Tegangan Listrik Tumbuhkan Karang

1 No tags Permalink 0

Penduduk Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali melakukan rehabilitasi terumbu karang dengan teknik baru. Caranya dengan mengalirkan listrik bertegangan rendah pada kerangka rumpon (bronjong) di bawah dasar laut.

Teknik ini diperkenalkan dua ahli terumbu karang dari Global Coral Reef Alliance, Amerika Serikat. Dua ahli tersebut, Thomas J Goreau (AS) dan Wolf Hibertz (Jerman) “dibawa” oleh Yos Amerta, Ketua Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri) Bali. Mereka bertemu dalam sebuah konferensi kelautan di Bangkok pada 1988.

Ide ini kemudian klop dengan usaha yang sudah dilakukan I Gusti Agung Prana, pemilik Taman Sari Cottages di Desa Pemuteran. Sejak 1990, Prana melakukan kampanye kepada penduduk setempat agar tidak melakukan pengeboman pada terumbu karang. Ketika itu, kondisi terumbu karang di Bali bagian utara ini memang rusak parah. Hal ini karena adanya warga setempat dan warga dari luar desa menggunakan bom dan potasium untuk menagkpa ikan.

Prana kemudian membuka cottages di daerah tersebut sembari mengingatkan warga untuk tidak lagi melakukan pengeboman. Untuk itu Prana merekrut 80% tenaga kerjanya dari penduduk lokal. Meski awalnya dicemooh, penduduk setempat mulai sadar akan perlunya menjaga kondisi terumbu karang yang memiliki setidaknya 800 spesies itu. Pengeboman semakin berkurang. Secara alami, terumbu karang mulai kembali hidup meski perlu waktu lama.

Namun, rehabilitasi itu terganggu ketika pada 1998 terjadi gejala alam el nino. Naiknya suhu air laut mengakibatkan terumbu karang itu memutih dan mati (coral bleaching). Karena itulah, kedatangan dua ahli karang laut itu sangat membantu usaha pemulihan terumbu karang. Kedua ilmuwan itu dibantu masyarakat setempat dan pengusaha wisata mulai melakukan observasi.

Tom dan Wolf, panggilan kedua ahli bilogi laut tersebut, membuat kerangka rumpon (kita sebut saja begiut) dari besi. Sebagai percobaan mereka membuat kerangka besi ini dua buah yang masing-masing berbentuk kubus. Ukurannya sekitar 6x10x6 meter kubik. Dua rumpon ini ditenggelamkan di dasar laut sedalam sekitar 12 meter. Ribuan bibit terumbu karang juga diikat dengan kawat pada rumpon tersebut. Pada keduanya dialiri listrik berkekuatan rendah, 12-20 volt, yang berasal dari aki.

Aliran listrik ini diharapkan akan menjadi stimulus bagi berkumpulnya kalsium karbonat dan air laut yang mengandung magnesium hydroxide pada rumpon besi tersebut. Kumpulan kalsium karbonat dan magnesium hydroxide ini membentuk pondasi terumbu karang berupa kerak putih. Pondasi ini berpadu dengan bibit terumbu karang yang diikat tadi.

Hasilnya mencengangkan. Dalam sebulan, pondasi yang dinginkan sudah terbentuk. Sedangkan bibit terumbu karang yang dicangkokkan sudah memperlihatkan adanya karang yang tumbuh. Pertumbuhannya lebih cepat hingga 5-10 kali daripada pertumbuhan alami yang biasanya hanya 1 cm per tahun. Warna terumbu karang ini jelas bercahaya kebiruan.

Menurut I Gusti Agung Prana, teknik yang disebut elektrolisa akresi mineral ini sudah pernah diterapkan di beberapa tempat di luar negeri yaitu Thailand, Maldives, dan Amerika Serikat sendiri. Namun, kata Prana, hasilnya tidak sebagus yang ada di Pemuteran. “Hal ini karena warga lokal tidak turut berpartisipasi melakukan rehabilitasi tersebut,” kata Prana.

Empat bulan kemudian, pada Oktober 2000, rumpon lebih banyak pun diceburkan ke laut tersebut. Pada tahap kedua ini dibuat rumpon sebanyak 22 dengan total panjang 222 meter tinggi 6 meter dan lebar 12 meter. Bentuknya macam-macam. Ada yang setengah bola, piramida, kubus, dan elips. Total area yang dijadikan tempat rehablitasi tersebut mencapai sekitar 2 hektar.

Sebagai sumber aliran listrik digunakan delapan aki beraliran listrik DC (direct current) tetap dengan voltase antara 12-20. Aliran listrik ini dialirkan melalui kabel tembaga elektroda. Kabel-kabel ini, menurut Prana dilapisi semacam plastik untuk mencegah rusak akibat air laut.

Biaya pembuatan rumpon tersebut adalah swadaya masyarakat. Prana yang merupakan pemilik Puri Taman Sari, home stay di Pemuteran itu mengaku mengeluarkan biaya hingga Rp 400 juta untuk Rp 800 juta yang digunakan dalam proyek tersebut. Selain itu, hingga saat ini, enam karyawannya pun masih beraktivitas menjaga rumpon-rumpon tersebut. Enam orang ini terdiri dari diver, insinyur listrik, serta satu orang project instructur.

Sedangkan untuk menjaga laut sekitar dari pengeboman, pecalang laut desa Pemuteran siap berpatroli setiap hari. Oya, untuk mempermudahkan pelaksanaan proyek rehabilitasi ini di desa tersebut telah dibentuk Kelompok Karang Lestari yang terdiri dari warga adat, dive operator, dan pengusaha wisata di tempat itu.

Keberhasilan Kelompok Karang Lestari dengan poyek rehabilitasi terumbu karang pun mendapat berbagai penghargaan. Pada Mei 2002 Karang Lestari dipilih sebagai proyek pesisir terbaik oleh Menteri Perikanan dan Kelautan. Penghargaan ini diberikan dalam Koferensi Nasional Pengelolaan Wilayah Pesisir yang diadakan di Bali. Pada Juni 2002, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika mempresentasikan kesuksesan proyek ini di Preparatory Committe dan Pertemuan Tingkat Tinggi Menteri se-Dunia di Bali.

Pada Juli 2002, Direktur Eksekutif United Nation Environtmental Programs (UNEP) mengunjungi proyek tersebut. Pada September 2002, Thomas J Goreau yang juga pemrakarsa teknik rehabilitasi ini mempresentasikan proyek ini di KTT Johannesburg, Afrika Selatan. Pada November 2002 organisasi wisata dunia SKAL memberikan penghargaan sebagai tempat wisata bahaw air terbaik di dunia. Terakhir, saat ini Agung Prana sedang dalam proses nominasi untuk mendapat penghargaan dari UNEP tersebut. Nominasi ini dilakukan olh Dana A Kartakusuma, dari Kementerian Lingkungan.

Agung Prana sendiri sebenarnya tidak memiliki latar belakang lingkungan. Dia lahir pada 1948 dan besar di lingkungan Puri Mengwi, Badung. Bapak satu putri dan dua putra ini pendidikan formal tertingginya adalah Akademi Pariwisata Bali. Prana mengaku tidak bisa menyelam. “Kalau menyelam kuping saya sakit,” akunya. Namun karena pernah menjadi guide, dia tertarik mengembangkan Pemuteran. Katanya ada nuansa spisitual di tempat tersebut. Pada 1982, dia mulai membuka usaha biro perjalanan wisata sendiri.

Lalu, pada 1990 dia membuka bungalow Pondok Sari di Pemuteran. Ketika membuka bungalow ini, katanya, belum ada satu pun turis yang ke sana. Bungalow dengan 12 kamar itu kemudian berkembang karena “limpahan” tamu dari Lovina dan Taman Nasional Bali Barat. Lokasi ini berjarak sekitar 80 km dari Singaraja, atau 180 dari Denpasar ke arah utara. Pada 1994, Pondok Sari ini dijual dan Prana mendirikan Taman Sari. Hingga saat ini, sudah ada sekitar enam hotel. Turis, terutama dari Jepang pun mulai menjadikan Pemuteran sebagai salah satu tujuan wisata. Dari turis inilah, 5% biaya diving disumbanhkan ke desa adat untuk biaya rehabilitasi tersebut. “Biar mereka juga turut merasa memiliki tempat ini,” kata Prana.

1 Comment
  • ibnu maulana
    May 29, 2009

    pak, bisa saya minta info terkait alat yang bapa buat, saya ingin mengetahui lebih lanjut konstruksi rumpon tenaga listrik penumbuh karang…..