Sama Nama Beda Bendera

0 No tags Permalink 0

Ali Imron dan Ali Gufron mencabut kuasa hukumnya pada TPM dan dialihkan pada LBH Bulan Bintang. Amrozi tetap didampingi TPM. Ada tujuan politis?

Rabu pekan ini, Tim Pembela Muslim (TPM) seharusnya tidak mendampingi Ali Imron dalam pemeriksaan. Apalagi Alik diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi tersangka lain. Namun TPM yang terdiri dari Achmad Michdan, Made Rahman, Andi Windo, dan Akhmad Kholid itu harus menunggu pemeriksaan kliennya. Ketika istirahat di sela-sela pemeriksaannya sebagai saksi bagi tersangka yang lain, Alik, panggilan akrab Ali Imron ditemui empat anggota TPM. Pertemuan berlangsung sekitar 20 menit pada tengah hari di ruang Reserse Umum Gedung Direktorat Reserse Polda Bali.

Setelah menemui Alik, Made Rahman dan kawan-kawannya menemui Ali Gufron yang pada hari itu juga diperiksa sebagai tersangka. Pertemuan berlangsung di ruang Penyidikan Ekonomi lantai dua gedung yang sama. Dalam pertemuan sekitar 15 menit itu, TPM juga membahas persoalan seperti dikatakan pada Ali Imron. TPM menanyakan kebenaran pencabutan surat kuasa kedua tersangka kasus bom Bali itu pada TPM. Mukhlas sendiri mengaku kaget dengan adanya pemindahan kuasa hukum. Sebab dari awal dia sudah memberikan kuasa hukum pada TPM.

Penggantian kuasa hukum itu disampaikan Tim Investigasi Kasus Bom Bali pada Made Rahman Marassabessy, salah anggota TPM, Selasa pekan ini. Melalui telepon, polisi memberitahukan bahwa pada hari itu, Ali Imron dan Ali Gufron telah mencabut surat kuasanya pada TPM. Surat yang ditulis tangan di atas kertas bermeterai Rp 6000 itu ditandatangani sendiri oleh dua kakak beradik tersangka dalam kasus peledakan bom di Kuta Oktober tahun lalu.

Sebagai gantinya, Ali Imron dan Ali Gufron memberikan surat kuasanya pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bulan Bintang. Maka sejak hari itu, resmilah TPM tidak lagi mendampingi Ali Imron dan Ali Gufron. Namun untuk 27 tersangka lain, termasuk saudara Ali Imron dan Ali Gufron yaitu Amrozi, TPM masih akan tetap mendampingi hingga di pengadilan.

Dalam surat kuasa itu disebutkan bahwa Ali Gufron memberikan kuasa pada M Faruk Aladeta, Suyanto, M Sya’af Samad, Agung Supangkat, Fahmi H Bacmad, M Yasin, Hudi Asmara, Qadhar Faisal, HM taufik, Andi Windo, dan Ari Anam yang tergabung dalam advokat dan pengacara LBH Bulan Bintang untuk mendampingi tersangka dalam kasus Peledakan Bom di Bali. Padahal sejak awal, tersangka kasus bom Bali itu telah menunjuk TPM sebagai kuasa hukumnya.

Ali Imron pun demikian. Dia mempercayakan kuasa hukumnya pada Agung Supangkat sebagai Koordinator. Anggotanya Suyanto, M Sya’af Samad, Fachmi H Bahmid, M Yasin, Mohammad Taufiq, dan Hudi Asmara yang juga tergabung dalam LBH Bulan Bintang. “Pendek kata melakukan segala upaya hukum yang dipandang perlu demi kepentingan pemberi kuasa untuk mendapatkan perlindungan nhukum sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, serta dalam batas-batas yang diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan,” demikian penutup surat kuasa tertanggal 20 Januari 2003 itu.

Untuk memperkuat “pengambilalihan” klien itu, LBH Bulan Bintang menggunakan surat kuasa yang ditandatangani dua kakak Ali Gufron dan Ali Imron yaitu Muhammad Khozin dan Ja’far Shodiq. Surat kuasa tertanggal Lamongan, 15 Januari 2003 itu memang memberikan kuasa pada LBH Bulan Bintang untuk mendampingi adik mereka yang jadi tersangka.

Tak hanya itu, LBH Bulan Bintang pun membawa surat pernyataan tertulistangan dari Ali Imron bahwa telah mencabut surat kuasanya pada Ahmad Michdan dan kawan-kawannya tertanggal 18 Januari 2003. “Selanjutnya saya dengan tegas telah memilih penasehat hukum yang telah dutunjuk oleh pihak keluarga saya yani dari LBH Bulan Bintang Jatim,” demikian ditulis Ali Imron yang juga ada tanda tangan di atas meterai Rp 6000 tersebut.

Persoalannya sebagian anggota LBH Bulan Bintang itu sendiri adalah anggota TPM yaitu Agung Supangkat, Muhammad Sya’af, dan Suyanto. Eh, mereka malah memilih mendampingi Ali Gufron alias Mukhlas dan Ali Imron dengan menggunakan bendera lembaga lain yaitu LBH Bulan Bintang. Padahal mereka juga anggota TPM. Ikut mendirikan malah. Pergantian tim pembela ini memang lebih mirip pergantian bendera. Sebab nama-namanya tetap sama.

Karena itu Made Rahman menuding tiga orang itu yaitu Suyanto, Agung Supangkat, dan Muhammad Syaaf telah mengkhianati TPM. “Kami merasa dikhianati kawan sendiri. Mereka sengaja memanfaatkan isu kasus bom Bali untuk kepentingan politis,” kata Made. Hal ini dapat terlihat dari penggunaan nama partai dalam LBH tersebut. Padahal selama ini TPM berjuang tidak pernah membawa nama partai. “Kami hanya membawa nama umat Islam tanpa melihat aliran politiknya apa,” tambah Rahman.

Bukti bahwa ada muatan politis itu kata Made terlihat dalam susunan Tim Pembela LBH Bulan Bintang. Dalam surat kuasa yang ditandatangani Ali Gufron bin Nur Hasyim tertanggal 5 Januari 2003 tercantum nama M Faruk Aladeta, salah satu pengurus Partai Bulan Bintang (PBB) Jawa Timur [perihal ini mohon kawan Surabaya ngecek. :anton:], di nomor satu. Padahal, demikian dikatakan Made, yang bersangkutan tidak tahu perihal pencantuman itu. Demikian halnya dengan nama Andi Windo dan Qadhar Faisal. “Keduanya mengaku tidak pernah dihubungi oleh LBH Bulan Bintang,” kata Made.

Anehnya, surat kuasa itu hanya diberikan untuk Ali Gufron dan Ali Imron sedangkan untuk Amrozi, yang juga adik mereka, tidak. Artinya penanganannya secara hukum tetap diwakili TPM yang dikoordinir Suyanto. Inilah yang dipertanyakan Made Rahman. “Kenapa ketika di TPM yang jadi koordinator adalah Suyanto, tidak ada pengalihan kuasa hukum?” tanya Made.

Persoalan lain pun bisa jadi akan dihadapi TPM. Sebab dalam pemeriksaan yang telah dilakukan, Ali Imron sering menyudutkan Imam Samudra. Menurut Alik, ada beberapa hal yang disembunyikan Imam Samudra berkenaan dengan fakta-fakta seputar bom Bali. Memang, kepada penyidik, Imam Samudra masih mengelak bahwa dia terlibat dalam pengeboman yang menewaskan setidaknya 187 orang tersebut. “Dia (Imam Samudra) itu pengecut karena tidak mau mengakui,” kata Ali Imron sebagai mana ditirukan Qadhar Faisal, Koordinator Pengacara untuk Imam Samudra.

Qadhar sendiri menyangkal pernyataan Alik. Menurut Qadhar, sangkalan Imam Samudra terjadi karena yang bersangkutan tidak terlalu mengerti masalah hukum. “Imam Samudra memang mengaku hanya memberikan ide peledakan. Dan dia kira pemberi ide itu tidak bisa dijerat secara hukum,” kata Qadhar kepada GATRA. Sedangkan Made Rahman sendiri berkomentar ringan, “Semua itu akan terlihat di pengadilan nanti.”

Toh, dengan itu semua, Made Rahman mengaku tidak akan mempersoalkan itu semua. “Saya cuma takut persoalan ini akan ditunggangi kepentingan lain. Kalau itu selama untuk kepentingan umat secara umum dan terbaik untuk para tersangka, saya rasa tidak jadi persoalan,” kata Made. Cuma, kalau itu dilakukan tanpa adanya kordinasi ya susah juga.

Comments are closed.