Perjalanan Menantang Kematian Ketika Pulang

2 No tags Permalink 0

Perjalanan pulang dari Denpasar ke Lamongan ibarat perjalanan menantang kematian. Begitu pula ketika kembali ke Bali.

Kecemasan pertama berawal ketika bis Bali Buana Artha yang kami tumpangi baru meninggalkan terminal Ubung Denpasar Rabu pekan lalu sekitar pukul 19.30 wita. Bukan bisnya itu sendiri. Tapi ulah salah satu penumpang di kursi kanan luar sekitar tiga kursi di belakangku.

Sepanjang perjalanan, dia terus saja memprovokasi supir bis. “Suroboyone, Rek,” teriaknya ke sopir. Semula aku gak ngerti kenapa dia berteriak begitu. Namun dia terus saja berteriak hal yang sama. Dia mengira sopir bis itu orang Surabaya. “Isinlah. Mosok Suroboyo kok nyetire ngene,” teriaknya.

Aku tahu sekarang. Dia ingin supir bis itu ngebut, sesuatu yang menurut dia jadi ciri khas sopir bis dari Surabaya.

Beruntunglah. Sopir bis itu -yang orang Bali, kudengar dari bahasanya ketika ngobrol dengan dua kernet- santai saja. Jalan bis yang kami tumpangi tidak kemudian ngebut.

Namun sepanjang jalan sampai Gilimanuk, penumpang di belakang itu terus saja berteriak. Bahkan ada satu ungkapan yg bagiku sangat provokatif, “Potong saja kon***nya biar bisa ngebut.”‘ Teriakan, umpatan, kata-kata penumpang itu membuatku terus tak nyaman sepanjang perjalanan. Untungnya entah mulai di mana, suara penumpang itu akhirnya hilang. Aku lihat ke belakang. Dia mangap2 ngorok..

Sekitar 45 menit selepas Ketapang, Banyuwangi masalah kedua muncul. Lampu depan bis mati. Semula aku tak tahu kenapa bis tiba2 berhenti lama sekali. Aku lihat sopir bis dan dua pembantunya buka kap di depan setir. Mereka narik kabel. Menyambungnya. Lampu dihidupkan. Tetap mati. “Kenapa tidak dicek ketika akan berangkat?” pikirku. Hampir satu jam berhenti dan otak-atik, lampu depan itu akhirnya hidup. Hidup sih hidup. Tapi siapa menjamin kalau lampu tidak tiba2 mati lagi, lalu bis tetap jalan, lalu ditabrak, atau nyelonong masuk laut, atau seterusnya. Kecelakaan pesawat Adam Air, tenggelamnya kapal Senapati, terbakar lalu tenggelamnya kapal Levina I, dan berita kecelakaan lain membuatku begitu takut peristiwa sama akan terjadi pada bis yang kami tumpangi. Ah, dasar parno! :))

Pukul 06 wib, bis kami sampai Bungurasih Sidoarjo. Ah, untunglah kami selamat sampai Surabaya.

Tapi tunggu dulu. Justru cerita lebih mengenaskan betapa buruknya sarana perhubungan kita baru saja mulai. Bis jurusan Bungurasih – Wilangun sangat jauh dari kenyamanan. Kursi-kursi dengan busa sobek di sana sini, lantai bis dan pintu yang berkarat, suara ngrok ngrok ketika bis berjalan sangat tidak menyenangkan. Berulangkali kriet kriet terdengar ketika bis berhenti. Mungkin rem yang berkarat dan tak layak dipakai.

Toh meski bis itu begitu tua dan berkarat, penumpangnya tak kunjung berhenti naik turun. Puluan penumpang harus berdiri sepanjang perjalanan satu jam yang sangat menakutkan itu.

Sampai di Wilangun kami berganti bis. Kali ini bis lebih kecil dengan sekitar 32 kursi. Tetap saja kondisinya tak jauh berbeda: bis tua karatan di sana sini dengan tempat duduk sempit dan jalan raya bergelombang sehingga ketika melewatinya pantat kami terangkat dari kursi.

Dua jam perjalanan itu mengingatkanku ketika aku hampir mati tenggelam karena perahu kecil yang kami tumpangi bocor di selat antara Madura dan Jawa sementara gelombang datang tak berkesudahan.

Selesai bis kecil antara Wilangun – Tanjungkodok Lamongan itu, kami berganti mobil kecil L300 yang lebih layak dijual daripada dipakai ngangkut orang. Aduh, aku sampai tak tega melihat mobil itu berjalan.

Inilah mungkin gambaran parahnya transportasi kita. Kendaraan yang sudah uzur, jalanan bergelombang, penumpang berdesakan. Semua sungguh tak menyenangkan. Dan jelas tidak aman. Tapi mau tak mau kami harus menggunakannya. Sebab, memang tidak ada pilihan. Masak mau jalan kaki dari Denpasar ke Lamongan? :))

2 Comments
  • nie
    March 5, 2007

    syukurlah sampe dengan selamat yah šŸ™‚
    asyiknya pulang kampung hehehe

  • pande
    May 11, 2008

    he.. tapi gak segawat numpangin Adam Air yang jatuh itu kan ? padahal sblomnya saya dan rekan kantor make pesawat dan pilot yang sama, sempat gagal landing pula sampe pindah ke pesawat yang laen… hampir aja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *