Oke. Oke. Akhirnya toh aku harus menulis juga soal “dosa-dosa” Bali Post di mataku. Ingat, ini di mataku. Belum tentu di mata orang lain. Pikiran soal ini sudah lama banget. Tapi aku tahan-tahan terus. Ya jelas saja karena tidak enak hati dan tidak berani. Lha wong Bali Post gitu loh..
Tapi lama-lama aku takut jadi bisul di otak lalu meledak -hahaha- kalau disimpen terus. Makanya yowislah. Ditulis saja. Kata orang bijak, kebenaran tetap harus disampaikan meski menyakitkan. -Hatjing!-Jadi ya aku tulis saja.
Bali Post adalah salah satu media tertua di Indonesia. Dia berawal dari koran Suara Indonesia yang terbit pertama kali pada 16 Agustus 1948. Jadi Bali Post memang termasuk koran perjuangan. Dia lahir sebagai media untuk melawan Belanda pada saat itu. Suara Indonesia berganti nama jadi Suluh Indonesia pada 1966, berganti lagi jadi Suluh Marhaen pada Juni 1966 hingga Mei 1971. Kemudian bernama Bali Post sejak 1972 hingga saat ini.
Kalau tidak salah, media harian yang seangkatan dengan Bali Post itu Bernas di Yogya, Suara Merdeka di Semarang, dan Pikiran Rakyat di Bandung. Dan, koran-koran ini bukan hanya tertua di kotanya. Mereka juga jadi penguasa. Begitu pula Bali Post.
Koran harian yang didirikan almarhum Ketut Nadha dan diteruskan anak laki-lakinya ABG Satria Naradha ini lebih penguasa dari semua penguasa di Bali. Gubernur, Ketua DPRD, Pangdam, dan seterusnya harus masimakrama ke Bali Post. Ini sih hal yang wajar. Tidak ada yang salah. Hanya kasih gambaran saja betapa berkuasanya Bali Post.
Sebagai media terbesar, Bali Post pun turut mengubah banyak hal di Bali. Ini sisi bagusnya. Salah satunya adalah upaya agar orang Bali tidak takut untuk “ngomong”. Ada istilah koh ngomong alias malas ngomong. Nah, Bali Post melalui koran dan, terutama, radio Global FM kenceng kampanye agar orang Bali berani ngomong. Bahkan ada baliho besar di daerah Ubung berisi tulisan De Koh Ngomong alias jangan males untuk ngomong. Hasilnya, makin banyak orang Bali yang berani bicara kritis. Setidaknya di Radio Global FM milik Bali Post. Oya, kritisnya juga asal tidak bertentangan dengan Bali Post. Hehehe..
Hal lain yang bagus, Bali Post juga kenceng untuk kampanye agar orang Bali tidak malu bekerja di sektor-sektor informal. Makanya mereka sampai bikin Koperasi Krama Bali yang lebih banyak memberi suntikan modal ke usaha sektor informal macam bakso. Dua tahun lalu sih banyak sekali warung bakso dengan spanduk Binaan Koperasi Krama Bali. Tapi sekarang makin banyak yang tutup.
Lalu kenapa aku begitu sentimen dengan Bali Post? Mmm, mungkin lebih tepat dengan kebijakan mereka saat ini ya, bukan dengan Bali Post itu sendiri.
Hal paling parah adalah karena mereka menerapkan prinsip journalist is marketing. Jadi sudah campur aduk. Wartawan mereka juga jadi tukang cari iklan. Makanya kalau baca di Bali Post itu banyak berita-berita iklan kayak pembukaan acara itu, peresmian gedung ini, dan seterusnya. Kalau ada tanda (*), nah itu berarti berita iklan. Jadinya orang yang bisa masuk Bali Post ya orang-orang yang bisa bayar iklan minimal Rp 400 ribu untuk satu berita kecil. Ya adagium Ada Uang Abang Disayang pun berganti jadi Ada Uang Anda Masuk Koran
Kalau Anda meminta Bali Post meliput kegiatan Anda, maka tanpa malu-malu mereka akan bilang Anda harus bayar. Dalam ranah jurnalisme ini hal yang bener-bener haram. Iklan ya iklan. Berita ya berita. Tidak bisa dicampuradukkan.
Memang ada advertorial di koran. Tapi itu harus ada keterangan jelas bahwa itu advertorial, bukan berita. Penempatan advertorial pun tidak di halaman berita tapi halaman atau kolom khusus. Nah Bali Post ini tidak. Semua dicampur aduk.
Lha kalau orang ngerti sih tidak soal. Masalahnya aku yakin lebih banyak pembaca yang tidak mengerti kalau yang mereka baca sebenarnya iklan. Jadi ini sudah menyesatkan. Kalau berita iklan ya tentu saja tidak akan kritis. Pastilah harus memenuhi kemauan pemasang iklan.
Karena kebijakan itu pula maka wartawan Bali Post juga harus bersiap menagih pembayaran. Ini jelas salah. Dalam aturan wartawan yang disebut Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) jelas-jelas wartawan tidak boleh terima uang dalam bentuk apa pun terkait pemberitaan, eh, ini malah minta. Okelah kalau soal terima amplop itu masih debatable. Ada yang terima ada yang tidak. Paling aku hanya neg dan malu setengah mati ngliat temen-teman wartawan terima amplop. Lha ini ada yang sampai minta-minta. Aduh, Mak..
Sebagian wartawan Bali Post sebenarnya tidak enak juga dengan kebijakan ini. Beberapa temanku di sana mengaku terpaksa begitu karena disuruh bosnya. Ya siapa lagi kalau bukan Satria Naradha.
Ironinya adalah Satria Naradha ini juga anggota Dewan Pers, lembaga kuasi negara yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah terkait pers. Misalnya ya menangani pengaduan pembaca atau narasumber yang tidak terima dengan isi pemberitaan. Jadi ini makin aneh lagi. Lha bagaimana kita mau komplain tentang Bali Post kalau orang yang mengurusi komplain itu pemilik Bali Post? Jadinya ya, “Hil yang (hampir) mustahal,” kata Asmuni.
Leave a Reply