Tak Ada Kasur, Nyebur pun Jadi

6 No tags Permalink 0

Hotel Gardena, tempat aku menginap di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores pada hari pertama aku di Flores (19/1) sebenarnya asik banget tempatnya. Hotelnya sederhana. Dinding kamarnya dari anyaman bambu. Tidak ada AC, hanya kipas angin. Dengan harga per kamar antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per malam, hotel ini bisa jadi pilihan murah untuk menikmati laut dan bukit Labuan Bajo.

Namun, hotel ini juga terkesan tidak rapi. Tumbuhan tdak terawat ada di depan kamar. Tidak ada petunjuk jalan ke tiap kamar yang jaraknya satu sama lain saling berjauhan. Untuk ke kamar tamu harus meniti jalan berundak dan bercabang. Aku malah sempat kesasar ketika akan balik ke kamar. Apalagi penerangan tidak cukup. Tidak hanya temaram. Gelap bahkan.

Mungkin ini yang membuatku agak takut. Kalau soal hantu dan semacamnya aku tidak terlalu takut. Justru keamanan yang membuatku deg-degan. Apalagi penjaga hotel yang malam itu ngobrol sama aku di depan kamar, dan sempat menawarkan perempuan (hehe), juga cerita kalau beberapa hari sebelumnya ada tamu kehilangan kain bali yang dijemur di depan kamarnya. Aku jadi kepikiran.

Dan, ketakutan pun muncul tengah malam. Ketika aku sedang terlelap, aku merasa ada seorang laki-laki menarik selimutku pelan-pelan. Dia berdiri di samping kasur. Nafasku berpacu dengan degup jantungku. Saling memburu. Bulu kudukku berdiri. Keringat dingin seperti keluar dari tubuhku.

Aku sudah mengunci semua pintu. Jadi kehadiran laki-laki itu seperti sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal bagiku. Aku yakin dia mau berbuat jahat. Maka aku berteriak dan berharap orang lain, setidaknya temanku Jelle di kamar sebelah, akan mendengarnya. Tapi suaraku tidak keluar. Aku hendak menendang laki-laki itu. Tapi aku tidak bisa!

Semua bagian tubuhku berfungsi. Aku bisa mendengar, bisa melihat. Tapi aku tidak bisa menggerakkannya. Aku berusaha sekuat tenaga. Aku terbangun. Laki-laki itu hilang! Ah, aku hanya ketindihan, kondisi ambang antara sadar dan tidak.. Ini hanya semacam mimpi tapi secara fisik aku bisa merasakannya. (Cerita ini udah kayak di film-film saja. Sesuatu yang gawat terjadi. Eh, Cuma mimpi. Hehe..)

Tidur yang tidak nyaman ini diperparah saat sarapan. Dengan mata masih mengantuk karena harus bangun pagi di hari Minggu (20/1) aku dan Jelle ke restoran untuk sarapan. Tapi pilihan yang ada cuma nasi goreng. Itu pun harus nunggu lamaaaaa banget. Sudah lama nunggu, eh, makannya juga tidak enak. Mengecewakan. Beberapa turis malah ngotot minta ganti menu meski harus bayar lagi.

Minggu itu kami berencana berangkat dari hotel pukul 8 pagi. Jadwal ini sudah kami buat jauh-jauh hari. Sengaja pilih pagi sekali untuk antisipasi perjalanan yang jauh di medan yang berat. Lokasi liputan kami kan lebih banyak di desa-desa.

Usai sarapan, kami pun menunggu Bu Ella, teman dari Yakines, LSM lokal yang akan menemani kami ke lokasi. Namun setelah 30 menit menunggu, dia tidak muncul juga. Aku hubungi hpnya tidak bisa. Telepon kantor juga tidak ada yang mengangkat. Baru kemudian aku ingat kalau itu hari Minggu sehingga kantor tutup. Tidak ada pilihan lain selain menunggu, pekerjaan paling membosankan.

Pukul 9 pagi lebih sekian, teman dari Yakines baru nongol. Perjalanan kami hari itu pun dimulai.

Benar memang. Jalan yang kami lalui adalah jalan berliku-liku tidak berkesudahan. Dari Labuan Bajo ke Desa Munting, Kecamatan Lembor, kami nyaris tidak menemukan jalan lurus. Mungkin ada satu dua, tapi sepertinya tidak lebih dari 1 km. Setelah itu kembali berkelok-kelok. Naik turun bukit.

Sekali dua kali kami bertemu mobil angkutan umum. Lucunya, banyak penumpang duduk di atas mobil. Meski masih ada kursi kosong di dalam, tidak sedikit penumpang yang lebih suka duduk di atas mobil. Mereka terlihat asik-asik saja.

Sekitar dua jam perjalanan, kami sampai di desa penghasil padi ini. Kelompok tani di desa itu menyambut kami dengan prosesi adat. Soal ini nanti ada bagian tersendiri tentang bagaimana adat Flores. Juga bagian khusus tentang hasil liputan di semua lokasi. Kalau pas mood bagus, nanti ditulis. Kalau tidak ya tidak usah. Seperti biasa. Hehehe..

Menariknya desa Munting adalah karena lokasi ini semacam cekungan dengan hamparan sawah sangat luas. Bukit-bukit kecil mengelilingi sawah yang tidak seragam ini. Ada yang baru panen, ada yang baru mulai menanam. Langit biru. Udara segar.

Sekitar pukul 1, kami cabut dari lokasi pertama ini. Mobil kami kembali meliuk-liuk di jalur utama Flores ke desa kedua. Kali ini di Desa Lontoh di kecamatan yang sama. Karena itu aku pikir akan cepat. Sebelum berangkat, teman kami dari Yakines bilang perjalanan hanya sekitar 10 menit ke sana. Ternyata, alamak, sampai 1 jam lebih ke desa kedua. Kami masuk hutan dengan kondisi jalan yang sempit dengan kelokan dan turunan lebih tajam.

Sepanjang jalan sangat sepi. Kami melewati dua sungai dengan jembatan yang terlihat baru dibangun. Ketika balik usai ngobrol sama petani di desa, aku minta mobil untuk berhenti di salah satu sungai. Aku turun lalu nyebur ke sungai berair jernih itu. Cuci muka. Menyegarkan badan. Sebab, setelah ini akan ada ke perjalanan panjang lagi..

6 Comments
  • dani iswara
    February 3, 2008

    seru..seru..ngebayanginnya aja dl..blm pernah ke pelosok2 gitu soale.. šŸ™‚

  • devari
    February 3, 2008

    ……dan sempat menawarkan perempuan (hehe)…….
    ————————————–
    tulis dong jilid duanya angle topik ini..wakakak šŸ™‚

  • BlogDokter
    February 3, 2008

    Huehehehe…betul kata devari, ditunggu screeshoot-nya. Labuan Bajo membara. šŸ™‚

  • devari
    February 3, 2008

    @blogdokter, wakakak šŸ™‚ membara euuy LOL

  • Ina
    February 4, 2008

    suasana khas pelosok banget. šŸ˜€
    namanya hotel tp beda bgt ama di kota.

    nice…! nga ada skrinsyutnya yach?

    *ikutan menanti skrinsyut*

  • eka
    February 4, 2008

    susah nie ngebayanginya mas….bagi fotonya dunk….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *