Dharma wacana dengan jemput bola bukan hal baru. Bisa jadi malah tidak efektif.
Meski telah mendapat penghargaan sebagai salah satu tokoh yang berperan besar bagi dinamika Bali, Ida Pedanda Made Gunung masih merasa belum pantas. Made Gunung, sebagai seorang pedanda, masih terbuka menerima setiap umat yang minta dharma wacananya. Demikian halnya ketika ditemui GATRA di griyanya di Griya Gede Kemenuh, Blahbatuh, Gianyar, Bali.
Pedanda Made Gunung mengenakan baju lengan panjang dan kamen (sarung) putih. Jenggotnya sepanjang dada juga memutih. Namun rambutnya masih hitam dengan ikatan di bagian belakang, klimis. Dia duduk di atas alas putih juga di bale agung griya. Di sampingya ada lemari berisi lontar dan buku-buku agama. Ada aquarium di salah saru sudut bale. Di griya itu juga ada sekitar sepuluh ekor di burung dan tiga ekor anjing. Suasana griya juga teduh oleh beberapa pohon di dalamnya. “Kita harus menyayangi binatang dan tumbuhan,” kata bapak lima anak itu. Hanya satu jam wawancara karena pagi itu dia harus memberikan dharma wacana di Kantor Distribusi Perusahaan Listrik Negara (PLN) Denpasar lalu siangnya ke Klungkung hingga malam hari.
Made Gunung menjadi fenomena tersendiri bagi kegiatan dharma wacana di Bali. Dia turun ke umat-umat yang mengundangnya. Padahal biasanya, umatlah yang mendatangi pedanda bila memerlukan dharma wacana. Namun Ida Pedanda Bang Buruan, salah satu pedanda di Bali mengatakan turun ke umat bagi pedanda bukanlah hal baru. Menurutnya, ketika Danghyang Niriartha menyebarluaskan agama Hindu di Bali pun beliau dengan cara mengunjungi umat. “Buktinya banyak pura untuk menghormati tempat-tempat yang pernah beliau kunjungi,” kata Buruan. Antara lain Pura Rambu Siwi Negara dan Pura Sakenan Serangan.
Made Gunung pun mengakui itu. Namun adanya perkembangan teknologi membuat penyebaran dharma wacana tidak bisa hanya mengandalakan apa yang selama ini telah dilakukan. Ya, misal saja adanya radio dan televisi. Umat yang kurang mengerti tentang ajaran agama pun memotivasinya untuk mencari hal baru. Kloplah ketika ada Bali TV. Siarannya pun disampaikan melalui TV lokal di Bali itu.
Ketika pertama kali menyampaikan dharma wacana di TV, sempat juga muncul kontroversi di kalangan umat. “Apa boleh dharma wacana dilakukan lewat TV,” tanya beberapa orang pada Made Gunung. Alasannya karena memang selama ini belum ada yang melakukan. Made Gunung toh tetap saja melakukan. Akhirnya semakin banyak umat yang memintanya memberi dharma wacana.
Menjadi pedanda bukan hal yang baru bagi keluarga pedanda Made Gunung. Dia sendiri sudah generasi kedelapan dalam keluarganya sebagai pedanda. Sejak kecil dia sudah disipakan untuk jadi pedanda. “Saya tidak boleh ngomong yang kasar juga tidak boleh bertato,” katanya. Kini putranya pun sudah disiapkan jadi pedanda. Saat ini anak pertamanya itu sedang kuliah S2 di Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar.
Sebagai seorang pedanda, menurut Made Gunung, tidak cukup hanya dengan memberikan bimbingan dan arahan. Pedanda juga harus memberikan contoh yang mencerminkan mental spiritual pada umat. Sebut saja memberikan dharma wacana, memuput karya, memberikan keputusan atas sebuah persoalann, dan menjadi panutan. Dia pun turun pada umat tidak hanya di griyanya tapi juga pada griya lain selama mereka meminta, namun masih di Gianyar.
Popularitasnya naik ketika Bali TV menayangkan dharma wacananya. Caranya, awak Bali TV mengikutinya ketika memberikan dharma wacananya pada umat. Jadi bukan dia yang datang ke Bali TV. Setiap minggu mereka datang ke tempat Pedanda Made Gunung dan meminta jadwal. “Saya tidak tahu kenapa mereka tertarik menyiarkan dharma wacananya,” tambahnya.
Pernah jadi guru membantunya dalam memberikan dharma wacana. Ketika jadi guru dia diajarkan tentang ilmu didaktik, metodik, dan fisiologi. Makanya dalam memberikan pun disesuaikan dengan audiensya. Dharma wacana itu diibaratkannya seperti beras. Kalau untuk bayi ya dijadikan bubur sedangkan kalau untuk orang dewasa jadi nasi. Made Gunung sendiri membaginya jadi dua tahapan ketika memberikan dharma wacana. Pertama menyampaikan tentang dasar-dasar apa itu upacara, makna, dan kaitannya dengan sastra. Kedua konsep tatwa (filosofis) dari pelaksanaan agama Hindu, contohnya etika.
Karena cara menyampaikannya enak, banyak orang yang kemudian tertarik dan mengundangnya menyampaikan dharma wacana. “Bali TV memang membantu mengenalkan umat pada saya,” akunya. Kini dia tidak hanya memberikan dharma wacana di griyanya, namun hingga ke Jakarta, Banyuwangi, Kutai, dan Lombok. Di Bali sendiri hampir di semua kabupaten.
Namun bagi Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba, pedanda di Griya Bang Swarga Manuaba, cara yang demikian belum tentu efektif. Sebab, salah satu cara ketika memberikan dharma wacana adalah dengan upanishad (duduk melingkar). Hal ini sebagai bentuk kebersamaan antara sisih (murid) dengan guru. “Kalau melalui media elektronik tidak ada upanishad,” katanya. Selain itu, tambahnya, seorang pedanda tidk hanya bertugas memberikan dharma wacana tapi juga bimbingan pada etika dan ritual. “Kalau umatnya di mana-mana kan tidak egfektif bimbingannya,” tegas Pedanda Gede Bang Buruan.
Toh, adanya dharma wacana melalui TV, seperti yang dilakukan Ida Pedanda Gede Made Gunung, menurut Manuaba adalah hal yang bagus untuk dikembangkan. Hanya saja, sarannya, yang melakukan itu jangan hanya satu pedanda. Karena di Bali kan banyak sluinggih, sekitar 2000, maka pemikirannya pun berbeda. Kalau hanya satu sulinggih ya perlu ditanyakan motivasi di balik itu.
Pedanda Made Gunung pun mengharapkan demikian. Sebab, katanya, pedanda itu ibarat lampu penerang. “Kalau hanya satu lampu tidak akan mampu menerangi semua tempat, namun kalau banyak lampu, tempatnya akan lebih terang,” katanya.