Derita Istana Swarga Mayapada

0 No tags Permalink 0

Dianggap melecehkan agama, sebuah tempat pengobatan diserbu massa. PHDI lamban mengurusi.

Meski berada di Markas Kepolisian Kota Besar (Mapoltabes) Denpasar, I Made Sarjana, 40 tahun, masih menunjukkan punya wibawa. Setiap hari antara 30-40 pamedek (pengikut) datang mengunjunginya di ruang Wakasat Intel Poltabes. Secara bergantian, masuk 5-7 orang. 2-3 jam kemudian berganti rombongan lain. Sejak Kamis pekan lalu, Sarjana terpaksa diinapkan di Poltabes.

Pengamanan ini dilakukan akibat amuk massa yang terjadi di tempat pengobatannya pada hari yang sama. Tanpa disangka-sangka, 200-an massa menyerbu tempat pengobatan yang olehnya disebut Istana Kerajaan Swarga Mayapada alias istana surga di dunia di Kelurahan Panjer, Denpasar Selatan. Awalnya massa bermaksud menemui Sarjana, namun karena yang dicari tak juga keluar, massa pun mengamuk. Mereka memecah kaca di ruang depan rumah dan memporakporandakan ruangan. Meja, lemari, kain prada (hiasan) di dinding, foto-foto, kotak penyimpan, dan benda-benda lain dikeluarkan dari ruangan untuk kemudian dihancurkan di jalan persis di depan rumah Sarjana. Namun barang semacam keris, sesabuk, jimat untel-untelan, dan kertas rerajahan masih selamat. Massa tidak berani membakar. “Takut kualat,” kata salah seorang diantara mereka.

Amuk massa ini merupakan buntut dari pernyataan bapak empat anak tersebut yang mengaku sebagai wakil Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa) di muka bumi. Sarjana menyebut dirinya sebagai Ida Sang Hyang Maha Suci (Ida Hyang Widhi di Jagat Mayapada). Sarjana mengaku diutus Tuhan untuk membangun surga di dunia. Karena itulah dia membangun apa yang disebutnya Istana Kerajaan Swarga Mayapada.

“Istana” itu sendiri bertempat di sebuah rumah kontrakan yang sebenarnya adalah tempat pengobatan alternatif. Keberadaannya pun sudah mendapatkan ijin dari Kejaksaan Negeri Denpasar sejak 1987 sebagai tempat pengobatan secara non medis seperti kebatinan, paranormal, sinshe, tabib, dan keagamaan. Bahkan berdasarkan akta notaris nomor 47 tertanggal 20 November 2001, tempat pengobatan itu disahkan oleh notaris I Gusti Nengah Oka sebagai sebuah yayasan. Tak sedikit orang yang datang ke tempat pengobatan itu. Sarjana mengklaim memiliki 2700 pengikut.

Tak sedikit orang yang datang ke tempat prakteknya. Sehari bisa sampai 30 orang. Malah dalam hari-hari tertentu seperti ketika Purnama Tilem (Matinya Bulan) atau Purnama, umat yang berkunjung dan sembahyang di tempatnya bisa sampai ratusan. Kepada Sarjana mereka minta disembuhkan dari penyakit akibat ilmu hitam seperti santet. Nah, dari sinilah pengikut Sarjana semakin banyak. Mulai dari PNS, pengusaha, karyawan swasta, bahkan anggota polisi.

Persoalannya, dalam kenyataannya, Sarjana menyebarkan “ajaran” yang tidak dianggap melecehkan agama Hindu. Ajaran tersebut antara lain yaitu tadi, mengaku dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi. Selain itu dia juga menyatakan bahwa dia bertugas menyelamatkan umat manusia dengan tujuan membebaskan umat manusia dari segala ilmu jahat semacam ugig (santet) dan teluh, membunuh makhluk jahat seperti tonya, gamang, wong samar, betara, dan semacamnya (semua yang disebut itu adalah makhluk jahat semacam jin, iblis, gendoruwo, dan semacamnya yang dikenal di Jawa. :anton:) dan membimbing umat manusia agar benar-benar menyembah Ida Sang Hyang Widhi Wasa bukan yang lain. “Ini agar umat manusia hidup rukun dan damai,” kata Sarjana sebagaimana tertulis dalam ajarannya pada sebuah proposal pembangunan Istana Kerajaan Swarga Mayapada.

Dengan tujuan-tujuan itu, Sarjana mengaku telah membunuh semua Bethara Dalem di Bali termasuk Bethara Dalem Ped di Nusa Penida, Klungkung. Padahal menurut kepercayaan umat Hindu, Bethara Dalem adalah representasi Dewa Siwa yang bertugas mengakhiri hidup semua makhluk di bumi. Dewa Siwa sendiri merupakan salah satu bagian dari tiga dewa selain Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Bisa jadi karena itulah Sarjana juga mengaku sebagai pengganti Dewa Siwa yang berarti juga representasi Tuhan.

[Begini penjelasannya, dalam ajaran Hindu itu hanya ada satu Tuhan yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuha yang Maha Esa). Sebagai representasi Tuhan ini ada tiga dewa yaitu Dewa Brahma yang menciptakan, Dewa Wisnu yang memelihara, dan Dewa Siwa yang mematikan. Masing-masing dewa ada personifikasi lagi. Misal saja Dewa Siwa, salah satu personifikasinya adalah Bethara Dalem yaitu Bethara yang menjaga di Pura Dalem atau tempat-tempat yang dianggap menyeramkan. Dengan kata lain Bethara Dalem ini memelihara makhluk jahat. Nah, menurut Sarjana makhluk Bethara Dalem yang ada di Bali ini sudah dimusnahkan. Padahal menurut umat Hindu Bethara Dalem juga harus dihormati. Karena merasa telah membunuh Bethara Dalem, Sarjana pun mengaku sebagai pengganti Dewa Siwa.]

Suami dari Ni Made Sudarni itu pun menyebut dirinya sebagai Ida Hyang Maha Suci. Menurutnya orang yang terkena ilmu hitam semacam santet dan teluh berarti tidak suci. Untuk itu mereka harus melakukan prosesi melukat (penyucian diri). Tempatnya hanya ada di Tukad (Sungai) Yeh Leh di perbatasan Jembrana dan Tabanan. “Air di sungai tersebut adalah air tersuci di bumi,” akunya. Sebelum melukat di Tukad Yeh Leh, pamedeknya harus melakukan perjalalan ke Tukad Balian di Tabanan, Pura Makori di Bangli, dan Danau Batur yang dilanjutkan melukat dengan menggunakan air hujan, air laut, dan air kelapa gading.

Untuk bisa melukat dengan baik, para pamedek harus melakukan pembersihan diri dulu di Istana Kerajaan Swarga Mayapada. Mereka melakukan persembahyangan di sebuah kamar suci milik Sarjana. Ketika mereka bersembahyang, Sarjana duduk di singgasana yang berbentuk bunga teratai. Dia bersila. Sedangkan pamedeknya tidak boleh berdiri. Harus bersimpuh atau bersila. Aturannya pun ditentukan pengayah (pembantu) yang sudah ditugaskan. Mereka bersama-sama menghaturkan canang kepada Sarjana.

Toh, beberapa pamedek yang berkunjung mengaku tidak mempermasalahkan hal itu. Srinadi, 38 tahun, mengaku sembuh dari dari kelumpuhan yang pernah dideritanya selama lima tahun justru setelah berobat di tempat Sarjana. “Karena itu saya menganggap ini sebaga anugerah dari Ida Hyang Maha Suci,” aku pegawai sebuah hotel di Kuta tersebut. Agung Gatot, 27 tahun, salah satu pengayah di “istana” Sarjana pun mengaku sebelumnya dia mengalami inguh (gangguan jiwa). Namun setelah sembahyang di tempat Sarjana, sontak penyakitnya tersebut hilang. “Saya merasa lebih tenang,” ujarnya. Pria asal Mengwi, Badung itu pun kemudian dengan ikhlas hati memilih jadi pengikut Sarjana.

Namun, bagi Gusti Ngurah Harta, pembina perguruan Spiritual Murthi Sandhi, ajaran Sarjana dianggap menyimpang. Karena itu pada 4 Agustus lalu dia melaporkan praktek Sarjana ke Poltabes Denpasar. Alasannya, Sarjana telah meresahkan keyakinan umat Hindu dan melecehkan simbol-simbol kepercayaan. Sebabnya yaitu tadi mengaku sebagai Tuhan, sebagai pengganti Dewa Siwa, dan memusnahkan Bethara Dalem.

Laporan ini menurutnya dilakukan setelah Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai wakil umat Hindu tidak pernah menanggapi laporannya. “Mereka diam saja,” tudingnya. Wakil Ketua Sabha Walaka (Majelis Pertimbangan) PHDI I Ketut Wiana mengakui adanya laporan dari umatnya. Toh PHDI mengaku tidak bisa berbuat banyak. “Usaha Sarjana memiliki ijin dari Kejaksaan sehingga kami tidak bisa melarangnya,” kata Wiana.

Sedangkan perihal penggunaan istilah Istana Kerajaan Swarga Mayapada, Wiana mengaku juga tidak berhak melarangnya. “Hotel juga ada yang bernama Swarga, masak mau dilarang. Selain itu kan juga ada istilah surga dunia. Jadi, ya sah-sah saja,” ujarnya. Namun dia juga sepakat bahwa Sarjana sudah melecehkan simbol dan kepercayaan umat Hindu karena mengaku sebagai Tuhan. Penggunaan bunga teratai sebagai singgasana pun dipermasalahkan. “Itu kan hanya untuk dewa,” kata Wiana.

Karena tak kunjung ada tindakan inilah, massa kemudian memilih caranya sendiri. Mereka merusak tempat praktek Sarjana. Musnahlah istana itu.

Comments are closed.