Tetap Semangat Meski Koneksi Tersendat

0 No tags Permalink 0

Ini hanya contoh utk pelatihan. Para kader desa ini benar-benar perempuan tangguh.

Salmiah, 45 tahun, salah satunya. Dia sudah mengabdi sebagai kader desa sejak tahun 1983. Ibu tiga anak berusia 45 tahun ini termasuk kader desa di Desa Bebuak, Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Aku ngobrol dengan ibu tiga anak ini ketika hari ini liputan tentang kesehatan masyarakat di Lombok Tengah. Liputan ini untuk Buletin ACCESS milik program Australia Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Tahap II AusAID.

Selain dia, narasumber liputan di tiga desa ini ada sekitar 10. Ada kader desa, fasilitator desa, pengurus lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun ibu rumah tangga. Namun, tak tahu kenapa, cerita tentang kader desa ini yang langsung membuatku tertarik menuliskannya di blog.

Mungkin karena keteguhan dan kesetiaan mereka pada pengabdian ini. Kader desa ini orang-orang yang mendampingi warga agar bisa mengakses haknya sebagai warga negara terutama dalam isu kesehatan. Bentuknya, antara lain mendampingi ibu-ibu saat melahirkan, memberi penyuluhan tentang jamban sehat pada warga, atau ngobrol saat Posyandu.

Sepertinya sih kegiatan-kegiatan itu sepele. Tapi tidak juga. Misalnya saat mendampingi ibu melahirkan. Mereka harus siap kapan pun kalau ada ibu melahirkan yang minta didampingi ke bidan atau Puskesmas.

Salmiah bercerita. Dia pernah harus menemani ibu melahirkan pada pukul 12 malam ke Puskesmas Kopang. Jaraknya sekitar 6 km dari Desa Bebuak. Jalan desa ini, bagiku, masuk kategori hancur karena meskipun beraspal namun berlubang di sana-sini. Salmiah dan ibu melahirkan tersebut harus melewatinya tengah malam dalam gelap karena listrik padam.

Kader desa lain, Indrawati pun beberapa kali mengalami hal serupa. Harus mendampingi ibu melahirkan saat tengah malam, pukul 2 pagi. “Kami harus siap kapan pun ibu melahirkan memanggil kami,” katanya.

Pendampingan ibu melahirkan hanya salah satu kegiatan kader desa. Kegiatan lain, misalnya, membantu pelaksanaan Posyandu. Kalau hanya di pos sih biasa. Ini mereka kadang harus ke rumah-rumah jika ada bayi yang tak ikut periksa di Posyandu.

Kader desa ini akan berjalan kaki sambil membawa timbangan, digital ataupun dacin untuk digunakan menimbang bayi. Jaraknya bisa sampai 2 km dengan jalan di kampung yang rusak itu tadi.

 

Di desa lain, Lendang Ara, kader desa ini pun menjadi motor penggerak perubahan layanan kesehatan. Mereka yang tergabung dalam Forum Kader Desa ini, antara lain, memberikan penyuluhan agar warga tak lagi buang air besar (BAB) sembarangan. Sekali lagi ini sepertinya sepele tapi tantangan mereka juga banyak, seperti ditolak warga.

Dengan kekuatan bersama melalui lobi, mereka juga pernah berhasil mengganti bidan desa yang dianggap tak melayani warga dengan baik. Tak hanya ke kepala desa dan kepala Puskesmas, para perempuan tangguh ini juga lobi ke DPRD Lombok Tengah agar bidan yang juga istri pejabat ini diganti. Dan, mereka berhasil.

Para kader desa ini tidaklah kepanjangan tangan pemerintah. Biasanya mereka dipilih oleh warga sendiri atau lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi. Di Kopang, misalnya, mereka didampingi dan dilatih Berugak Dese, salah satu mitra ACCESS di Lombok Tengah.

Meski berperan penting, para kader desa ini tak mendapat insentif apa pun. Paling hanya Rp 10.000 per bulan dari desa. Yes. Sepuluh ribu per bulan..

Bagiku, kader desa yang bekerja langsung di tengah masyarakat ini perempuan-perempuan hebat. Materi tak jadi ukuran bagi mereka untuk bekerja sepenuh hati. Mereka menjalaninya bahkan berpuluh tahun, seperti Salmiah.

“Kami senang dan bangga bisa membantu orang,” kata Salmiah.

Comments are closed.