Penularan HIV/AIDS karena jarum suntik lebih tinggi dibanding karena hubungan seks. Penanganannya membentur masalah klasik, dana.
Ketika mengangkat secangkir kopi, tangan kanan laki-laki itu gemetar. Terlihat tidak kuat. Tangan kirinya lalu menopang bagian bawah cangkir keramik putih itu. Matanya menatap kosong. Wajah ovalnya kurus sehingga tulang iganya terlihat menonjol. Beberapa bercak putih panu pun ada di wajah laki-laki berumur 22 tahun itu. Sinar matanya tidak bersemangat.
Dia memberikan nama samaran Suharta untuk ditulis. “Saya tidak mau keluarga saya tahu kalau saya juga mengidap HIV/AIDS,” pintanya. Siang itu di sebuah kafe, dia mengenakan celana jeans dan baju hitam dengan kancing bagian atas terbuka memperlihatkan singlet putihnya. Sekitar dua jam, Suharta menceritakan pengalamannya sehingga mengidap HIV/AIDS.
Sejak kelas III SMP pada 1994, Suharta sudah mengenal narkotika dan obat-obatan (narkoba). Ketika itu lagi ramai-ramainya pil koplo. Orangtuanya yang pensiunan pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun tahu bahwa dia nyandu obat-obatan. Apalagi lingkungan tempatnya tinggal sangat mendukung. “Transaksi terjadi kaya orang beli kacang di pinggir jalan,” katanya.
Pada Desember 2000 dia dibawa ke Panti Rehabilitasi oleh keluarganya. Nah, pada bulan keempat dia dites bersama 12 kawannya. Ternyata, delapan orang dinyatakan positif termasuk dirinya. “Saya shock dan setelah itu merasa hidup saya tinggal sebentar,” ujarnya.
Lalu dia berusaha introspeksi setelah itu. “Saya baru kemudian sadar bahwa apa yang pernah dikatakaan kakak saya itu benar adanya. Gimana lagi, junkis kalau sudah sakau tidak akan ingat apa-apa,” akunya. Lalu kakaknya, yang juga junkis, diberitahu. Hingga saat ini hanya kakak kandungnya itu yang tahu. Keluarga lain tidak. Delapan bulan di rehabilitasi, persisnya pada Juli 2001, Suharta sudah selesai dan bisa menghentikan ketergantungannya pada obat-obatan.
Yusuf Pribadi, Manajer Program Yayasan Hatihati, yang menangani masalah narkoba dan HIV/AIDS di Bali mengatakan dulunya, penularan HIV/AIDS
sebagian besar melalui hubungan seks. Namun saat ini, penularan paling banyak justru dari jarum suntik. Jarum ini digunakan pemakai narkoba alias injecting drugs user (IDU). Setelah satu pakai, yang lain juga pakai jarum tersebut. Nah, ketika salah satunya kena HIV/AIDS pemakai yang lain pun akan kena. Sebab, darah adalah media penularan yang paling efektif. Prosentase orang tertular HIV/AIDS melalui injeksi mencapai 90% cepatnya, melalui darah 90%, dan seks satu persen.
Kemungkinan orang kena HIV/AIDS lewat jarum ini pun semakin bertambah. Hal ini karena, kata Yusuf, belum banyak IDU yang terjangkau. Juga karena akses dapat jarum suntuk baru ini sangat susah. “Karena junkies maunya instan, ya kami gantian saja makenya,” aku Suharta. Parahnya lagi, sebagian besar penderita HIV/AIDS ini tidak mau test daerah karena sudah pasrah dengan apa yang dideritanya.
Ketika masih suka ngeboat, Suharta, misalnya, sudah tahu bahwa penularan HIV/AIDS bisa terjadi melalui jarum suntik dan seks. Toh dia cuek saja. Seks bebas dijalani dan drug pun jalan terus. “Saya sendiri tidak tahu kena HIV/AIDS itu karena seks bebas atau jarum suntik,” jelasnya. Namun ketika di rehabilitasi itu dia sudah tidak melakukan seks bebas. Kini dia sudah beristri yang hamil sembilan bulan. Istrinya sendiri negatif.
Dia pun tidak terlalu mikir HIV/AIDS yang dialaminya. Sebab, baginya, persoalan narkoba jauh lebih meresahkan dibanding HIV/AIDS. Hal itu katanya tidak hanya terjadi pada dirinya. “Semua kawan yang mengalami HIV/AIDS dan juga junkis, biasanya lebih memikirkan ketergantungannya itu,” tambah Suharta.
Persoalan lain yang dihadapi pengidap HIV/AIDS ini adalah adanya diskriminasi oleh masyarakat sekitar. “Mereka masih menganggap bahwa orang dengan HIV/AIDS itu menjijikkan,” kata Yusuf. Selain stigma, Suharta sendiri belum pernah mengalami diskriminasi. Namun, kawannya pernah mengalami. Ketika si kawan sakit gigi lalu memeriksa ke dokter. Demi menjaga diri, sebelum diperiksa, kawan itu bilang ke doker bahwa dia penderita HIV/AIDS. Di luar sangkaan, dokter itu malah bilang, “Pergi sana. Jangan berobat ke sini sebelum HIV/AIDS mu sembuh.”
Karena itu kini Suharta pun ikut di salah satu yayasan yang peduli pada HIV/AIDS dan narkoba. “Saya ingin menyumbangkan apa yang saya punya pada orang lain agar mereka belajar,” kata Suharta. Seminggu sekali dia ngumpul dengan sesama kawan junkis. Dari situ dia berusaha mendekati dan mengajak junkis-junkis itu agar mengerti tentang apa yang akan terjadi kalau terus makai.
Namun tak jarang justru kawan-kawannya itu malah mengajak. Untuk menolak dia hanya bilang sakit. “Agar mereka tidak tersinggung,” akunya.
Secara fisik, Suharta mengaku tidak kena infeksi oportunistik karena HIV/AIDS yang dideritanya. Namun kadang-kadang dia merasa sakit di paru-parunya, seperti ada dahak. Dia pun, tiap seminggu sekali memeriksa CD4, sejenis sel darah putih untuk kekebalan tubuh, di Yayasan Kerti Praja. Terakhir pekan ini CD4-nya 271. Kalau normal biasanya orang itu punya 500-800. Sedangkan kalau sudah 300, orang itu harus pakai obat yang disebut ARV (anti retrovital). Sayangnya orabt-obatan jenis ini sangat mahal. Selain karena tidak diproduksi di Indonesia, juga karena persediaannya memang terbatas.
Yusuf mengakui hingga saat ini, masih banyak memang stigma dan diskriminasi oleh orang-orang. Namun tidak perlu ada tempat khusus untuk orang-orang yang kena HIV/AIDS sebab itu akan semakin menambah adanya diskriminasi itu.
Yayasan Hatihati berdiri pada 10 Desember 1998. Sebagian besar pendirinya adalah bekas pemakain yang saat ini sudah tidak pake lagi. Berdasarkan data Yayasan Hatihati, hingga September 2002 lalu jumlah penderita HIV/AIDS di Bali sebanyak 233 orang. 114 diantaranya oleh IDU.
Penekanan klien yang ditangani adalah dengan harm reduction. Sejumlah 1582 orang sudah jadi kelompk dampingannya. Dari jumlah itu 711 orang diantaranya adalah dari kalangan IDU. Saat ini, Yayasan Hatihati punya kelompok dampingan yang juga berkreativitas seperti melukis, sablon, airbrush, dan bikin souvenir.
Menurut Yusuf sudah jadi kebutuhan mendesak adanya obat-obatan untuk ODHA sebab kemungkinan IDU akan semakin bertambah. Ini agar masalah HIV/AIDS tidak semakin banyak.