Lalu, Kenapa Media Itu Mati Satu per Satu?

0 No tags Permalink 0

Rekan-rekan,

Jika Anda perhatikan, sudah 2 bulan terakhir ini (Desember 2004 dan Januari 2005), halaman khusus “Bentara” di harian Kompas yang biasanya hadir Rabu pertama setiap bulan, tidak terbit. Kabar yang saya terima dari beberapa rekan di Kompas, bahwa halaman khusus itu akan dihentikan penerbitannya. Tak ada alasan yang jelas dan pasti. Sementara sejumlah rekan, penulis esai, penyair, pengamat seni-budaya, seniman, mahasiswa, yang selama ini rajin mengikuti pertukaran pemikiran di dalam “Bentara”, merasa kehilangan.

Selama 4 tahun kehadirannya, “Bentara” telah menjadi ruang latihan intelektual yang berharga bagi kita untuk mengembangkan kemampuan mengemukakan pendapat dan pemikiran dalam bentuk esai. Juga ruang yang berharga di mana puisi masih mendapat tempat penting sebagai bagian perkembangan kesenian di negeri ini. Ia juga jadi etalase bagi ilustrasi atau foto karya seni rupa agar bisa tampil ke hadapan publik yang lebih luas.

Sebagai salah seorang yang awalnya terlibat ‘urun gagasan’ penerbitan “Bentara” tentu saja saya sangat berharap lembar khusus itu bisa terus terbit di Kompas.

Untuk itu, saya mengajak rekan-rekan mengirim e-mail kepada rekan-rekan di Kompas yang selama ini menjadi penjaga rubrik “Kebudayaan” termasuk “Bentara”–untuk mempertanyakan hal ini, sekaligus memberi dukungan dan dorongan agar lembar khusus “Bentara” segera terbit kembali.

Harapan saya, semua e-mail itu bisa jadi semacam ‘mosi dukungan’ bagitim editor “Bentara” untuk diajukan kepada Dewan Redaksi Kompasyang “entah apa alasannya” telah menghentikan penerbitan “Bentara”. Mohon sebarluaskan permintaan dukungan ini. Dan, segeralah berkirim e-mail ke:

Bre Redana: don@k…

Efix Mulyadi: efix@k…

Salomo Simanungkalit: sal@k…

Terima kasih.

Enin Supriyanto

==========================

-Aku dapet email itu dari milis pantau-komunitas@yahoogroups.com. Kaget juga tahu bahwa Kompas, media yang selalu jadi ukuran kemapanan media di Indonesia, ternyata terancam rugi juga. Buktinya ya Bentara, rubrik yang berbobot itu tutup juga. Padahal, Bentara memang sesuatu yang sangat berbeda di tengah “kedangkalan” informasi di Indonesia.

Dan, kemarin aku juga ngobrol sama teman wartawan Latitudes, majalah budaya di Bali yang terbit dalam bahasa Inggris, bahwa medianya juga akan tutup. Padahal Latitudes termasuk media yang mendapat tempat di kalangan pecinta budaya, entah yang pop, tradisional, maupun yang lain. Buktinya, Goenawan Muhamad, Adrian Vickers, Ayu Utami, Clifford Geertz, Maria Hartiningsih, dan penulis bagus lainnya pernah nulis di media yang berdiri lima tahun lalu tersebut.

Dan, baru kemarin rasanya aku baca berita bahwa Far Eastern Economic Review -berpusat di Hongkong- juga tutup. Dua media di Singapura yaitu Channel U News TV dan koran Streats, milik Singapore Press Holding, yang nerbitin The Straits Time, juga tutup.

Ah, kenapa semakin banyak saja media bermutu yang mati. Padahal, baru tadi pagi aku baca tulisan di buku Lifestyle Ecstasy, bahwa abad ini adalah abad informasi. Lalu kenapa satu per satu penyedia informasi itu mati?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *