Ah, Masa Harus Ngancurin Berhala Kaya' Ibrahim?

0 No tags Permalink 0

-huh, akhirnya bisa juga posting catatan pas Idul Adha ini. beberapa kali mau posting, ada aja masalah soale-

Soal khotbah Idul Adha yang bagiku tidak menarik. Secara body language. Dari awal hingga akhir khotbah, khotib itu terus saja melihat catatan yang dipegangnya. Mukanya aku lihat selalu menunduk. Padahal ribuan umat yang hadir di Masjid Agung Sudirman Denpasar itu melihat ke arahnya. Mbok ya sekali-kali melihat ke arah kami, kek. Biar keliatan gimana mimiknya.

Selain wajah, tangannya juga terus menerus memegang catatan. Jadi, tidak ada gerakan atau bahasa tubuh yang bisa membuat kami -atau cuma aku ya?- menikmati khotbahnya. Monoton. Boring!

But, paling parah justru materi khotbahnya. Selama sekitar 30 menit, khotib itu melulu ngomong soal bagaimana perintah berqurban bisa turun. Perintah ini tidak lepas dari sejarah Ibrahim, yang kemudian melahirkan keturunan pembawa Yahudi, Nasrani, dan Islam. -Iya ya, padahal satu kakek, kok kebanyakan penganut tiga agama ini sering gontok-gontokan-. Sejak kecil, Ibrahim sudah berani melawan keyakinan orang tuanya. Salah satunya dengan menghancurkan berhala-berhala di tempat kelahirannya. Lalu, kapak yang dipake untuk menghancurkan itu dikalungkan pada leher berhala paling besar. “Kita harus meneladani keberanian Ibrahim melawan keyakinan orang tuanya,” kata khotib itu.

Khotib itu tidak menjelaskan bagaimana “melawan” itu. Cuma aku pikir, masa iya sih melawan dengan cara sekasar itu. Secara frontal. Menghancurkan. Juga, masa harus menghilangkan keyakinan orang lain? Aduh-aduh, hari gini kok masih ada khotib kaya gitu.

Lalu, berlanjut soal bagaimana Ibrahim mengurbankan Ismail untuk disembelih sebagai tanda cinta kepada Tuhan. Dengan kuasa Tuhan, Ismail diganti qibas -ya, mungkin di Indonesia semacam kambinglah-. But aku heran kenapa khotib itu kok tidak memberi sesuatu yang kontekstual ya. Biar kita bisa mengambil hikmah dari khotbah itu.

Tidak usah berat-beratlah. Paling baru kan ada soal Aceh. Kenapa tidak nyinggung soal bagaimana harus membangun solidaritas. Atau mengorbankan sesuatu untuk kemanusiaan di tempat lain-lain. Khotib itu cuma cerita tentang sejarah. Tapi tidak memberikan sesuatu yang bisa dicontoh. Jadi, tidak ada bedanya dengan cerita guruku pas masih di SD.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *