurang datang ke Indonesia. Toh, menurut Setyanto, hingga saat ini belum ada aturan tertulis perihal pengenaan ini. Setahunya, yang ada hanya pengurangan visa kunjungan dari 60 hari menjadi 30 hari. Itupun ada masa transisi selama enam bulan sebagai percobaan. “Setahu saya belum jelas tentang pengenaan biaya visa. Sebab belum ada aturan tertulis. Itu masih sebatas isu,” kata Setyanto.

Meski tidak sepakat dengan rencana tersebut, I Gede Wiratha merasa dapat memahami apa yang dilakukan pemerintah dengan rencana pengenaan biaya tersebut. Namun dia mengharapkan bahwa pengenaan biaya visa kunjungan ini diberlakukan di tempat tujuan (on arrival), bukan di negara asalnya. Sebab dengan demikian, visa kunjungan ini akan bisa membantu Bali secara ekonomi. Mengenai besarnya, Wiratha menyarankan agar tidak lebih dari US$ 20. Sebab kalau terlalu tinggi, turis akan memilih tidak ke Indonesia.

Sedangkan Gusti Ayu Setuti malah mengatakan bahwa rencana tersebut sangat masuk akal. Dia bahkan sudah berbicara dengan beberapa wisman. “Mereka tidak keberatan hanya kaget karena belum ada pemberitahuan,” kata Ayu. Menurutnya, selama ini turis di Bali terlalu dimanjakan sehingga seperti di rumah sendiri, bukan negara orang. “Toh, biaya itu juga untuk pelayanan terhadap turis seperti keamanan dan kesehatan,” ujarnya.

Beberapa turis di Bali memang tidak tahu perihal biaya visa itu. Carinna Altendorfer, 26 tahun, dan temannya Petra Nageukogel, 27 tahun, pun tidak pernah dimintai biaya tersebut ketika sampai di Bali Selasa lalu. Mereka hanya bayar tiket sebesar 500 euro untuk transport dari kota mereka di Austria Gruaz-Frankfurt-Singapura-Bali. Selama di Bali dia menginap di Hotel Bounty Kuta.

Awalnya, perempuan yang bekerja sebagai fisioterapis ini berencana ke Singapura. Namun karena ramainya isu SARS, dia langsung memutuskan ke Bali ketika sampai Singapura. Di Bali dia berencana ke Uluwatu dan Ubud. Untuk itu dia tidak perlu mengeluarkan biaya banyak. Sebab dia sudah disediakan bis transportasi oleh hotel. Sejak tinggal di Bali tiga hari lalu mereka mengaku menghabiskan rata-rata US$ 56. “Paling banyak untuk beli cindera mata,” kata perempuan dengan rambut cepak ini sambil tertawa. Ini kali pertama dia ke Bali. Dia berencana tinggal dua minggu di Bali. Setelah di Kuta dia akan ke Ubud. Kalau toh harus bayar US$ 50, Carinna dan Petra mengaku tidak keberatan. “Kalau sudah niat kenapa tidak mau bayar?” tanya Petra balik.

Turis lain, Bogi (dia tidak mau menyebut nama lengkap, hanya Bogi), 37 tahun, asal Jepang pun tidak risau dengan rencana itu. Koki yang mengaku tiap tahun dua kali ke Bali ini sangat menyukai ombak Pantai Kuta yang bagus untu surfing. Siang itu dia sedang menunggu ombak. “Saya akan tetap ke Bali meski bayar berapapun,” katanya dalam bahasa Indonesia yang patah-patah.

Tiap kali ke Bali, Bogi yang datang sendirian ini paling tidak tinggal seminggu. Untuk itu dia memilih hotel melati di kawasan Jl Legian yang tipe melati. Dalam sehari dia mengaku menghabiskan rata-rata US$ 110. Paling banyak untuk makan dan minum. Karena sudah sering ke Bali Bogi punya banyak teman yang sering diajaknya makan dan minum.

Comments are closed.