Ada Uang, Anda Masuk Koran

26 No tags Permalink 0

Oke. Oke. Akhirnya toh aku harus menulis juga soal “dosa-dosa” Bali Post di mataku. Ingat, ini di mataku. Belum tentu di mata orang lain. Pikiran soal ini sudah lama banget. Tapi aku tahan-tahan terus. Ya jelas saja karena tidak enak hati dan tidak berani. Lha wong Bali Post gitu loh..

Tapi lama-lama aku takut jadi bisul di otak lalu meledak -hahaha- kalau disimpen terus. Makanya yowislah. Ditulis saja. Kata orang bijak, kebenaran tetap harus disampaikan meski menyakitkan. -Hatjing!-Jadi ya aku tulis saja.

Bali Post adalah salah satu media tertua di Indonesia. Dia berawal dari koran Suara Indonesia yang terbit pertama kali pada 16 Agustus 1948. Jadi Bali Post memang termasuk koran perjuangan. Dia lahir sebagai media untuk melawan Belanda pada saat itu. Suara Indonesia berganti nama jadi Suluh Indonesia pada 1966, berganti lagi jadi Suluh Marhaen pada Juni 1966 hingga Mei 1971. Kemudian bernama Bali Post sejak 1972 hingga saat ini.

Kalau tidak salah, media harian yang seangkatan dengan Bali Post itu Bernas di Yogya, Suara Merdeka di Semarang, dan Pikiran Rakyat di Bandung. Dan, koran-koran ini bukan hanya tertua di kotanya. Mereka juga jadi penguasa. Begitu pula Bali Post.

Koran harian yang didirikan almarhum Ketut Nadha dan diteruskan anak laki-lakinya ABG Satria Naradha ini lebih penguasa dari semua penguasa di Bali. Gubernur, Ketua DPRD, Pangdam, dan seterusnya harus masimakrama ke Bali Post. Ini sih hal yang wajar. Tidak ada yang salah. Hanya kasih gambaran saja betapa berkuasanya Bali Post.

Sebagai media terbesar, Bali Post pun turut mengubah banyak hal di Bali. Ini sisi bagusnya. Salah satunya adalah upaya agar orang Bali tidak takut untuk “ngomong”. Ada istilah koh ngomong alias malas ngomong. Nah, Bali Post melalui koran dan, terutama, radio Global FM kenceng kampanye agar orang Bali berani ngomong. Bahkan ada baliho besar di daerah Ubung berisi tulisan De Koh Ngomong alias jangan males untuk ngomong. Hasilnya, makin banyak orang Bali yang berani bicara kritis. Setidaknya di Radio Global FM milik Bali Post. Oya, kritisnya juga asal tidak bertentangan dengan Bali Post. Hehehe..

Hal lain yang bagus, Bali Post juga kenceng untuk kampanye agar orang Bali tidak malu bekerja di sektor-sektor informal. Makanya mereka sampai bikin Koperasi Krama Bali yang lebih banyak memberi suntikan modal ke usaha sektor informal macam bakso. Dua tahun lalu sih banyak sekali warung bakso dengan spanduk Binaan Koperasi Krama Bali. Tapi sekarang makin banyak yang tutup.

Lalu kenapa aku begitu sentimen dengan Bali Post? Mmm, mungkin lebih tepat dengan kebijakan mereka saat ini ya, bukan dengan Bali Post itu sendiri.

Hal paling parah adalah karena mereka menerapkan prinsip journalist is marketing. Jadi sudah campur aduk. Wartawan mereka juga jadi tukang cari iklan. Makanya kalau baca di Bali Post itu banyak berita-berita iklan kayak pembukaan acara itu, peresmian gedung ini, dan seterusnya. Kalau ada tanda (*), nah itu berarti berita iklan. Jadinya orang yang bisa masuk Bali Post ya orang-orang yang bisa bayar iklan minimal Rp 400 ribu untuk satu berita kecil. Ya adagium Ada Uang Abang Disayang pun berganti jadi Ada Uang Anda Masuk Koran

Kalau Anda meminta Bali Post meliput kegiatan Anda, maka tanpa malu-malu mereka akan bilang Anda harus bayar. Dalam ranah jurnalisme ini hal yang bener-bener haram. Iklan ya iklan. Berita ya berita. Tidak bisa dicampuradukkan.

Memang ada advertorial di koran. Tapi itu harus ada keterangan jelas bahwa itu advertorial, bukan berita. Penempatan advertorial pun tidak di halaman berita tapi halaman atau kolom khusus. Nah Bali Post ini tidak. Semua dicampur aduk.

Lha kalau orang ngerti sih tidak soal. Masalahnya aku yakin lebih banyak pembaca yang tidak mengerti kalau yang mereka baca sebenarnya iklan. Jadi ini sudah menyesatkan. Kalau berita iklan ya tentu saja tidak akan kritis. Pastilah harus memenuhi kemauan pemasang iklan.

Karena kebijakan itu pula maka wartawan Bali Post juga harus bersiap menagih pembayaran. Ini jelas salah. Dalam aturan wartawan yang disebut Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) jelas-jelas wartawan tidak boleh terima uang dalam bentuk apa pun terkait pemberitaan, eh, ini malah minta. Okelah kalau soal terima amplop itu masih debatable. Ada yang terima ada yang tidak. Paling aku hanya neg dan malu setengah mati ngliat temen-teman wartawan terima amplop. Lha ini ada yang sampai minta-minta. Aduh, Mak..

Sebagian wartawan Bali Post sebenarnya tidak enak juga dengan kebijakan ini. Beberapa temanku di sana mengaku terpaksa begitu karena disuruh bosnya. Ya siapa lagi kalau bukan Satria Naradha.

Ironinya adalah Satria Naradha ini juga anggota Dewan Pers, lembaga kuasi negara yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah terkait pers. Misalnya ya menangani pengaduan pembaca atau narasumber yang tidak terima dengan isi pemberitaan. Jadi ini makin aneh lagi. Lha bagaimana kita mau komplain tentang Bali Post kalau orang yang mengurusi komplain itu pemilik Bali Post? Jadinya ya, “Hil yang (hampir) mustahal,” kata Asmuni.

26 Comments
  • Hendra W Saputro
    November 28, 2007

    Om Anton, ini informasi yang bagus, knapa tidak dimuat di balebengong.net ?
    Mari kita blak-blakan, sampaikan kebenaran, meski itu punya potensi menyakitkan. Tapi klo tidak ?. Setiap hari koran Bali Post ini nongkrong di salah satu warung tempatku makan siang. Dan selalu dengan cepat kubolak-balik dari halaman depan ke belakang. Yang menarik kubaca hanyalah halaman paling belakang. Berita dari luar negeri, sisa beritanya nalarku blum mampu memahaminya. Maklum belog sih.

  • didut
    November 29, 2007

    wah bali bisa jadi ‘hangat’ nih 😀

  • wira
    November 29, 2007

    kayaknya ini bukan hanya di koran, tapi juga di televisi. Lihat saja di tv lokal bali sekarang, berita dan iklan kayaknya sama aja, isinya iklan..

    ABCD (Aduh Boo.. Cape Deh)

  • dwihandyn
    November 29, 2007

    Ha~~ 🙄

  • Shelling Ford
    November 29, 2007

    inget jaman esema. lumayan sering modar-mandir di kantornya yg di jalan kepundung. bareng adnyana yang habis itu lebih banyak ngurusin denpost.
    berarti skrg ini balipost bener2 menyedihkan. atau memang sudah dari dulu ya? saya aja yg ndak tau. waktu itu masih esema soale… :mrgreen:

  • antonemus
    November 29, 2007

    @ hendra: sip, mas. ntar aku masukin di balebengong.net. masukan saja. kalau baca yg ada tanda (*), abaikan saja. masak sudah beli korannya disuruh baca berita iklan. :))

    @ didut: bukan hangat lagi. sudah puuaanas gara-gara gombal warning, eh, global warming.

    @ wira: bener, bli. jadi kita nonton berita tapi isinya iklan semua. untung nontonnya gratis. 🙂

    @ dwi: haaaaaa(tjing!)

    @ ford: oh, kenal bli made ya. dia sekarang ngurus bali music magazine (BM2). udah lama dia cabut dari denpost. katanya sih ya krn tidak cocok lg dg kebijakan internalnya. ya, gitu deh. :))

  • asn
    December 1, 2007

    “ada apa ini, ada apa?” tanya tarzan

  • komang
    December 2, 2007

    betul sekali

  • antonemus
    December 2, 2007

    @ asn: meneketehek.. :p

    @ komang: betul sekali jg. btw, apa kabar? lama ga ketemu..

  • pushandaka
    December 2, 2007

    Ooo..Ngono tha?!
    Bali Post.., Bali Post..

  • Dek Didi
    December 2, 2007

    Salam kenal….

    Baru tau ya? Saya juga baru tahu… 😀
    Apalagi Bali TV tuh, banyak artis-artis karbitannya.
    Sesekali tengoklah….

  • agustusnugroho
    December 3, 2007

    Salam kenal ya..

    Kok rasanya ini hanya bias kecil dari rusaknya tatanan moral khususnya “korupsi” dinegara tercinta ini…

    Ini hanya bagian dari sisi kecil korupsi kecil2an… yg mungkin dalam sistem korupsi keseluruhan dinilai gak ada apa2nya alias masalah keciiill banget… Coba bandingkan dengan berbagai kasus korupsi BESAR lain di SEMUA lini yg tak kunjung ada ujungnya…

    Lalu… apa kita harus tetap diam…? Saya rasa kita semua harus mulai dari yg kecil/mudah… Mungkin kita harus mulai dari Media Masa (Koran, TV, Radio, dll) yg bersih… lalu dari Aparat Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat) yg bersih, mestinya Media dan hukum bisa jadi penjaga moral negara ini…

    So… good start Bung..! Kita memang harus berani bicara dan memulai… Selamat berjuang…

  • Ayip
    December 3, 2007

    Jaman kan berubah. Tapi sayang perubahannya banyak yang tidak kondusif. Mengenai BP, Jika benar demikian adanya bagaimana seharusnya diselesaikan? Apakah publik harus melaporkan atau lembaga yang berwenang dapat langsung mengambil tindakan?

    Comment ini asli tidak bayar (ay/*)

  • antonemus
    December 3, 2007

    @ pushandaka: ya begitulah. 🙂

    @ dek didi: kalo nengok pas berita iklan terus.

    @ agus: mulai dari wartawan susah jg, bos. kampanye anti amplop bagi wartawan saja resistensinya luar biasa. banyak wartawan yg tidak mau sumber pendapatan mereka dari narasumber itu dihilangkan. jad ya memberantas korupsi ya susah selama wartawan jg mentalitasnya masih suka ngamplop.

    @ ayip: kang, aku no comment. :)) cuma minta tlg diubah dong setting komentar di blog kang ayip. biar tdk perlu login utk kasi komen.

  • indrapendent
    December 4, 2007

    ya begini ini kalo media udah jadi industri kapitalis..nggak ada tempat lagi buat yg idealis 😉

  • widi
    December 5, 2007

    He..he..bener2 “LOA”, dari maren malam saya pas liat bali tv bincang2 ama suami tentang betapa berkuasanya si satria naradha ini malah jadi berlanjut dengan baca tulisan pak anton tentang kiprah konglomerat bali ini(seperti yang pernah di muat di majalah swa),dengan mengatasnamakan ajeg bali dia bisa jual semua konsep bisnis yang udah jelas2 bernuansa “ajeg kesugihan” apalagi semua pada latah sampe pembukaan pos ronda pun harus undang bali tv supaya bisa diliput tentunya dengan “nyogok crew”. belum lage mo pilkada bali, hampir semua bakal calon bali 1 berkampanye melalui balipost or bali tv, bisa kita bayangkan betapa pundi2 uangnya akan mengalir deras waktu pilkada nanti.

  • antonemus
    December 5, 2007

    @ indrapendent: semua media umum begitu, bos. terseret arus bisnis. makanya mari ngeblog saja.

    @ widi: hehehe. begitulah. Ajeg Bali itu hanya topeng utk ngeruk keuntungan pribadi. sayangnya suara-suara kritis terhadap apa yg disebut Ajeg Bali jg kurang mendapat tempat di media. ya, gimana bisa. Bali Post kok dilawan. 🙂

  • antonemus
    December 11, 2007

    ini adalah tanggapan dari teman wartawan koran Tokoh, anak media Bali Post Group.

    Aku mau posting di rumahtulisan malah error. Tolong diposting ya.

    Jangan hanya mengkambinghitamkan Bali Post mas. Saya tukang deal iklan, saya tahu betul apa yang terjadi di lapangan. Yuk, mari bertaruh kalau media lain tidak melakukannya.

    Anda yakin media lain, bahkan media terbitan Jakarta tidak melakukannya? Hmm…saya nggak yakin. Belum genap seminggu aku nego iklan dengan lembaga di Jakarta. Tahu apa yang ditawarkan sebuah media terbitan Jakarta? Mas, mas mendingan dibuatkan berita saja kalau dananya minim. Saya memilih buatkan iklan display saja untuk mereka. Wong minta iklan display.

    Aku juga bertemu rombongan wartawan dari Riau, ada Riau Pos, Riau TV, Tribun …(grup Kompas, lupa namanya) dll. Tahu pertanyaan sebagian dari mereka? Kalau di Riau, pemda tuh kontrak halaman dengan kami. Bagaimana dengan di Bali? Upsss…

    Oya, ada juga media lain di Bali, yang minta ke beberapa pemkab: jatahnya harus sama dengan Bali Post. Hihihi..sampai-sampai, ada pemkab yang nggak berani bilang kalau ada kontrak dengan Bali Post karena tuh media maksa bener minta jatah yang sama. Pemasang iklan juga kerap curhat kok. Makanya saya tahu.

    Saya di Koran Tokoh. Redaktur merangkap manajer iklan. Saya pikir, mas tahu kebijakan yang diambil Tokoh. Apa semua berita bayar? Apakah itu berita? Salah, itu advertorial. Itu iklan pariwara mas. Jelas-jelas ada kodenya yang memisahkan dengan berita. Tokoh punya garis-garis haluannya bukan? Coba cek, media apa di Bali yang mau nulis tentang HIV/AIDS di halaman 1 selama tiga edisi berturut-turut? Cuma Tokoh. Mas tau, kalau ngomongin bisnis, berita itu “nggak bernilai jual”. Apakah Tokoh minta imbalan dari para aktivis HIV/AIDS? Tokoh menjualnya? Hmmm…tanya Mbak Mercya atau Pak Alit Kelakan sekalian.

    Buat Tokoh, sebuah koran akan hidup jika memenuhi tiga prinsip: idealisme, bisnis, profesionalisme. Kami akan menambah halaman tanpa menaikkan harga koran jika iklan kami ternyata melebihi kuota dan itu sering kami lakukan.

    Kenapa mas “menggugat” Bali Post aja? Bagaimana dengan yang lain? Bali Post lebih fair dibandingkan yang lain karena mencantumkan kode advertorial. Oya, bagaimana pula dengan tayangan televisi yang kerap kali memasukkan iklan di program mereka? Tonton Metro TV. Ada BNI News Flash. Itu iklan dalam program mas. Itu jurnalisme juga loh. Lihat juga acara tv yang lain: penuh dengan iklan built in program.

    Oya, tahu nggak kalau beberapa perusahaan berpikir, saya akan beriklan di media tertentu, bonusnya diberitakan? Itu terjadi, dan saya mengalaminya. Beritanya tanpa kode, tapi jelas dimuat karena pasang iklan.

    So, what do you think?

  • viar ms
    December 12, 2007

    Bali Post, Pikiran Rakyat, whatever lah yang mana….
    Jika semua berbuat bukan berarti tindakan itu jadi benar bukan?

  • Komang
    December 13, 2007

    Terserah Bali Post mau gituan. Kan kita bisa baca media harian lain seperti Radar Bali, NusaBali, bahkan koran alternatif seperti Koran Pak Oles, Musik Bali, dll.
    Kalo Bali Post rasa nyaman dengan gaya mereka, plis… pasti nanti juga ditinggalkan pembaca yang kian pintar. Bosan baca koran dengan isi advetorial.

  • antonemus
    December 13, 2007

    Seorang bernama Retno mengirim tanggapan ke emailku. Ini isinya.

    Tulisan ini sebagai tanggapan atas tulisan anda tentang “ada uang anda masuk koran” dimana anda menyoroti Bali Post seolah anda marah banget karena mungkin pernah dikecewakan oleh Bali Post. Aapapun alasan anda menulis seperti itu sangatlah tidak fair karena anda menyoroti dari satu sisi saja.

    Coba anda ingat berapa puluh tulisan anda yang telah dimuat oleh Bali Post mulai sekitar 5 tahun/10 tahun lalu persisnya saya lupa. Sdr. Anton, anda ingat khan ketika anda datang ke Bali Post membawa artikel lalu akhir bulan anda ambil honor ke Bali Post. Tapi sudahlah itu masa lalu yang mungkin ingin anda tutupi karena ketika itu anda masih hidup susah yang mengandalkan hidup dari honor-honor itu.

    Kalau anda pernah mengklaim pernah jadi jurnalis di beberapa media terkenal (pasca nulis di Harian Bali Post) tentunya anda berpikiran cerdas dan berwasan luas namun nyatanya anda berpikiran sempit.

    Anton muhajir yang terhormat, sekarang ini media mana yang tidak “menjual” halamannya? Tahu nggak anda, hampir 90% kue iklan di Indonesia ini berada di Jakarta dan dari 90% itu yang nyampe ke daerah (dalam hal ini Bali tentunya) paling-paling nggak nyampe 20% itupun masih harus dibagi ke media-media yang ada di Bali (tentu saja Bali Post kebagian paling banyak karena memang Bali Post menjadi rujukan client agency iklan di Jakarta), sedangkan media massa bisa hidup dari iklan jadi mereka harus kreatif “membuat iklan”.

    Media cetak dan televisi nasional di Jakarta juga “kreatif” menggali potensi iklan dari client misalnya dengan mengemas acara seperti B News, News Flash, Pariwara, Usaha Kita, dll. Bali Post pun begitu, masih untung lho Bali Post terbuka dengan menandai berita advertorial dengan tanda bintang, coba koran lain selain media Kelompok Media Bali Posti, mana berani.

    Ada koran yang sembunyi-sembunyi menjual halamannya ke humas pemda atau perusahaan swasta seolah itu berita biasa padahal itu adalah promosi. Ada koran yang bisa terbit kalau ada “booking”an dari Pemda, kalau gak ada ya tiarap.

    Ach…. Anda sebenarnya udah tau semuanya cuma pura-pura nggak tau aja, anda nulis begitu karena sakit hati, iri hati sama Bali Post. Tapi itu semua hak anda, negara ini bebas kok nulis apa aja tapi dengan tulisan anda itu berarti nurani anda udah tumpul, mata hati anda gak bisa melihat dengan waspada mana yang baik dan mana yang buruk.

    Selamat, anda sekarang sedang belajar jadi observer, jadilah observer yang bijak dan jujur agar tak menyesatkan masyarakat.

    Amin, amin, amin, yaa robbal alamin.

  • baladika
    December 21, 2007

    bali post. jadi inget dulu, langganan bali post karena cari-cari informasi lowongan kerja 😀 .

  • Wibisono Sastrodiwiryo
    January 29, 2008

    Membaca tulisan Anton sinyalemen saya semakin kuat kenapa Bali Post tidak mau mengangkat polemik pahlawan nasional. Rupanya harus dibayar untuk bisa masuk.

    Dari jawaban jawaban mereka ternyata itu bukan penyangkalan tapi sebuah penegasan dan itu terjadi di seluruh Indonesia.

    Saya merasa disinilah pentingnya media alternatif seperti Blog untuk dapat memberitakan the untold story.

    Good move bro… keep the faith.

  • kiko
    May 19, 2009

    saya gatal ingin bertanya, kalau blog yg dijadikan alternatif bagaimana dengan orang-orang yang tidak bisa bersentuhan dengan internet?
    lalu apa solusi yang pas untuk pers agar tidak melanggar kode etik itu?

    saya hanya saran kenapa malah menjatuhkan seharusnya kita kasih saran dan masukan.

    salam

  • kadek
    March 17, 2012

    bali post memang jagonya provokasi dan adu domba, ……… Waspadalah!!

  • Jhon_L34K
    June 5, 2013

    Orang cerdas akan tinggalkan Bali Post …..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *