Sebenarnya hari ini aku berniat posting tentang Bali Post. –Aduh, kok aku sentimen banget sih sama mereka?-. Tapi karena ada diskusi “gawat” di rumah pagi ini, maka aku pikir hasil diskusi atau diskusinya itu sendiri lebih menarik untuk ditulis. Kali ini soal rebutan wacana di rumah tangga.
Pagi ini, ketika aku menikmati sarapan dengan menu ayam suwir, tempe goreng, dan oseng-oseng kangkung, Lode, istriku, tiba-tiba nyeletuk, “Kenapa sih tidak banyak orang yang mau membicarakan isu dapur. Padahal kan ini isu yang penting juga. Sekali-kali kek tanya tentang bagaimana prosesnya, apa susahnya masak, bla-bla-bla.”
Intinya ada dua hal yang diprotes istriku.
Pertama bahwa pekerjaan dapur dianggap hal yang sepele. Menu, harga, bahan-bahan, hingga proses di baliknya itu jarang didiskusikan. Pokoknya tahu-tahu sudah ada di meja makan dan siap disantap dengan lahap sambil megap-megap. ? Tidak hanya di rumah isu ini jarang didiskusikan. Di tingkat publik pun patuh dogen alias sami mawon. Urusan dapur kadung jadi urusan domestik. Bahasa kerennya ada domestifikasi urusan dapur. Beda misalnya dengan urusan politik, urusan lingkungan, urusan ekonomi makro, dst.
Kedua bahwa sudah kodratnya perempuan alias ibu rumah tangga itu jadi tukang masak. Kayaknya sudah taken for granted alias nak mula keto. Makanya jarang banget ada bapak yang mau masak buat di rumah, temasuk aku. Hehehe. Tapi uniknya, juru masak profesional alias chef tuh banyakan laki-laki. Lihat saja di hotel, restoran, dan acara-acara TV. Sedikit banget ibu-ibu.
Dua protes itu seperti ditujukan padaku. Kami memang sering mendiskusikan banyak hal. Dari soal di rumah, tetangga, pekerjaan, berita di koran, dan banyak hal lagi. Termasuk soal makanan.
Aku tidak sepakat-sepakat amat dengan kalimat itu. Meski tidak selalu dilakukan ketika makan, aku sering kok kasih komen pada masakan itu. Eh, bukan komen ding. Tepatnya nilai. Biasanya sih antara 65 sampe 95. Tapi ini memang sudah makin jarang. Cuma diskusi soal makanan di rumah ini memang makin jarang. Mungkin karena itu istriku pun protes.
Karena itu, aku lalu pikir bener juga sih. Urusan dapur sudah kadung urusan domestik. Seolah-olah hanya urusan ibu-ibu. Contohnya di rumah kecil kami. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku yang masak. Kalau hanya bagian ngulek sambel sih masih tiap hari. Tapi kalau masak semuanya, waduh, udah lama banget. Kalau toh masak paling juga bisanya bikin sambel tomat. Hehehe. *Dasar Lamonganensis!*
Lalu soal obrolan seputar makanan itu. Ya, begitulah adanya. Suami jarang sekali mau sekadar komentar soal masakan istri. Bagaimana masaknya, di mana beli bahannya, berapa harganya, dst. Ini sepele. Tapi sebenarnya penting untuk kita saling menghargai.
Tapi ya lihat juga kondisinya. Kalau istri lagi sebel lalu kita tanya macem-macem, bisa juga jadi salah paham. Lalu yang keluar bukan rasa senang tapi kalimat menyebalkan, “Cerewet banget sih, Kamu!!”
Leave a Reply